Satelit untuk Jadikan Gempa Cianjur sebagai Tragedi Terakhir
Bencana alam tidak selamanya berakhir menjadi tragedi jika penanganannya tepat. Teknologi satelit dapat dimanfaatkan dalam mitigasi bencana untuk mencegah tragedi atau kerugian fatal akibat gempa-gempa yang akan datang.
Oleh
DEDEN HABIBI ALI ALFATHIMY
·5 menit baca
Selang dua hari setelah gempa Cianjur terjadi, gempa dengan kekuatan yang hampir setara melanda bagian barat daya Turki pada Rabu (23/11/2022). Hal yang berbeda dengan Cianjur: tidak ada korban jiwa akibat reruntuhan meski ramai penduduk.
Sebagai catatan, gempa di Turki terjadi beberapa hari setelah upacara peringatan peristiwa gempa di wilayah yang sama pada 1999 dan menewaskan sekitar 18.000 orang. Tak ingin peristiwa serupa terulang, pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan yang menegaskan aturan keamanan bangunan. Hasilnya, kerugian akibat gempa kali ini dapat berkurang signifikan. Bencana alam tidak selamanya berakhir menjadi tragedi jika penanganannya tepat.
Kesuksesan Turki dalam mencegah kerugian fatal tidak hanya berkat penegasan aturan kode standar bangunan, tetapi juga pemanfaatan teknologi satelit. Telepon satelit mereka andalkan karena sistem telekomunikasi terestrial hancur. Setelah itu, otoritas ilmiah Turki meluncurkan satelit BiLSAT pada 2003 yang fungsi utamanya memantau dan menyediakan komunikasi bencana bersama dengan beberapa negara lainnya.
Sementara itu, aparat, warga, dan sukarelawan di lokasi gempa Cianjur saat ini masih berjibaku untuk menemukan dan mengevakuasi para korban dengan keterbatasan yang ada. Pemetaan dampak gempa yang menyeluruh sangat dibutuhkan untuk mengalokasikan sumber daya di lapangan secara cepat dan tepat. Pemetaan yang singkat ini hampir mustahil dilakukan tanpa bantuan data dari satelit.
Satelit, gempa, dan satu peta
Seperti dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai instansi penyelenggara keantariksaan yang baru telah mengajukan permohonan bantuan data dan analisis dampak gempa Cianjur berbasis data satelit melalui beberapa mekanisme internasional, seperti Sentinal Asia, International Disaster Charter, hingga Regional Support Office (RSO) UN-SPIDER. Analisis ini membantu pemetaan kerusakan wilayah terdampak yang membentang dari Cianjur hingga Sukabumi.
Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Penginderaan Jauh (PRPJ) ORPA-BRIN, Prof M Rokhis Khomarudin, menyampaikan, data citra satelit gempa Cianjur di sejumlah titik telah didapatkan dari berbagai pihak internasional melalui koordinasi oleh INASA-BRIN dalam waktu yang relatif singkat. Data dari Sentinel Asia, misalkan, diolah oleh the Earth Observatory of Singapore-Remote Sensing Lab (EOS-RS) dan sudah tersedia di laman resmi sehari setelah gempa terjadi.
BRIN juga membentuk tim gabungan untuk menganalisis dampak gempa, meliputi potensi displacement lahan dan bangunan rusak. Tim gabungan terdiri dari Pusat Riset Penginderaan Jauh (PRPJ), Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), dan Pusat Riset Kebencanaan Geologis (PRKG) melalui mekanisme RSO UN-SPIDER.
RSO UN-SPIDER adalah bentuk keanggotaan badan antariksa atau lembaga riset yang berkolaborasi di bawah naungan UN-SPIDER—badan PBB dalam urusan pemanfaatan teknologi satelit untuk bencana. Di tengah persoalan transformasi status personil akibat Lapan dilebur ke BRIN, undangan dari RSO UN-SPIDER tetap dipenuhi karena sifatnya sukarela.
Kita sebetulnya tak perlu menunggu bencana terjadi untuk merasakan manfaat satelit. Data satelit yang tersedia sepanjang tahun dapat membantu para pemangku kebijakan untuk melakukan pemetaan dan perencanaan tata kelola lahan yang lebih berketahanan-bencana. Upaya ini menjadi pelengkap bagi metode lainnya dalam analisis risiko dan mitigasi bencana daerah yang telah dilakukan pemerintah.
Data satelit yang tersedia sepanjang tahun dapat membantu para pemangku kebijakan untuk melakukan pemetaan dan perencanaan tata kelola lahan yang lebih berketahanan-bencana.
Sejatinya Kebijakan Satu Peta (KSP) yang dipercepat oleh Presiden Joko Widodo melalui Perpres No 23/2021 sudah memuat gagasan pemanfaatan satelit untuk penanganan bencana. Portal KSP berisi informasi geospasial yang menjadi dasar pelaksanaan pembangunan yang lebih komprehensif dan terintegrasi.
Di portal KSP terdapat Informasi Geospasial Tematik (IGT) Kebencanaan yang mengandung Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi. Untuk keperluan ini, Kementerian Koordinator Perekonomian telah menggandeng Lapan (kini BRIN) pada 2019 melalui Nota Kesepahaman dalam hal penyediaan data penginderaan jauh.
Namun, gempa Cianjur dan segala kerugian yang timbul menunjukkan bahwa upaya-upaya pemetaan ini belum efektif. Masih banyak penggunaan lahan yang tidak mengindahkan tingkat risiko bencana setempat.
Jadikan yang terakhir
Kita perlu menyambut seruan Presiden yang menjamin pembangunan permukiman yang tahan gempa bagi para korban gempa Cianjur. Tentu kita bisa mencontoh kesuksesan Turki dalam hal ini. Namun, pelaksanaannya tidak akan sekejap, semurah, ataupun semudah yang kita harapkan. Selang waktu ini menjadi ujian yang berat, tetapi juga momentum bagi semua pihak untuk berefleksi.
Para perencana pembangunan mulai dari pusat hingga daerah hendaknya mengevaluasi dan membenahi tata kelola lahan dan peta jalan pembangunannya. Ketika pemindahan penduduk bukan menjadi solusi ideal, upaya mitigasi bencana yang sistematis perlu dipertegas dengan perangkat regulasi yang ditegakkan hingga ke level terbawah. Semua harus tecermin dalam implementasi KSP. Tentu upaya ini tidak bisa tidak dilandasi dengan data pengamatan ilmiah yang cermat, berkala, dan menyeluruh.
Ketika pemindahan penduduk bukan menjadi solusi ideal, upaya mitigasi bencana yang sistematis perlu dipertegas dengan perangkat regulasi yang ditegakkan hingga ke level terbawah.
Untuk itu, investasi pengembangan teknologi dan sumber daya manusia di bidang kebencanaan menjadi sangat penting. Prof Rokhis melihat adanya kebutuhan akan suatu kesekretariatan riset kebencanaan multidisiplin di BRIN agar bisa mengoordinasi beragam pusat riset yang relevan, seperti Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), PRPJ, dan sebagainya. Melalui kesekretariatan khusus ini, potensi koordinasi dan pertukaran sumber daya bisa lebih mudah dilakukan dengan pihak-pihak di luar BRIN, seperti BNPB, Basarnas, BIG, dan Bappenas.
Hal ini juga perlu didukung oleh tata kelola pendanaan penelitian oleh BRIN yang menerapkan keberpihakan pada topik penelitian ini. Kebencanaan adalah salah satu topik yang paling berbahaya untuk diabaikan apabila kita mempertimbangkan kondisi alamiah negara ini. Kita perlu memastikan para peneliti di bidang yang sekritis ini tidak kesulitan mendapatkan pendanaan. Ini perlu termuat secara tegas dalam agenda riset dengan anggaran yang memadai.
Selain keberpihakan kepada riset kebencanaan secara domestik, partisipasi dalam kerja sama internasional terkait bencana ini pun harus diintensifkan karena Indonesia terbukti sangat terbantu pada saat-saat kritis seperti ini. Karena itu, partisipasi aktif pertukaran data satelit antar negara perlu diperkuat.
Pada akhirnya, konsistensi dan keseriusan pemangku kepentingan nasional menjadi kunci. Cianjur berada relatif tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan dan sumber daya nasional, tetapi kesulitan mobilisasi bantuan masih saja terjadi. Lalu, bagaimana jika kerusakan yang serupa terjadi di daerah-daerah yang lebih terpencil? Pelajaran dari gempa-tsunami Palu-Donggala pada 2018 serta ratusan bencana lainnya sudah lebih dari cukup.
Negara kita besar dan setiap jengkalnya berhak mendapatkan perhatian dan penjagaan. Demi hal itu, kita perlu mengerahkan segala peralatan dan kemampuan yang ada untuk dapat memungkinkannya. Melalui satelit-satelit di orbit Bumi, kita harus berupaya untuk menjadikan gempa Cianjur ini sebagai tragedi yang terakhir.
Deden Habibi Ali Alfathimy, Mahasiswa Doktoral Politics and International Relations (Outer Space Policy), University of Leicester; Peneliti di BRIN