Turbulensi Politik 2023
Tahun 2023 adalah batu ujian besar bagi bangsa ini, apakah mampu belajar dari sejarah, atau malah membiarkan diri terpeleset oleh ”kulit pisang yang sama”, oleh irasionalitas politik yang sama—pembelahan bangsa.
Dunia global kini tengah diselimuti ”awan gelap” resesi ekonomi disertai badai ketegangan politik dan prahara gejolak sosial sebagai efek perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai.
Kondisi ini diprediksi berlanjut pada 2023 dan juga akan melanda Indonesia, yakni melambatnya laju pertumbuhan ekonomi, kelesuan dalam perdagangan, pemutusan hubungan kerja, meningkatnya angka pengangguran, melemahnya daya beli masyarakat, mengerasnya tekanan sosial, meningginya suhu politik, dan menumpuknya beban kehidupan.
Padahal, 2023 adalah tahun mulai menyalanya gairah politik menjelang pemilu serentak dan Pemilihan Presiden 2024. Masalahnya, pemilu langsung menuntut dana besar, baik bagi penyelenggara maupun para kontestan.
Oleh karena itu, ia sangat rentan terhadap politik uang, mahar politik, dan aneka bentuk suap. Sementara kondisi ekonomi 2023 diperkirakan semakin sulit. Diselimuti awan gelap resesi ekonomi, kehidupan sosial-politik pada 2023 akan dihantui hawa ketegangan, kecemasan, dan ketidakpastian yang dapat memicu permusuhan, konflik, dan pembelahan anak bangsa.
Baca juga : Kegalauan Politik 2023
Jika situasi ekonomi terus memburuk pada 2023, konsentrasi anak bangsa akan terpecah di antara dua arah partisipasi politik. Pertama, partisipasi politik terkait pemilu (kampanye, pengumpulan massa, dan arak-arakan). Kedua, partisipasi politik nonpemilu (demonstrasi, petisi, protes, dan pemogokan massal).
Kedua partisipasi politik ini dapat saling bertubrukan satu sama lain yang dapat memicu turbulensi sosial-politik serta eskalasi kekerasan. Tekanan resesi ekonomi dan impitan beban kehidupan bisa menyulut ketidakpuasan, kekecewaan, dan kemarahan dengan risiko pemakzulan—the political turbulence.
Kontestasi dalam resesi
Jika demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan di tangan rakyat, partisipasi politik adalah keniscayaan sebagai ”kendaraan” untuk menunjukkan kedaulatan rakyat melalui pilihan politik di kotak suara untuk memengaruhi keputusan politik (Dahl, 1971). Partisipasi politik ditunjukkan lewat keterlibatan dalam kontestasi publik di antara kontestan.
Akan tetapi, dengan digantinya demokrasi perwakilan oleh demokrasi langsung, budaya politik permusyawaratan diambil alih budaya ”pertarungan terbuka” dengan segala risikonya (Fishkin, 2009). Pertarungan terbuka memiliki risiko eskalasi gesekan, perselisihan, bahkan benturan politik sehingga memerlukan semacam penyeimbang.
”Kontestasi-inklusif” adalah salah satu model macam ini yang memadukan ”kontestasi publik” sebagai arena menunjukkan akuntabilitas dan kepekaan pada kepentingan rakyat dan sifat ”inklusif” berupa akses luas bagi peran rakyat dalam keputusan politik (Vráblíková, 2017). Namun, prinsip presidential threshold telah mengubah watak pemilu demokratis menjadi eksklusif karena ia ”mempersempit ruang” bagi warga negara untuk memilih kandidat sesuai preferensi.
Sejak Pilpres 2004, pemilihan langsung telah meninggalkan banyak masalah terkait kualitas penyelenggaraan, tingkat partisipasi rakyat, dan pembelahan anak bangsa. Beberapa indikator menunjukkan, hal ini bisa muncul lagi pada 2023.
Pertama, kesenjangan antara ideologi negara yang mengutamakan ”permusyawaratan” dan praktik politik yang merayakan ”individualisme” sebagai ekses demokrasi langsung. Praktik politik tercerabut dari akar budaya bangsa dengan merayakan kultus individu, pencitraan personal, dan manipulasi psikologi massa.
Sejak Pilpres 2004, pemilihan langsung telah meninggalkan banyak masalah terkait kualitas penyelenggaraan, tingkat partisipasi rakyat, dan pembelahan anak bangsa.
Kedua, pemilihan langsung mendorong kembali ”kekuasaan oleh segelintir”. Meskipun dalam impitan resesi ekonomi, para oligark akan tetap bergentayangan untuk mendapatkan posisi dan keuntungan sosial-politik eksklusif dari pemilu (Winters, 2011). Pada Pemilu 2024, melalui kekuatan uang, mereka tetap akan mencari cara untuk memengaruhi, bahkan mengendalikan proses demokrasi. Mereka akan ”membiayai” partai yang dianggap dapat memuluskan kepentingan mereka, khususnya biaya komunikasi politik, penggalangan massa, dan pencitraan.
Ketiga, efek presidential threshold tetap akan menggiring ke lorong gelap pembelahan anak bangsa. Bangsa berjiwa gotong royong dipaksa mengikuti budaya politik ”individualisme” dengan melenyapkan fondasi sosial permusyawaratan.
Ironisnya, berkah kebebasan individual yang dihadiahkan oleh reformasi diekspresikan melalui aneka ujaran kebencian, perang buzzer, fitnah, hoaks, dan disinformasi. Selain itu, gerak-gerik aktor politik akhir-akhir ini juga menunjukkan gestur yang mengarah pada terancamnya kembali kesatuan bangsa jika tak ada gerakan apa pun bagi rekonsiliasi nasional.
Keempat, erosi kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara pemilu. Pengalaman pilpres sebelumnya—yang oleh berbagai kalangan dianggap tak menunjukkan obyektivitas dan netralitas—masih meninggalkan aroma ketidakpercayaan sebagian masyarakat pada penyelenggaraan Pilpres 2024 dengan dua skenario.
Pertama, skenario menurunnya partisipasi politik dalam pemilu karena sikap apatis rakyat dalam memberikan hak suara. Kedua, kian mengentalnya ketidakpercayaan justru memperkuat kekuatan masyarakat madani untuk secara ketat dan intensif mengawasi jalannya pemilu.
Hantu-hantu turbulensi
Beberapa indikator ekonomi dan sosial-politik di atas menandakan bahwa 2023 ”tidak baik-baik saja” secara ekonomi, sosial, dan politik. Prediksi akan berlanjutnya resesi ekonomi global pada 2023 akan membawa anak bangsa pada ”keadaan antara”: antara kemajuan dan kemunduran, antara kepastian dan ketidakpastian, antara keteraturan dan kekacauan. Kita digiring pada situasi ”penundaan”: penundaan investasi, produksi, distribusi, dan konsumsi. Semua ini akibat tekanan psikis kebimbangan, keraguan, kecemasan, dan tepian kegalauan—the edge of chaos.
Jika awan gelap resesi ekonomi tidak menunjukkan tanda-tanda cerah—bahkan lebih gelap—tahun 2023 akan membawa bangsa pada turbulensi ekonomi, sosial, dan politik. Inilah percampuran agregat antara keteraturan dan kekacauan, antara keadaan yang bisa diprediksi dan tak dapat diprediksi, antara determinasi hukum dan indeterminasi hukum, antara kekuatan rasionalitas dan irasionalitas (Serres, 1996). Semua menimbulkan ketidakpastian dalam ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Misalnya, turbulensi politik akan tetap menyelenggarakan pemilu atau menundanya.
Turbulensi adalah ketidakstabilan dalam berbagai skala, ditandai ”entropi sosial” tinggi ketika apa pun tak terkendali karena banyaknya recok (noise) dan semua bekerja secara acak (Malaspina, 2018). Setiap orang menyelamatkan diri masing-masing ketimbang bangsa. Turbulensi menguras energi (finansial, fisik, psikis, dan sosial) dan menciptakan semacam kondisi kelangkaan, bahkan kehabisan energi (Gleick, 2008).
Energi anak bangsa pada 2023 akan terkuras untuk menghadapi aneka tekanan resesi global dan ketidakpastian sosial-politik.
Energi anak bangsa pada 2023 akan terkuras untuk menghadapi aneka tekanan resesi global dan ketidakpastian sosial-politik. Peningkatan skala dan intensitas turbulensi dapat membawa bala. Turbulensi akibat gesekan partisipasi pemilu (pengerahan massa, arak-arakan, dan debat politik) dan partisipasi nonpemilu (demonstrasi, petisi, dan pemogokan massa) bisa membawa pada eskalasi ketegangan dan benturan kekuatan (Dahl, 1975).
Pergesekan turbulensi ekonomi dan turbulensi politik berisiko pada runtuhnya batas antara ”yang ekonomi” dan ”yang politik” yang membawa pada anomali dan distorsi pada praktik demokrasi: politik transaksi, politik uang, atau aneka kekerasan. Misalnya, dominasi kekuatan uang dalam demokrasi akan mematikan kekuatan demokratis rakyat sendiri.
Turbulensi politik sering diikuti respons instan, desakan kebutuhan, keputusan refleks, koalisi temporer, dan distorsi arah kebijakan yang membawa efek kegamangan. Inilah garis abu-abu antara konflik dan kerja sama, antara keterbelahan dan kesatuan, antara rivalitas dan aliansi, antara oposisi dan koalisi.
Belum usainya perang Rusia-Ukraina akan meningkatkan eskalasi turbulensi ini. Efek besar turbulensi akibat perang dirasakan lebih besar pascaperang ketimbang masa perang (Rosenau, 1990). Artinya, efek ekonomi, sosial, dan politik perang Rusia-Ukraina masih akan menghantui kehidupan anak bangsa pada 2023.
Pemburu hantu
Mengatasi hantu resesi ekonomi dan turbulensi politik adalah tantangan berat bangsa ke depan. Terkait pemilu serentak dan Pilpres 2014, upaya-upaya terintegrasi harus dilakukan untuk mengantisipasi terbelahnya anak bangsa sebagai ekses pertarungan terbuka.
Pertama, sangat diperlukan sistem ”perwasitan” yang berintegritas, netral, dan tepercaya dalam pemilu serentak dan Pilpres 2024. ”Wasit” yang memiliki legitimasi tinggi akan meningkatkan kualitas demokrasi. Untuk itu, KPU serta aparat kepolisian dan TNI harus menunjukkan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang hanya berpihak pada kepentingan bangsa.
Kedua, penguatan masyarakat madani untuk menginspeksi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi gerak-gerik para aktor politik dan penyelenggara pemilu.
Melalui masyarakat madani, rakyat dapat mengendus ”hantu-hantu politik” yang melalui kekuatan uang dan demi keuntungan ekonomi dan politik sesaat mengaduk-aduk emosi anak bangsa yang berujung pembelahan bangsa. Untuk itu, perlu dimaksimalkan fungsi ”demokrasi tandingan” (counter democracy), yaitu pengawasan, pemantauan, dan penyelidikan atas bekerjanya kekuatan tak tampak yang menekuk prinsip-prinsip demokrasi (Rosanvallon, 2008).
Turbulensi politik sering diikuti respons instan, desakan kebutuhan, keputusan refleks, koalisi temporer, dan distorsi arah kebijakan yang membawa efek kegamangan.
Ketiga, membangun kembali kesadaran kolektif seluruh komponen bangsa untuk ”merawat” ideologi negara-bangsa yang didasari semangat persaudaraan dan gotong royong. Dalam impitan hidup, jiwa ”gotong royong” akan diuji: apakah hanya sekadar jargon atau dapat menjadi kekuatan energi bangsa dalam menghadapi impitan resesi ekonomi dan turbulensi politik, seperti yang telah ditunjukkan anak bangsa ketika menghadapi pandemi Covid-19.
Tahun 2023 adalah batu ujian besar bagi bangsa ini, apakah mampu belajar dari sejarah atau malah membiarkan diri terpeleset oleh ”kulit pisang yang sama”, oleh irasionalitas politik yang sama—pembelahan bangsa.
Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB