Banyak guru dengan segala predikat keterbatasan, tetapi tetap bersemangat menemani anak-anak bangsa meraih mimpi pendidikan. Mereka guru-guru berjiwa tangguh yang setia menunaikan janji pencerdasan bagi anak bangsa.
Oleh
ANGGI AFRIANSYAH
·5 menit baca
SUPRIYANTO
ilustrasi
Wajah guru-guru Indonesia sangat ditentukan oleh kebijakan pendidikan yang berpihak kepada pendidikan di Indonesia. Kebijakan pendidikan yang memperhatikan secara seksama model pengelolaan pendidikan guru (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK), perekrutan guru, peningkatan kapasitas guru, dan kesejahteraan guru.
Hal miris yang masih terjadi hingga kini, sementara tuntutan profesionalitas guru semakin mengemuka tetapi masih banyak guru yang tidak mendapatkan penghasilan seperti para profesional. Ajakan agar guru mengabdi untuk bangsa nampak sebagai hiburan usang ketika pemerintah masih jauh panggang dari api untuk menunaikan janji untuk menyejahterakan para guru.
Pola kebijakan pendidikan yang lebih melihat konteks lokal dalam memahami persoalan yang menghadang para guru perlu dikedepankan. Tantangan yang menghadang guru-guru di Tanah Papua tentu sangat berbeda dengan apa yang dihadapi guru-guru di Tanah Jawa.
Guru-guru di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) yang minim akses tentu memiliki persoalan yang berbeda dengan guru-guru di kota metropolitan yang kaya akses. Guru-guru garis depan ini menghadapi problematika dan kompleksitas yang berbeda dengan yang ada di kota-kota besar.
Kondisi tersebut menyebabkan berbagai kebijakan dan tawaran solusi yang diberikan oleh pemerintah perlu kontekstual dan tidak bisa gebyah uyah. Ajakan untuk mengedepankan pendidikan yang serba teknologi tentu tidak pas jika diajukan untuk para guru yang ada di wilayah-wilayah yang tidak ada listrik dan akses internet memadai.
Dalam konteks tersebut, meminjam apa yang disampaikan oleh Wirutomo (Imajinasi Sosiologi: Pembangunan Societal, 2022) dalam menganalisa ketidakadilan sosial dalam pendidikan, maka pemerintah harus memperhatikan equality of opportunity, equality of access, equality of input, equality of process, equality of output, dan equality of outcome para guru. Ketika terjadi ketidaksetaraan dalam berbagai aspek maka pemerintah harus sadar bahwa kebijakan pendidikan yang diterapkan tidak bisa dilakukan secara seragam.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Perjuangan Guru Suprihatin, Kepala SDN Cikaret, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (4/4/2018), melintasi sungai dengan sepeda motornya yang dinaikkan ke atas rakit untuk menuju sekolah. Melintasi sungai dan jalanan terjal sepanjang lebih dari 8 kilometer, sudah menjadi keseharian guru di daerah terpencil tersebut.
Guru-guru dengan berbagai keterbatasan tentu memerlukan ketangguhan yang berlipat untuk memenuhi setiap standar profesionalitas yang dituntut pemerintah. Sementara para guru tersebut tidak memiliki daya dukung yang memadai bahkan dari pemerintah di tingkat lokal sampai pemerintah pusat.
Guru-guru tersebut tidak saja harus menyelesaikan persoalan di ruang kelas, tetapi juga persoalan di luar kelas. Sebab ketika anak-anak membawa persoalan dari rumah atau masyarakat, mereka tidak akan fokus belajar di sekolah. Maka guru-guru pun perlu berfokus untuk membantu mengurai persoalan anak-anak tersebut agar mereka kembali fokus untuk belajar.
Meski tentu saja, ketika kita bergerilya ke banyak tempat di negeri ini masih dapat ditemui guru-guru dengan segala predikat keterbatasan, tetapi tetap bersemangat menemani anak-anak bangsa untuk meraih mimpi pendidikan. Guru-guru berjiwa tangguh tersebut masih bersetia untuk menunaikan janji pencerdasan bagi anak bangsa.
Membangun guru sama dengan membangun Indonesia di masa depan. Sebab, para guru merupakan garda terdepan pendidikan di negeri ini.
Membangun guru, membangun Indonesia
Membangun guru sama dengan membangun Indonesia di masa depan. Sebab, para guru merupakan garda terdepan pendidikan di negeri ini. Mochtar Buchori (2011) dalam buku Guru Profesional dan Mutu Pendidikan mencatat bahwa dua hal utama yang harus ada di dalam diri guru. Pertama, guru perlu menjadi sosok yang memiliki daya belajar (learning capability). Guru perlu memahami berbagai persoalan baru yang terjadi di masyarakat.
Kedua, guru merupakan sosok panutan yang dapat memberi contoh dalam berperilaku. Guru, menurut Buchori, dapat menjadi perintis dalam mengembangkan pola-pola perilaku yang sesuai dengan konteks masyarakat pluralistik dan multikultural. Dalam konteks menjadi sosok panutan, guru perlu menjadi pribadi yang memiliki prinsip moral dan etika yang kokoh namun juga luwes dalam bergaul dengan masyarakat. Dapat dibilang, mereka juga guru di masyarakat.
Dua hal tersebut bukan perkara mudah. Namun seperti diingatkan oleh Buchori (2006), guru-guru harus memiliki dua modal utama tersebut jika tidak ingin menjadi sosok yang hidup dan bekerja tanpa wibawa dan disegani masyarakat. Ia menyebut dengan keras, jangan sampai terjadi erosi wibawa guru dan sekolah.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan KH Saifudin Zuhri (Menteri Agama periode 1962-1967) dalam karyanya Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) bahwa guru yang baik merupakan guru yang pembicaraannya didengar dan dipercayai serta lalu tingkah lakunya menjadi panutan murid-muridnya. Ia menyebut kewibawaan guru terletak pada tutur kata dan perbuatannya sendiri.
Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara (Soewito, 2019), guru perlu menjadi pemimpin yang berdiri di belakang serta berkewajiban menyingkirkan berbagai hal yang merintangi perjalanan anak-anak didiknya. Hal tersebut nampak dari sistem among, mempercayai anak untuk tumbuh leluasa, tetapi tidak membiarkannya begitu saja. Anak bebas mengembangkan bakat dan tidak selalu menunggu perintah (Soewito, 2019).
Dalam perspektif HAR Tilaar (2007) untuk berkembang para guru perlu mendapatkan banyak asupan seperti melalui program penataran, belajar sendiri melalui berbagai seminar dan pertemuan ilmiah, belajar melalui e-learning, serta melalui penataran profesi secara profesional. Selain itu Tilaar menyebut sekolah juga menjadi wahana bagi guru untuk belajar (school as learning institution for teachers). Menurut Tilaar (2007), di sekolah para guru belajar mengenai perkembangan peserta didik, perkembangan materi (bahan ajar), perkembangan teknologi dan informasi, serta berbagai aspek lainnya.
Jika menyimak apa yang sudah dipaparkan para tokoh pendidikan terkait dengan potret guru yang ideal tentu dalam praktinya apa yang sudah disampaikan tersebut tidak mudah mewujud dalam wajah guru-guru di Indonesia. Dalam praktiknya, ada banyak kerumitan yang menghadang terciptanya guru-guru yang profesional, memiliki daya belajar tinggi, serta mampu menjadi panutan.
Romo Driyarkara (2006) menyebut pendidikan sebagai fenomena fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Karena begitu fundamental dan asasinya persoalan pendidikan, maka tidak sembarang orang dapat menjadi pihak yang memberikan pencerahan dan pencerdasan bagi anak-anak bangsa.
Memberi penyadaran kepada manusia melalui pendidikan bukan perkara mudah. Perlu ketekunan dan ketangguhan dalam menghadapi manusia dengan ragam wajahnya. Sosok tekun, tangguh, dan bersahaja tersebut adalah para guru. Mereka adalah api harapan untuk Indonesia masa depan.
Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN