Impor Beras dan Manajemen Risiko Sosial
Stok beras Bulog sangat rendah. Sangat berisiko jika kebutuhan pengisian stok beras (Bulog) dan memenuhi kebutuhan beras domestik di era transisi perubahan iklim ini mengandalkan sepenuhnya produksi domestik.
Mei 2010, harga beras merangkak naik 11 persen dibandingkan bulan yang sama tahun 2009. Pemerintah berjanji tak melakukan impor beras karena menurut asesmen Kementerian Pertanian, produksi beras domestik lebih dari cukup. Stok beras di tangan Bulog pada bulan itu cukup tinggi, yakni 1,78 juta ton.
Pada Juni-Agustus 2010, harga terus meningkat hingga 25 persen dibandingkan periode sama 2009, terlepas dari intervensi Bulog yang cukup agresif dalam tiga bulan itu. Stok beras Bulog terus turun menjadi 1 juta ton awal September 2010. Baru pada Oktober 2010, pemerintah mengizinkan impor beras 300.000 ton. Namun, harga sudah telanjur naik 27 persen (yoy).
Keraguan pemerintah dalam mengambil keputusan ini tergolong mahal biayanya.
Kejadian ini berulang pada 2018. Kementan menyatakan produksi beras lebih dari cukup. Surplus 2017 disebutkan lebih dari 10 juta ton dan diramalkan akan sama pada 2018. Tetapi, fakta menunjukkan harga merangkak naik dan stok di tangan Bulog sudah menipis. Kementan berargumentasi, beras di tangan masyarakat banyak.
Berbeda dengan 2010, pemerintah lebih tegas dengan menyadari tahun 2019 adalah tahun politik dan risikonya terlalu besar untuk ”bermain-main” dengan ketersediaan beras. Impor dalam jumlah besar dilakukan, cukup untuk menutupi kemungkinan kekurangan produksi pada 2019 dan 2020.
Baca juga : Bulog: Beras Impor Tiba Bulan Ini
Pemerintah juga menyadari data produksi beras tak akurat. Pemerintah memerintahkan BPS memperbaiki estimasi produksi beras yang selama ini menggunakan metode eye estimate yang subyektif dan menggantikannya dengan metode yang lebih obyektif dengan memanfaatkan citra satelit dan teknologi kecerdasan buatan.
Setelah melalui proses panjang (lebih dari dua tahun) dengan melibatkan BPPT, BIG, Lapan, Kementerian ATR/BPN; sejak 2018 BPS mulai menerapkan metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang lebih obyektif dan sekaligus menggantikan formula konversi GKP (gabah kering panen) ke GKG (gabah kering giling) dan GKG ke beras dengan menggunakan data yang lebih akurat.
Perubahan ini termasuk dalam penetapan luas baku sawah yang menggunakan citra satelit yang dicocokkan dengan data lapangan oleh Kementerian ATR/BPN. Hasilnya, ditemu- kan produksi beras 2018 tak sebesar data yang dipakai sela- ma ini, yaitu 83,4 juta ton GKG (setara 46,5 juta ton beras), melainkan hanya 56,54 juta ton GKG atau 33,42 juta ton beras.
Surplus beras pun lebih masuk akal sekitar 4,8 juta ton jauh lebih kecil dari angka Kementan yang sekitar 10 juta ton.
Menjelaskan situasi saat ini
Sebetulnya keadaan obyektif yang dihadapi pengambil keputusan saat ini berbeda dengan 2018 atau 2010. Data yang digunakan lebih obyektif dan masuk akal. Lalu, mengapa terjadi ketidakakuran antara Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), dengan Kementan, dan seperti mengulang cerita lama?
Sebetulnya, tak ada ketidak- akuratan data produksi dan konsumsi. Semua kementerian sudah sepakat dengan penggunaan data dari BPS. Yang jadi perhatian Bulog saat ini, stok di gudang-gudang Bulog telah menyusut dari 1 juta ton (awal 2022) menjadi 587.000 ton pada November 2022.
Karena harus melakukan intervensi pasar selama musim paceklik 3-4 bulan ke depan dan mengantisipasi kebutuhan untuk bencana alam, Bulog harus mengisi stok beras mereka hingga tingkat aman sekitar 1,5 juta ton. Bulog mencoba mengadakan stok beras itu dari pasar domestik, tapi kesulitan mendapatkan walau regulasi harga patokannya sudah direlaksasi. Opsi lain adalah impor. Inilah yang jadi sumber ketidaksepahaman antara Bulog dan Bapanas dengan Kementan.
Sebetulnya, tak ada ketidak- akuratan data produksi dan konsumsi. Semua kementerian sudah sepakat dengan penggunaan data dari BPS.
Memahami persoalan ketersediaan beras sebetulnya tak terlalu susah. Persamaan berikut akan membantu kita menganalisis situasi perberasan di Indonesia saat ini. Ketersediaan beras dapat berasal dari produksi domestik ditambah impor. Beras yang tersedia ini akan dipakai untuk konsumsi masyarakat dan untuk penambahan stok dan ekspor.
Dengan demikian, Produksi + Impor = Konsumsi + Ekspor + ∆ Stok. ∆ Stok di sini perubahan stok di Bulog ditambah dengan perubahan stok di masyarakat.
Kita bisa ubah persamaan itu menjadi: Produksi - Konsumsi = Ekspor - Impor + ∆ Stok. Kalau untuk sementara kita asumsikan baik ekspor maupun impor sama dengan nol (tanpa mengubah kesimpulan), maka Produksi - Konsumsi = ∆ Stok.
Kalau terjadi surplus beras (produksi lebih besar dari konsumsi), stok akan bertambah. Kenyataannya, data menunjukkan stok di Bulog menyusut sehingga surplus hanya terjadi jika stok di masyarakat meningkat sebesar surplus beras tahun ini ditambah penurunan stok Bulog.
Kalau ini terjadi, harga beras atau bahkan harga gabah seharusnya mengalami penurunan karena pasar sangat cair (likuid). Namun, faktanya, harga sekarang naik. Mungkin saja, pelaku (pedagang) atau rumah tangga (RT) menimbun beras dengan alasan yang berbeda.
Pedagang menimbun karena melihat kesempatan cari untung selama tiga bulan masa pa- ceklik (Oktober-Februari), sedangkan RT khawatir harga akan naik selama paceklik, menimbun untuk jaga konsumsi stabil (consumption smoothing).
Cara pandang ini kelihatannya tak mengganggu keamanan pangan (food security). Namun, peraih Nobel Ekonomi, Amartya Sen, mengkritik cara pandang ini karena tak semua RT, terutama RT miskin, punya akses dan mampu membeli beras saat harga tinggi, sehingga akan menciptakan ketidakamanan pangan (food insecurity).
Sen menunjukkan bukti di India, yakni kelaparan justru terjadi saat produksi mencapai puncaknya. Ia kemudian mengusulkan pendekatan entitlement yang melihat sisi daya beli RT. Kritik Sen kemudian mengubah pendekatan FAO akan keamanan pangan menjadi lebih luas seperti digunakan dewasa ini.
Surplus beras yang diprediksi BPS (berdasar ramalan Oktober 2022) 1,7 juta ton selama 2022 bisa juga salah. Mengapa demikian? Data produksi yang disajikan BPS adalah angka prediksi karena dihasilkan melalui sampel yang mempunyai margin kesalahan (margin of error).
BPS tak mengumumkan standard of error dari prediksi mereka. Kalau kita asumsikan standard of error-nya 6 persen, surplus beras tahun 2022 bisa menjadi defisit. Dalam kurun waktu sejak metode KSA ini digunakan (2018-2022), hanya 2018 (surplus 4,38 juta ton) dan 2020 (surplus 2 juta ton) yang jika produksi beras kita sesuaikan dengan margin kesalahan, surplusnya tidak berubah.
Sangat boleh jadi, defisit beras telah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Apalagi, tak seperti asumsi kita di atas, impor beras tetap ada, yaitu sekitar 300.000-400.000 ton per tahun untuk jenis beras tertentu. Harga tetap stabil karena masyarakat dan Bulog melepaskan stoknya sehingga permintaan bisa terpenuhi. Pada 2022, stok itu sudah menipis dan hal ini yang memacu kenaikan harga.
Impor juga akan mengubah perilaku pedagang dengan mengerem mereka untuk menimbun beras.
Apakah perlu impor?
Ada beberapa hal yang perlu jadi pertimbangan manajemen risiko pengelolaan beras. Pertama, dalam tiga bulan (Desember 2022-Februari/Maret 2023) akan terjadi musim paceklik, yakni produksi lebih kecil dari konsumsi. Untuk mencegah harga naik, biasanya Bulog mengucurkan beras ke pasar.
Kedua, beras masih memegang porsi yang besar (sekitar 30 persen) dalam bundel konsumsi RT miskin dan nyaris miskin. Sebagian besar kelompok RT ini petani gurem atau buruh tani dan RT miskin perkotaan. Kenaikan harga beras akan memengaruhi keamanan pangan kelompok RT ini.
Ketiga, pasar pangan global (termasuk beras dan pangan substitusinya) dewasa ini terganggu akibat perubahan iklim dan invasi Rusia di Ukraina. Kalaupun kita ingin mengimpor, belum tentu berasnya tersedia di pasar global.
Keempat, memaksa Bulog membeli di pasar lokal saat paceklik dewasa ini akan mendorong harga naik lagi karena bertentangan dengan fungsi Bulog sebagai lembaga penyangga dan stabilisasi harga.
Dalam musim panen, Bulog membeli gabah atau beras untuk menyangga supaya harga tak jatuh (proteksi petani) dan sebaliknya saat musim paceklik, Bulog melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga.
Betul bahwa tiga bulan mendatang terjadi panen raya. Melihat stok beras Bulog yang sangat rendah dan gambaran produksi ke depan yang tak terlalu banyak berbeda dengan konsumsi masyarakat, sangat berisiko jika kebutuhan pengisian stok beras (Bulog) dan memenuhi kebutuhan beras domestik di era transisi perubahan iklim ini mengandalkan sepenuhnya produksi domestik.
Impor juga akan mengubah perilaku pedagang dengan mengerem mereka untuk menimbun beras. Karena paham dalam 3-4 bulan mendatang akan terjadi panen raya, dan kesenjangan kebutuhan pasar domestik beras akan ditutupi oleh operasi pasar Bulog (melalui impor), pedagang tidak melihat keuntungan dari menimbun beras.
Untuk menjaga keamanan pangan, opsi impor perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari manajemen risiko. Ingat krisis ekonomi yang berubah menjadi krisis sosial tahun 1997/1999 berawal dari krisis pangan (beras). Jadi, dimensi manajemen risiko ini bukan saja sekadar bagian dari keamanan pangan, tetapi juga manajemen risiko sosial dan politik.
Mohamad Ikhsan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia,Anggota Forum Masyarakat Statistik BPS