Mesir dan Arab Saudi mewakili dunia Arab yang tak ingin ketinggalan kereta dari belahan dunia lain dalam mencari solusi atas masalah perubahan iklim.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
REUTERS/AMR DALSH
Foto yang diambil pada 15 Desember 2018 ini menunjukkan para wisatawan menikmati pemandangan pesisir Laut Merah di kawasan resor Sharm el-Sheikh, Mesir.
Sudah ada anggapan klasik di mata dunia tentang kawasan Timur Tengah, yakni sebuah kawasan gurun sahara yang tandus nan luas sekali. Di kawasan gurun yang tandus itu, hidup manusia badui yang terbelakang dan miskin.
Seorang cendekiawan Mesir, Bahgat al-Qorni, mengutip pandangan orang Barat tentang kawasan Timur Tengah yang populer dengan sebutan ”6B”. Sebutan ”6B” adalah singkatan dari bomber (pelaku bom bunuh diri), billy dancer (penyuka tarian timur), billionaire (orang kaya, karena ketiban rezeki minyak), bazar man (perantara/broker bisnis), dan Bedouin (orang Badui yang terbelakang).
Warga Barat secara umum cenderung memandang negatif terhadap warga Arab meskipun tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi, turun di Timur Tengah. Konflik Arab-Israel lebih dari tujuh dekade, yakni sejak perang Arab-Israel tahun 1948, turut berandil lahirnya pandangan negatif dunia Barat terhadap dunia Arab. Dalam konteks ini, Barat cenderung memihak Israel.
Pandangan negatif Barat terhadap dunia Arab mulai sedikit mencair sejak kunjungan mendiang Presiden Mesir Anwar Sadat ke Israel tahun 1977 dan kemudian disusul perjanjian damai Mesir-Israel di Camp David tahun 1979.
Pandangan dunia Barat semakin positif terhadap dunia Arab ketika Arab Saudi melalui Raja Abdullah bin Abdulaziz pada tahun 2002 meluncurkan proposal perdamaian Arab. Proposal tersebut menegaskan kesediaan dunia Arab dan dunia Islam menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, dengan imbalan kesediaan Israel mengakui negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Sejak itu, dunia Barat mulai memandang masa depan perdamaian Timur Tengah berada di tangan Israel, bukan di tangan dunia Arab.
AP PHOTO
Foto dokumentasi tanggal 10 Juni 1967 ini memperlihatkan tentara Israel yang bersukacita di Sinai, Mesir, dalam Perang Enam Hari.
Pandangan positif Barat terhadap dunia Arab semakin kuat ketika meletus musim semi Arab tahun 2011 yang menuntut demokratisasi di dunia Arab. Dunia Barat memandang meletusnya musim semi Arab tahun 2011 itu menunjukkan bahwa bangsa Arab bersedia menerima kultur globalisasi, modernisasi, dan demokratisasi.
Namun, kegagalan musim semi Arab melahirkan demokratisasi di dunia Arab dan sebaliknya justru mengobarkan perang saudara serta krisis politik di sejumlah negara Arab, dunia Barat kembali memandang negatif dunia Arab. Bahkan, tidak sedikit pengamat Barat berpandangan bahwa gagalnya musim semi Arab menandakan bahwa bangsa Arab kembali ke kultur aslinya, yakni terbelakang, anti-demokrasi, dan anti-kemajuan.
Pengamat Barat berpandangan, gagalnya musim semi Arab menandakan bangsa Arab kembali ke kultur aslinya, yakni terbelakang, anti-demokrasi, dan anti-kemajuan.
Akan tetapi, gerakan reformasi di dunia Arab pasca-gagalnya musim semi Arab tahun 2011, seperti di Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Kuwait, Jordania, Maroko, Bahrain, dan Mesir, kembali mengantarkan lahirnya pandangan positif Barat terhadap dunia Arab.
Dunia Barat justru terperangah kagum melihat Visi Arab Saudi 2030 yang digalang Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) sejak tahun 2016. Visi Arab Saudi 2030 itu melahirkan revolusi sosial-budaya di negara itu selama enam tahun terakhir ini.
Revolusi sosial-budaya di Arab Saudi, antara lain, keputusan negara itu mengizinkan kaum perempuan mengemudikan kendaraan serta mengizinkan industri bioskop dan hiburan beroperasi. Kaum perempuan juga diperbolehkan menonton konser musik, bioskop, dan berbagai pertandingan cabang olahraga di stadion terbuka.
AFP/FAYEZ NURELDINE
Rana Almimoni (30), perempuan peminat balap mobil Arab Saudi, berpose di dekat mobil di Sirkuit Dirab, pinggiran selatan Riyadh, Arab Saudi, 19 Juli 2018.
Dunia Barat juga sangat kagum dengan aksi UEA yang menggagas pertemuan Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi pada Februari 2019. Pertemuan Paus Fransiskus dan Sheikh Al Azhar melahirkan penandatanganan dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan guna menangkal radikalisme dan terorisme.
Dokumen tentang persaudaraan manusia, yang kemudian disebut Deklarasi Abu Dhabi, menjadi dokumen terpenting dalam sejarah hubungan Vatikan dan Al Azhar serta hubungan Islam dan Kristen.
Sebelumnya dunia Barat juga menghargai ketika muncul Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Mosul, Irak, di bawah pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi pada tahun 2014, hampir semua negara Arab segera bergabung dengan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat (AS) untuk membasmi NIIS tersebut.
Sejumlah negara Arab, seperti Mesir, Jordania, Kuwait, Arab Saudi, Qatar, Kesultanan Oman, dan UEA, memberi fasilitas pangkalan udara untuk pesawat tempur AS dan negara Barat lain yang hendak transit untuk menggempur sasaran NIIS di Irak dan Suriah. Koalisi Arab-Barat itu berandil besar pada kekalahan NIIS dalam waktu singkat.
Sikap positif dunia Arab yang melahirkan penghargaan dunia Barat dan masyarakat internasional terus berlanjut sampai digelarnya konferensi perubahan iklim (COP27) oleh PBB di kota Sharm el-Sheikh, Mesir, pada November 2022. Dijadwalkan COP28 akan kembali digelar di dunia Arab, yakni di kota Dubai, UEA, tahun 2023.
Digelarnya COP27 di kota Sharm el-Sheikh serta COP28 di Dubai tahun 2023 menunjukkan bahwa dunia Arab bersama masyarakat internasional ikut memberi perhatian dan sekaligus menjadi bagian dari upaya besar mencari solusi atas problem perubahan iklim terakhir ini. Dengan kata lain, dunia Arab memiliki ambisi ikut ambil bagian dalam upaya masyarakat internasional menciptakan teknologi hijau.
AFP/MOHAMMED ABED
Warga duduk di dekat air mancur di area hijau Sharm el-Sheikh International Convention Centre di kawasan resor Laut Merah, Sharm el-Sheikh, saat matahari terbenam, 14 November 2022.
Maka, dunia Arab ingin melakukan lompatan besar dalam teknologi, yakni langsung ikut ambil bagian penting dalam pengembangan teknologi generasi keempat atau kelima, yakni teknologi hijau. Mesir, misalnya, lewat COP27 ingin semakin mendapat legitimasi untuk menjadi pusat energi hijau di kawasan Timur Tengah. Mesir mengklaim telah berhasil mengembangkan energi hijau terbarukan yang bersumber dari angin dan matahari.
Mesir ingin membangun kerja sama untuk mengembangkan energi hijau terbarukan dengan negara tetangga regional, seperti Sudan, Jordania, Libya, Arab Saudi, Siprus, dan Yunani. Alhasil, Mesir berambisi menjadi basis energi hijau di kawasan. Kairo menargetkan menambah kapasitas energi terbarukan hingga 42 persen pada 2035.
Arab Saudi tidak kalah fenomenal. MBS lewat Visi Arab Saudi 2030 meluncurkan proyek ambisius Timur Tengah Hijau pada Oktober 2021. Proyek Timur Tengah Hijau itu lalu digemakan lagi oleh Arab Saudi dalam forum COP27 di Sharm el-Sheikh dengan kesediaan Riyadh mengucurkan dana 2,5 miliar dollar AS selama 10 tahun ke depan untuk proyek tersebut.
Bagian dari pelaksanaan proyek ambisius itu, pertama, Arab Saudi akan menanam 50 miliar pohon di seluruh wilayah Arab Saudi untuk merehabilitasi 200 juta hektar lahan terdegradasi, serta sekaligus membantu mengurangi emisi sebesar 2,5 persen dari tingkat global saat ini. Kedua, Arab Saudi akan menyebarkan salah satu pusat karbon Capture terbesar di dunia. Ini akan menangkap 44 juta ton C02 hingga tahun 2035 atau setara dengan 15 persen dari NDC di Arab Saudi saat ini.
Jika proyek Arab Saudi dan Mesir sukses mencapai target, sejarah Timur Tengah akan berubah. Akan sangat layak disebut ”Timur Tengah Hijau” yang penuh damai dan ramah lingkungan, bukan ”Timur Tingah Merah” yang bersimbah darah akibat kekerasan di sana-sini.