Bjorka tak lebih merupakan fenomena gunung es. Situasi ini tak lepas dari desain kebijakan hukum digital di Indonesia yang mengalami stagnasi. Tak ada kemajuan berarti dalam desain kebijakan hukum digital di Indonesia.
Oleh
FERDIAN ANDI
·5 menit baca
DIDIE SW
Ilustrasi
Belakangan, akun media sosial Bjorka jadi perbincangan publik. Pemicunya, akun anonim itu menyebar sejumlah data pribadi milik pejabat publik melalui medsos. Tindakan Bjorka ini jelas bertentangan dengan norma hukum meskipun tindakan ini bukan yang pertama kali menyeruak ke publik. Sebelumnya, perkara serupa dari aktor berbeda juga muncul di publik.
Bjorka tak lebih merupakan fenomena gunung es. Situasi ini tak terlepas dari desain kebijakan hukum digital di Indonesia yang mengalami stagnasi, setidaknya setelah keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 2008, termasuk perubahan UU ITE pada 2016. Tak ada kemajuan berarti dalam desain kebijakan hukum digital di Indonesia.
Padahal, sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, diskursus Revolusi Industri 4.0 mengharu biru di ruang publik kita. Perbincangan atas wacana itu semarak, mulai dari lingkungan pemerintahan hingga ke ruang akademik perguruan tinggi. Sayangnya, keriuhan ini tak linier dengan hadirnya kebijakan hukum yang terarah, berkelanjutan, dan sistemik.
Persoalan lama dan baru di ranah digital terus bermunculan. Di sisi yang lain, respons negara atas persoalan ini terus berulang; reaktif dan tentu tak sistemik. Akibatnya, persoalan terkait digital silih berganti bermunculan dan tak terselesaikan. Situasi ini akibat pangkal persoalan tak serius dibenahi.
Tak ada kemajuan berarti dalam desain kebijakan hukum digital di Indonesia.
Sengkarut digital
Keberadaan digital yang memberi kemanfaatan dan kemajuan dalam tata kehidupan menjadi fakta yang tak bisa ditolak. Data kuantitatif di pelbagai sektor, khususnya di sektor ekonomi, menunjukkan tren yang positif dari tahun ke tahun.
Total transaksi jual beli di platfrom digital (e-commerce) sepanjang 2021 sebesar Rp 401,25 triliun, transaksi di pinjaman daring hingga semester I-2022 menembus Rp 400,42 triliun, dan nilai investasi di digital pada 2021 sebesar 4,7 miliar dollar AS. Capaian ini mengonfirmasi potensi ekonomi di ranah digital.
Namun, di sisi lain, digital juga menyisakan masalah krusial. Sengkarut digital muncul, seperti soal keamanan data pribadi, investasi online, perlindungan konsumen di e-dagang, pinjaman online ilegal, dan judi online yang makin masif.
Belum lagi persoalan ketenagakerjaan berbasiskan digital yang melahirkan praktik gig economy, di mana pekerja dibayar sesuai pekerjaan yang diselesaikan. Perlindungan tenaga kerja jadi salah satu isu krusial dalam praktik digital yang belum tersentuh hingga saat ini. Situasi ini terjadi seperti di pengemudi transportasi daring, termasuk pekerja jasa kurir.
Persoalan yang terjadi di ranah digital seolah terlepas dari konsepsi umum tentang negara hukum, di mana tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum.
Nicolas Suzor (2018) menyebut nilai-nilai dalam negara hukum, di mana kekuasaan pemerintah harus dapat atribusi oleh hukum, semestinya juga diaplikasikan dalam tata kelola digital. Ia menyebut perlunya ditegakkan ”konstitusionalisme digital” dengan mengartikulasikan nilai dan prinsip negara hukum dalam pengelolaan digital.
Respons negara dalam sengkarut di ranah digital saat ini masih bersifat represif, bereaksi jika ada persoalan di tengah publik.
Namun, pola itu terbukti tak efektif. Berulangnya kasus yang sama jadi bukti penanganan di sisi hilir tak memiliki dampak berkelanjutan, apalagi mengubah keadaan jadi ideal. Oleh karena itu, dibutuhkan politik hukum digital agar lebih komprehensif, sistemik, dan terarah.
Pemerintah belum tampak serius merancang kebijakan hukum di ranah digital secara solid dan terarah. Hiruk-pikuk diskursus digital melalui kampanye Revolusi Industri 4.0 sekadar disimplifikasi dengan keberadaan 27.400 aplikasi yang dibangun instansi pemerintah dari daerah hingga pusat.
Kebijakan negara melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) belum merefleksikan keseriusan dalam desain tata kelola digital.
Dalam dua dokumen negara itu tak tampak secara kukuh desain kebijakan hukum negara di ranah digital. Bahkan, persoalan digital ditempatkan sebagai tool, belum pada tataran pola pikir sebagai dasar dalam mendesain penormaan dalam perundang-undangan.
Jika dilihat dalam daftar Prolegnas 2015-2019 yang terkait langsung dengan pengaturan digital, jumlahnya tak signifikan. Pada periode ini hanya ada tiga RUU terkait langsung dengan digital, yakni RUU Perubahan UU No 11/2008 tentang ITE, RUU tentang Konvergensi Telematika, dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Dari tiga RUU itu, DPR dan Presiden dalam Prolegnas 2015-2019 hanya mampu menyelesaikan RUU Perubahan UU No 11/2008 tentang ITE.
Begitu juga dalam Prolegnas 2020-2024 yang saat ini sedang berjalan, terdapat lima RUU yang terkait langsung dengan digital, yakni RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU tentang Perubahan UU No 11/ 2008, RUU tentang Teknologi Keuangan, RUU tentang PDP, dan RUU tentang Pemerintahan Digital. Dari kelima RUU itu, pada tahun ketiga DPR dan Presiden baru menyelesaikan UU PDP pada 20 September 2022 lalu.
Situasi yang sama dapat dilihat dalam RPJMN 2015-2019 melalui Perpres No 2/2015 tentang RPJMN 2025-2019. Bisa dilihat, keberadaan digital sebagai tool dalam rencana pembangunan jangka menengah.
Setali tiga uang dalam RPJMN 2020-2024 melalui Perpres No 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024, di mana keberadaan digital lebih ditegaskan dalam Daftar Proyek Prioritas Strategis (major project) untuk mendukung transformasi digital.
Dokumen ini tampak belum merefleksikan desain tata kelola digital secara serius. Negara mestinya menyiapkan desain tata kelola digital yang kukuh melalui kebijakan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dengan pola pikir (mindset) digital.
Ragam kasus yang mencuat ke publik akibat ekses digital mengonfirmasi belum terbentuknya tata kelola digital yang tertuang dalam politik hukum di sektor digital.
Jeremy Bentham (1748-1832) menyebutkan, The greatest happiness of the greatest number is the foundation of morals and legislation.” Artinya, kebijakan negara dalam ranah digital semestinya dimaksudkan untuk memberi proteksi kepada seluruh warga negara sebagaimana amanat konstitusi.
Ferdian Andi, Pengajar HTN/HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
