Kegalauan Politik 2023
Tahun 2023 adalah masa untuk penyiapan Pemilu 2024. Diprediksi tahun politik 2023 akan fokus pada adu strategi kanidat capres dan partai politik dalam membangun koalisi. Seperti apa konfigurasi koalisi yang terbentuk ?
Tahun 2023, dari segi politik, adalah masa konsentrasi penuh untuk penyiapan Pemilu 2024, baik bagi penyelenggara maupun peserta. Dengan pengalaman melaksanakan pemilu nasional empat kali dan ribuan pemilihan kepala daerah dengan sukses, pemilu bagi Indonesia adalah peristiwa politik rutin.
Meskipun sudah menjadi agenda rutin, ada sejumlah faktor yang mungkin membuat kita harus menaruh perhatian lebih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pertama, sudah menjadi semacam konsensus global, dunia tengah bersiap memasuki masa yang sulit, terutama tahun 2023. Dan ini berarti bisa melanda Indonesia juga.
Kedua, seperti banyak negara lain, negara kita masih dalam proses pemulihan akibat pandemi Covid-19, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.
Ketiga, pemilu pada Februari 2024 menggunakan kerangka yang sama dengan Pemilu 2019, ditambah dengan rangkaian pemilihan kepala daerah serentak bulan November tahun yang sama. Beban pemilu ini pasti akan terasa lebih banyak.
Baca juga : Lima Pesan Presiden untuk Pemilu 2024
Baca juga : Opini Publik Capres 2024
Jelas bahwa tantangan akan cukup berat. Adakah yang perlu dikhawatirkan? Menurut pemerintah dan sejumlah ekonom, meski kondisi ekonomi global akan sulit pada tahun 2023, situasi Indonesia tidak akan seberat kebanyakan negara lain.
Proses pemulihan ekonomi dan situasi kesehatan akibat pandemi juga secara umum berlangsung baik. Wabah Covid-19, meski masih berlangsung, cenderung terkendali.
Beban yang banyak di Pemilu 2024 semestinya bisa diantisipasi. Pengalaman pada tahun 2019 dan kemampuan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di masa sulit akibat wabah Covid-19 pada 2020 bisa menjadi cerminan bahwa semestinya Indonesia dapat mengatasi tantangan yang berat itu.
Apabila asumsi ini benar, tahun politik 2023 akan terfokus pada adu strategi kandidat calon presiden dan partai politik dalam membangun koalisi, baik untuk persyaratan pencalonan presiden maupun untuk memenangi pemilu legislatif.
Melihat kecenderungan berbagai manuver politik selama 2022 dan berbagai hasil jajak pendapat untuk pilpres dan pemilihan legislatif hingga saat ini, politik 2023 tampaknya juga akan datar-datar saja.
Strategi saling tunggu antarbakal koalisi kemungkinan masih akan berlangsung hingga menjelang pendaftaran capres-cawapres. Dua hingga empat bakal koalisi akan makin terlihat wujudnya.
Kejutan (surprise) tetap ada kemungkinan muncul, terutama apabila sejumlah nama bakal capres yang populer ternyata tidak dicalonkan partai politik. Kejutan akan membuat dinamika politik 2023 berubah, tidak sedatar 2022.
Skenario pertama
Apabila para pengambil keputusan di partai politik menggunakan kecenderungan aspirasi publik sebagai salah satu pertimbangan utama, yang akan kita lihat pada 2023 adalah kelanjutan saja dari yang berlangsung sekarang.
Kecenderungan aspirasi publik dapat terlihat dari berbagai hasil jajak pendapat yang konsisten selama dua tahun terakhir menempatkan tiga nama sebagai bakal calon presiden paling potensial. Artinya, potensi adanya kompetisi tiga pasang dalam pilpres bisa terwujud.
Prabowo Subianto adalah yang pertama mendapatkan cukup kejelasan untuk maju kembali sebagai calon presiden. Koalisi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menopangnya sudah cukup memenuhi syarat ambang batas pencalonan. Namun, koalisi ini belum memutuskan siapa yang bakal mendampingi Prabowo sebagai cawapres.
Koalisi ini juga tampak masih berupaya mengajak parpol lain, terutama PDI Perjuangan (PDI-P). Belakangan bahkan ada isu memasangkan Prabowo dengan Ganjar Pranowo. Apabila Muhaimin Iskandar (Cak Imin) tidak dicalonkan sebagai cawapres, muncul pertanyaan apakah koalisi ini akan benar-benar terbentuk.
Yang tampak cukup jelas dari PDI-P, baik mencalonkan Ganjar maupun Puan, jalan yang akan ditempuh PDI-P adalah berkoalisi.
Yang kedua mendapat kejelasan sebagai bakal capres adalah Anies Baswedan. Partai Nasdem telah resmi mengumumkannya sebagai capres. Yang paling potensial menjadi kawan koalisi Nasdem adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, potensi koalisi ini masih alot memutuskan siapa cawapres yang mendampingi Anies.
Respons politik Presiden Joko Widodo terhadap langkah Nasdem ini terlihat kurang positif. Ini berarti ada risiko Nasdem terdepak dari koalisi pemerintahan, terutama jika koalisi ketiganya resmi diumumkan. Ini karena Nasdem dianggap bersekutu dengan partai oposisi yang berseberangan dengan pemerintah.
Tentu saja ada pro dan kontra menyangkut hal ini karena Nasdem merasa koalisi untuk Pilpres 2024 harus dibedakan dengan koalisi pemerintahan yang ada sekarang.
Masih belum jelas hingga kini adalah posisi Ganjar. Partainya sendiri masih belum memutuskan. Alasan formalnya karena Megawati Soekarnoputri yang memiliki mandat menentukan calon presiden masih belum mengambil keputusan.
Alasan yang lebih terasa adalah karena pimpinan PDI-P tampaknya masih berupaya mengajukan Puan Maharani sebagai capres ataupun cawapres.
Masalahnya, PDI-P harus memilih salah satu dari keduanya, kecuali kalau mau mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri sebagai satu-satunya partai politik yang memenuhi syarat ambang batas pencalonan tanpa koalisi.
Namun, kalau elektabilitas bakal capres yang menjadi pertimbangan utama, patut diduga PDI-P akhirnya akan mencalonkan Ganjar Pranowo. Yang tampak cukup jelas dari PDI-P, baik mencalonkan Ganjar maupun Puan, jalan yang akan ditempuh PDI-P adalah berkoalisi. Yang belum jelas adalah dengan siapa.
Cukup jelas juga bahwa sulit bagi PDI-P berkoalisi dengan Demokrat dan PKS, baik karena alasan ”ideologis” maupun historis. Pilihan PDI-P adalah mengajak Prabowo atau mengajak Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Peluang koalisi PDI-P dengan koalisi Prabowo akan lebih besar apabila posisi yang diambil adalah cawapres, baik itu Puan maupun Ganjar.
Peluang Prabowo menerima akan lebih besar apabila nama yang dibawa sebagai cawapres adalah Ganjar karena memperbesar potensi kemenangan Prabowo secara signifikan.
Apabila PDI-P mencalonkan Ganjar sebagai capres, kawan koalisi yang lebih mungkin adalah KIB yang masih juga belum punya calon. Faktor Jokowi mungkin akan memuluskannya karena dikenal dekat dengan KIB dan mendukung Ganjar.
Apabila PDI-P mencalonkan Ganjar sebagai capres, kawan koalisi yang lebih mungkin adalah KIB yang masih juga belum punya calon.
Jika ini yang terjadi, pilihan cawapres juga akan tetap tidak mudah. Dari segi besaran partai, Partai Golkar yang paling mungkin. Namun, apakah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dapat menerimanya, masih menjadi tanda tanya.
Skenario tiga koalisi ini punya tantangan yang sama. Ketiganya dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam menentukan nama cawapres.
Karena elektabilitas tiga capres potensial tidak ada yang dominan, pilihan bakal cawapres menjadi cukup krusial.
Masalahnya, di antara nama-nama bakal cawapres potensial seperti Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Khofifah Indar Parawansa, dan Erick Tohir, juga tidak ada yang dominan. Partai dan capres harus mempertimbangkan dengan hati-hati pilihan-pilihan ini.
Yang juga harus ditimbang oleh partai dalam menentukan koalisi dan pasangan capres-cawapres adalah efek ekor jas.
Pasangan yang diusung tidak boleh memberi dampak negatif kepada dukungan suara partai-partai anggota koalisi dalam pemilu legislatif. Ini berarti efek ekor jas harus dihitung secara bersama terhadap semua partai anggota koalisi.
Bisa jadi pasangan yang diusung berpengaruh positif kepada elektabilitas satu partai, tetapi tidak untuk partai lainnya dalam koalisi yang sama.
Dalam konteks ini, suatu partai mungkin akan berpikir ulang (walaupun sudah punya koalisi atau potensi koalisi) kalau perhitungannya menunjukkan pasangan yang diusung tidak membawa dampak positif bagi dukungan partai tersebut di pemilu legislatif.
Skenario tiga koalisi akan ditandai kompetisi yang ketat. Dengan asumsi pendukung Prabowo di Pemilu 2019 akan terpecah ke Anies, akan terjadi perebutan sengit pendukung Jokowi. Boleh jadi, yang dianggap sukarelawan Jokowi akan makin laku di tahun 2023.
Kompetisi yang ketat juga berarti tidak ada wilayah yang lebih penting dibandingkan wilayah lainnya. Bakal capres dan parpol pengusung akan berkonsentrasi penuh di semua wilayah dari Aceh sampai Papua, bukan hanya di Jawa.
Bersiap untuk kejutan
Kejutan tentu sulit diperkirakan. Ia bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Di Amerika Serikat dikenal October Surprise (kejutan bulan Oktober), yaitu peristiwa yang terjadi dan memengaruhi hasil pemilu pada bulan November.
Pemilu di AS selalu dilaksanakan awal November setiap dua tahun (legislatif) dan empat tahun (presiden). Kejutan bisa saja terjadi spontan, tetapi bisa juga terencana. Biasanya ia akan muncul di waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan atau tahapan krusial pemilu. Apabila kejutan terjadi, ia bisa mengubah dinamika pemilu (game changer).
Ada dua jenis kejutan yang mungkin terjadi dalam konteks pemilu presiden kita. Pertama, terkait dengan pencalonan. Kedua, terkait proses kampanye hingga hari pemungutan suara.
Apabila konfigurasi bakal koalisi antarpartai ini berubah, itu berarti potensi pasangan capres dan cawapres juga bisa berubah.
Yang pertama akan menarik perhatian adalah apabila ada kejutan dalam proses pencalonan presiden. Sumber kejutan pertama kemungkinan adalah perubahan konfigurasi koalisi partai dari yang sudah mulai terbentuk sekarang.
Tak ada jaminan kalau koalisi yang sedang dibangun Nasdem, Demokrat, dan PKS akan betul-betul terbentuk. Demikian juga dengan koalisi yang sedang dibangun Prabowo ataupun koalisi KIB. Juga tak ada jaminan kalau upaya PDI-P membangun koalisi akan mendapatkan sambutan dari partai-partai lain.
Apabila konfigurasi bakal koalisi antarpartai ini berubah, itu berarti potensi pasangan capres dan cawapres juga bisa berubah. Ini akan menimbulkan dinamika baru, yang bisa saja berbeda jauh dengan dinamika yang terjadi selama 2022.
Sumber kejutan yang lain adalah apabila di antara nama yang populer sebagai bakal capres tidak dicalonkan oleh partai politik mana pun. Misalnya, Ganjar tidak dicalonkan oleh PDI-P, dan Ganjar tidak mau menerima pencalonan dari partai lain, maka dinamika kompetisi politik juga bisa berubah.
Demikian juga kalau dua nama lainnya tak berhasil mengamankan kecukupan ambang batas pencalonan presiden.
Dua spekulasi ini hanyalah dua saja dari kemungkinan sumber kejutan. Tentu masih ada potensi yang lain. Kita tidak boleh lupa, bagi para pelakunya, politik sering kali adalah seni membuat kemungkinan (the art of the possible).
Djayadi Hanan Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII); Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)