"Football Nation": Komik Bola Ilmiah
Jika menengok kegilaan Jepang akan sepak bola, lolosnya mereka ke babak kedua Piala Dunia 2022 Qatar tidak mesti dianggap mengejutkan. Jawabannya antara lain ada pada kinesiologi.
Jepang lolos ke babak kedua di Piala Dunia 2022 Qatar, dengan mengalahkan dua raksasa sepak bola Jerman dan Spanyol, meski dalam grup yang sama juga dikalahkan oleh Costa Rica. Jika menengok kegilaan Jepang akan sepak bola, pencapaian itu tidak mesti dianggap mengejutkan. Kegilaan yang kemudian juga merembes ke nekketsu shōnen atau manga olahraga, seperti terlihat dari komik seri Football Nation (Yuki Otake, 2010).
Seperti pernah saya tulis dalam Kompas (21/07/2018), yang segera menarik perhatian adalah terdapatnya nama Hideo Takaoka sebagai penasehat ilmiah (scientific advisor) dari Institut Riset Ilmu Pengetahuan Gerak (Research Insititute of Movement Science). Ini agak berbeda dengan penjelasan lain, yang menyebut lembaganya sebagai Institut Riset Kinesiologi (Research Institute of Kinesiology).
Adapun kinesiologi disebut sebagai ilmu pengetahuan tentang gerak tubuh manusia maupun non-manusia, yang melakukan kajian atas gerak fisiologis, biomekanis, maupun prinsip dan mekanisme dinamik dari gerak. Jadi Takaoka adalah seorang kinesiolog, yang tampaknya lebih populer dalam metode praktis daripada teori, meski pencapaiannya sendiri adalah Teori Yuru yang menawarkan sistem latihan dinamik untuk “melepas” tubuh dan pikiran manusia. Latihan-latihan ini disebut menajamkan pikiran, menyehatkan kehidupan, dan menjadikan tubuh sangat efektif (www.yuruexercise.net/09-01-2020). Bagaimanakah ini terhubungkan dengan nekketsu shōnen atau manga olahraga Football Nation?
Menukik ke Wacana Ilmiah
Komik ini menukik ke dalam subjek sepak bola dengan membawa Teori Yuru, dari tubuh sampai ruang, sehingga alur tentang peningkatan kualitas kesebelasan Liga Divisi III Tokyo Crusade menjadi cerita seru tentang segala aspek ketubuhan yang menjadi bagian sepak bola. Disebutkan misalnya, sebagian besar pemain Jepang berlari dengan cara lari paha depan (front thigh running), dalam langkah-langkah pendek, menggunakan paha depan (quadriceps) untuk mengangkat paha; kaki bergerak berlebihan ketika kepala bergerak ke atas dan ke bawah.
Padahal pemain Liga Eropa kelas atas dan negeri kompetitif lain, gerak lari paha belakangnya (back thigh running) mengalir. Saat berlari dalam langkah panjang, pemain menggunakan otot-otot paha belakang (hamstring) dan tubuh bagian bawah, otot-otot dalam otot illiacus dan otot utama psoas (keduanya penghubung tungkai dan tulang belakang) untuk mengayun kaki mereka secara dinamis; poros tubuh tidak ragu dan postur tertarik tanpa kepalanya naik turun. Ini disebut lebih photogenic (bagus untuk dipotret) daripada sebelumnya, seperti kata juru foto dalam komik itu. Masalahnya, perbedaan ini bersifat alamiah atau kultural?
Tampak seperti teks akademik tentang gerak tubuh, tetapi Football Nation 1 tetap mengalirkan drama kejutan komik hiburan, ketika tim underdog Tokyo Crusade mengalahkan lawan-lawannya. Alur sepak bola berselang-seling dengan alur manusia. Chihiro Oki, pemain bola bon-bonan (freelancer) yang bisa bermain di segala posisi, memiliki kemampuan main bola dengan dasar ilmiah: matanya memiliki pandangan mata burung, seperti memandang lapangan bola dari langit, dan mengoper bola bukan ke tempat pemain berada, melainkan ke tempat pemain seharusnya berada. Operan diperhitungkan dengan kecepatan lari, luas lapangan, dan ketakterdugaan arah tendangan. Dikisahkan betapa kehadiran “The Joker” Chihiro Oki akan meningkatkan kualitas permainan.
Dalam konteks hibrida sepakbola ke dalam komik, alur kompetisi dilebur dalam kombinasi teks ilmiah tentang gerakan tubuh dan ruang gerak, maupun alur cerita tentang latar Chihiro Oki, yang ternyata pernah masuk penjara bawah umur, karena mengakui pembunuhan yang dilakukan seorang kawan, demi menyelamatkannya. Gambar pisau berkilau menyisip di berbagai adegan sampai menjadi jelas konteksnya, membuat naratif Football Nation 1 pun “berseni”. Kelak dalam Football Nation 3, yang semula terbunuh diketahui masih hidup!
Dari Volante Sampai Spion Bola
Melanjutkan pembacaan dengan Football Nation 2 alur kejutan tim underdog dalam The Emperor’s Cup dilanjutkan. Turnamen ini dapat dibandingkan dengan FA (Football Association) Cup di Inggris, berlangsung dalam sistem gugur antarsemua divisi, bahkan tim sepakbola kampus pun termasuk. Di Inggris, tim-tim Liga Primer bisa dikalahkan tim non-liga, seperti ketika Newcastle United ditaklukkan Hereford tahun 1972. Saya juga teringat kegegeran ketika Arsenal dikalahkan tim ranking terbawah dari 92 kesebelasan Liga Sepakbola (Football League) pada 1992 (https://www.nytimes.com › rob-hughes.,10-01-2020).
Di Football Nation 2, subjek berkembang dengan masalah strategi pemenangan turnamen, dan salah satunya adalah memilih pemain yang cocok dengan posisinya. Namun kriterianya begitu ketat, sehingga striker yang dicari hanya cocok jika merekrut pemain bola akrobatik dari kaki lima.
Mario, teman lama Chihiro yang keturunan imigran Brazil, mengajukan syarat harus dikalahkan dulu, karena sekali bersedia akan lama meninggalkan kaki lima, dalam pertandingan di lapangan basket dengan satu tiang gawang sebagai sasaran tembak. Padahal Mario selama ini tak terkalahkan. Tentu Chihiro akhirnya menang. Masalahnya, sang seniman bola ini belum pernah bertanding bola yang resmi dan tidak paham peraturannya!
Pertandingan di lapangan basket dimenangkan melalui perhitungan akurat yang nyaris matematis, menyangkut kecepatan gerak, gravitasi, ruang permainan, dalam bingkai waktu. Dengan kata lain, kreativitas yang tinggi di lapangan memanfaatkan fisika gerak, suatu pendekatan yang mengandalkan pertimbangan ilmiah: sebelumnya telah dipelajari, dikaji, diuji, dilatih, dan temuan rumusnya diterapkan.
Itu soal praktik ilmu pengetahuan gerak, tidak kalah menarik adalah terdapatnya fungsi pemain sebagai volante dalam line up. Apa itu? Satu pemain yang bergerak tanpa bola, dan sangat menentukan arah permainan. Caranya? Volante berposisi di antara gelandang serang (attacking midfielder) yang tengah dan pemain belakang tengah (centre back), ketiganya disebut menjadi tulang punggung tim. Volante menjadi senjata rahasia karena mendekat ke daerah vital tanpa terlihat, langsung dari tengah, dalam formasi 4-1-4-1. Menghadapi formasi 4-3-3 misalnya, akan selalu terdapat satu pemain yang bebas.
Bagaimana dapat diketahui formasi lawan itu? Dalam Football Nation 3, selain fungsi dan posisi volante,yang lebih baru adalah dijalankannya spionase terhadap lawan, dengan mengirim spion yang menyamar sebagai fans. Namun yang menarik adalah rekrutmen spion ini: selain mesti terbukti sebagai fans berat Tokyo Crusade, cerdas membaca permainan dan cermat mengamati setiap pemain lawan. Cara mengujinya justru harus tahu titik lemah Tokyo Crusade—dan ia tahu.
Kembali kepada kinesiologi, pentingnya tulang punggung bukan hanya sebagai perumpamaan bagi formasi tim, melainkan bagi tulang punggung pemain itu sendiri. Maka, kembali ke Football Nation 2, diperkenalkan cara berdiri dan berjalannya balerina, karena keberesan tulang punggung ini mendukung cara berjalan, berlari, melompat, dan ujung-ujungnya posisi tubuh ketika menggiring bola dan seterusnya.
Memang ada hubungannya dengan Football Nation 1: pemain bola Jepang poros tulang punggungnya tidak vertikal, pemain profesional Eropa porosnya vertikal. Adapun vertikal artinya dari ujung kaki sampai ujung kepala bisa ditarik garis selurus-lurusnya yang menghubungkan bumi dan langit. Sebagai komik, semua ini terjelaskan dengan gambar, yang tak teringkari sebagai menarik.
Sepakbola dalam Komik: Hibrida Industri Hiburan
Dihubungkan dengan dunia sepakbola, dapat disaksikan bagaimana sepakbola telah memberi dan sebaliknya juga diberi arti, sebagai konstruksi sirkuit budaya yang berlangsung di Jepang. Di negeri ini, sepakbola ditumbuhkan sebagai bagian dari industri hiburan, artinya ditangani swasta, seperti terhubungkan dengan hasil penelitian Richard Layard, bahwa pada khalayak Barat yang tambah kaya, orang-orangnya tidak menjadi lebih bahagia. Katanya, di Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang (padahal bukan Barat—sga), orang-orang tidak tambah bahagia dalam 50 tahun terakhir, meski penghasilannya meningkat sampai lebih dari dua kali lipat (Layard dalam Kuper & Szymanski, 2018: 272).
Jepang, Bersama Tiongkok dan Amerika Serikat, pertumbuhan penggemar bolanya matang dalam gelombang kedua globalisasi olahraga. Jika gelombang pertamanya mengacu Olimpiade modern pertama tahun 1896; gelombang keduanya terdorong penyiaran global televisi, yang dalam hal sepakbola dimulai sejak Piala Dunia FIFA 1958, mendahului Olimpiade musim panas tahun 1960. Kematangan penggemar jelas berarti kematangan pasar, menjadi faktor penting sukses komersial Liga Sepakbola Jepang, J-League, yang digelindingkan mulai Sabtu Wage 15 Mei 1993.
Popularitas sepakbola di Jepang, yang membuat prestasi olahraga dan industri hiburan berjalan paralel, mendapatkan momentum sebagai tuan rumah Piala Dunia 2002 bersama Korea Selatan. Dalam sepakbola perempuan, Jepang bahkan sudah menjadi juara dalam Piala Dunia 2011. Di bagian perempuan, tempat tak banyak negeri berpengalaman merawatnya, negara besar dan kayalah yang biasanya selalu menang. Untuk sepakbola pria, Jepang disebut bermaksud menjadi tuan rumah Piala Dunia 2050 dan memenangkannya.
Seperti di Amerika Serikat, sepakbola di Jepang bukanlah yang paling populer, misalnya dibanding baseball, tetapi lebih dari cukup untuk menggerakkan gagasan para seniman dan penerbit manga. Betapapun, J-League adalah bagian dari pertumbuhan bisnis industri hiburan dalam 30 tahun terakhir ini, tempat segmen olahraga paling cepat berkembang, terutama berkat televisi.
Persoalan baru tentu, seberapa jauh menjamurnya telepon-cerdas akan berpengaruh, tetapi bagi sepakbola sendiri masa depan terandaikan masih merupakan lahan bisnis besar. Dalam hal ini Jepang, yang di masa sulit seusai Perang Dunia II mampu melakukan substitusi atau membuat sendiri barang impor (merujuk ibid., h. 272, 304, 355, 431, 446-7, 449; maupun “Sport Globalization”, Wikipedia, 10-01-2020), tidak mungkin melepaskan peluang—dan industri manga, khususnya nekketsu shōnen, tentu mau juga potongan kuenya.
SENO GUMIRA AJIDARMA
Wartawan