Merelokasi warga korban bencana alam tak sekadar membangun rumah, tetapi yang lebih penting adalah membangun permukiman. Membangun permukiman perlu melibatkan banyak pemangku kepentingan dan aspek-aspek lokal.
Oleh
ARWIN SOELAKSONO
·5 menit baca
Sebagian warga terdampak gempa Cianjur perlu direlokasi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menawarkan solusi rumah modular yang bisa dibangun secara instan di daerah relokasi. Namun dari beberapa pengalaman relokasi sebelumnya, kecepatan membangun rumah sangat berbeda dengan membangun permukiman.
Rumah hanya salah satu komponen saja dari permukiman. Beberapa rumah relokasi di Palu ternyata tidak dihuni sehingga perlu dicarikan penghuni yang berminat. Seringkali dalam pemulihan bencana kita berpikir, apabila hunian tetap (huntap) atau hunian sementara (huntara) selesai dibangun maka orang berduyun-duyun tinggal di sana. Kenyataannya tidaklah demikian, sebagaimana dipahami dari sisi permukiman.
Tak disangkal pemulihan hunian merupakan unsur krusial pada tiap pemulihan bencana. Ada banyak multiplier effect apabila korban bencana bisa kembali menghuni rumahnya. Hidup bisa kembali ke arah yang benar. Orang bisa melanjutkan usaha. Anak kembali bersekolah. Mereka bisa berobat ke puskesmas terdekat. Pendeknya, roda kehidupan dan perekonomian kembali berputar untuk meningkatkan kesejahteraan.
Pada gempa Cianjur ini ada 63.229 unit rumah rusak, dimana yang rusak berat sebanyak 26.237 rumah (Liputan6.com 28/11/2022). Rumah rusak berat ini sangat berbahaya apabila tetap dihuni. Bisa dibayangkan berapa orang yang harus mengungsi sekian lama untuk menunggu rumah mereka bisa dibangun kembali. Mereka bisa tinggal di rumah saudara di kota lain, mengontrak kamar atau tinggal di huntara.
Dalam keadaan tersebut tentu kenyamanan, kualitas, dan produktivitas hidup sangat menurun dibandingkan sebelum bencana. Keadaan akan semakin buruk dan akan berdampak kepada penurunan kesehatan fisik dan mental, yang bisa berujung pada masalah sosial seperti kekerasan kepada perempuan dan anak.
Tak disangkal pemulihan hunian merupakan unsur krusial pada tiap pemulihan bencana. Ada banyak multiplier effect apabila korban bencana bisa kembali menghuni rumahnya.
Bagi mereka yang memiliki sumber daya seperti kemampuan menukang dan memiliki tabungan, bisa segera keluar dari lingkaran setan. Perlahan mereka membangun kembali rumah mereka di lokasi semula. Sekalipun belum seluruh bagian rumah terbangun, mereka bisa kembali ke rumah mereka dan mulai melanjutkan hidup.
Namun tidak semua bisa membangun di tanah mereka. Keputusan pemerintah mengharuskan mereka untuk di relokasi karena pertimbangan keselamatan. Mereka inilah yang akan tinggal dalam penantian di huntara atau mengungsi di saudara dalam waktu yang cukup panjang. Masa tunggu ini bisa berkisar 1-3 tahun atau bahkan lebih lagi.
Kesenjangan kebutuhan bermukim
Bagi mereka yang berpengalaman dalam pekerjaan konstruksi, membangun rumah dengan cepat adalah lazim. Misalnya rumah Tipe-36 dengan dinding bata, bisa diselesaikan dalam waktu dua bulan. Bahkan rumah dengan elemen modular bisa dibangun secara instan. Jadi dalam sisi kecepatan konstruksi tidak ada masalah. Namun masalahnya, animo masyarakat tidak berbanding lurus dengan kecepatan membangun rumah.
Sebagai contoh adalah rumah bantuan yang didirikan di Kelurahan Tondo, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah pasca gempa dan likuifaksi 2018. BPBD Kota Palu mengultimatum 14 keluarga yang namanya terdaftar sebagai penerima sah bantuan rumah, namun masih belum menghuni rumahnya. Padahal rumah-rumah itu telah diserahkan secara bertahap di tahun 2020 dan 2021 (Antara Sulteng, 20/06/2022).
Ada beragam sebab yang mengakibatkan terdapat jeda cukup panjang untuk masyarakat dapat menghuni padahal rumah sudah terbangun. Jeda tersebut bisa jadi disebabkan, belum memadainya akses ke penghidupan, kelengkapan utilitas seperti listrik dan air bersih. Juga belum terpenuhinya layanan masyarakat seperti pasar, puskesmas, dan sekolah. Atau setidaknya ada akses yang memadai pada fasilitas-fasilitas tersebut.
Keadaan tersebut cukup membingungkan dalam pelaporan pekerjaan. Rumah sudah selesai dibangun dan kontraktor sudah berhak menerima pembayaran, namun rumah-rumah tersebut didapati kosong. Di sisi lain banyak orang korban bencana antre untuk mendapatkan rumah. Permasalahan ini tidak saja pada huntap namun juga pada huntara. Hunian sudah terbangun, tetapi masih saja ada masyarakat yang enggan tinggal di dalamnya.
Integrasi hunian dan permukiman
Apabila relokasi terpaksa harus dilakukan, kini saatnya kita berpikir dari urutan sebaliknya. Mendorong terciptanya pemukiman lebih dahulu ketimbang mengerjakan yang lebih cepat, yakni membangun rumah. Membangun permukiman lebih rumit karena banyak pemangku kepentingan dan aspek-aspek lokal terlibat.
Apabila yang dimukimkan di daerah relokasi adalah nelayan, kita perlu memikirkan akses mereka ke pantai dan menjual tangkapannya. Apabila mereka adalah peternak, bagaimana di daerah relokasi disediakan lokasi atau akses untuk beternak. Belum lagi pasar, sekolah, dan puskesmas yang dalam hal ini melibatkan banyak pemangku kepentingan.
Apabila relokasi terpaksa harus dilakukan, kini saatnya kita berpikir dari urutan sebaliknya. Mendorong terciptanya pemukiman lebih dahulu ketimbang mengerjakan yang lebih cepat, yakni membangun rumah.
Intinya adalah menyediakan mereka yang menjadi tenaga pelayan masyarakat agar siap, apabila masyarakat mulai bermukim. Mewujudkan kehadiran mereka di lapangan perlu waktu panjang karena memerlukan rancangan, penganggaran, serta rekrutmen sumber daya manusia.
Hal penting lainnya adalah utilitas, yakni listrik, sarana air bersih, dan pembuangan limbah. Semua tergantung pada instansi lain yang memiliki perencanaan dan anggaran sendiri. Perlu waktu untuk persetujuan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan operasionalnya. Misalnya pengadaan listrik untuk rumah tangga dan penerangan jalan umum.
Ada infrastruktur yang perlu dipasang dan semua perlu pendanaan agar dapat beroperasi permanen. Pengadaan air bersih adalah prioritas. Seandainya pun PDAM tidak ada jaringan untuk memasok, pemerintah perlu memastikan masyarakat bisa mengelola air bersih lewat usaha swadaya masyarakat. Namun ini perlu investasi pengadaan sumur dan pemipaan serta pembentukan dan pelatihan lembaga swadaya pengelola. Lembaga kecil ini yang akan bertanggung jawab mengelola, menarik dana ke tetangganya untuk pemeliharaan pipa dan pompa serta membayar listriknya.
Salah satu yang perlu disiapkan juga adalah pengelolaan sampah, ke mana pembuangan akhir bisa dilakukan. Permukiman akan kumuh kalau sampah menggunung yang berakibat kepada memburuknya kesehatan masyarakat.
Hal penting lainnya adalah status kepemilikan lahan, hal ini selalu menjadi pertanyaan bagi para calon penghuni rumah relokasi. Ketidakjelasan status kepemilikan mempengaruhi kemantapan hati untuk menerima rumah di tempat relokasi.
Semua ini perlu dilakukan segera dan memang lebih rumit karena perlu koordinasi dengan banyak pihak. Dari hal ini terlihat bahwa membangun rumah apalagi bisa dilakukan instan relatif lebih mudah. Dengan demikian apabila memang relokasi perlu dilakukan, upaya-upaya menuju terjadinya permukiman perlu dilakukan segera, lebih awal dari keinginan mendirikan rumah.