Krisis Iklim dan Pelindungan Perempuan Pembela HAM dan Lingkungan
Untuk memperkuat dan mendorong peran perempuan pembela HAM dan lingkungan hidup, diperlukan instrumen hukum yang mengarusutamakan serta sensitif jender.
Oleh
ANNISA RAHMAWATI
·5 menit baca
Dunia tengah mengalami tiga krisis utama yang mengancam kehidupan, yakni perubahan iklim, polusi, dan punahnya keanekaragaman hayati. Diakui atau tidak, berbagai krisis tersebut terjadi akibat kegiatan manusia yang destruktif dan eksploitatif. Imbasnya, krisis itu menyebabkan ancaman hilangnya akses warga negara untuk memperoleh lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan–sebagai bagian integral dari hak asasi manusia universal yang tercantum dalam resolusi Dewan PBB.
Dalam situasi krisis ini, keberadaan dan perjuangan para pembela hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan menjadi sangat krusial untuk memastikan keadilan lingkungan dan kemanusiaan. Terlebih ketika negara begitu fokus kepada ”pertumbuhan ekonomi” dengan membuka keran investasi besar-besaran, tanpa memperhatikan keseimbangan aspek antara pembangunan, keadilan sosial, dan kelestarian alam. Namun, upaya memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidaklah mudah dan acapkali terhambat karena berbagai ancaman serta kekerasan. Dalam konteks jender, perempuan dalam posisi rentan menjadi korban.
Tanggal 25 November, setiap tahun, diperingati sebagai hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Momentum tersebut semestinya mendorong para pemangku kepentingan untuk memastikan pemenuhan dan pelindungan hak asasi manusia terhadap para korban pelanggaran HAM dan pembela HAM.
Rilis dari International Union for Conservation of Nature dua tahun lalu menunjukkan terjadi 304 pembunuhan pembela HAM secara global pada 2019. Dari jumlah tersebut, sebesar 40 persen merupakan pembela lingkungan hidup dan sebanyak 13 persen di antaranya merupakan perempuan.
Komnas Perempuan juga melaporkan sebanyak 87 kasus pengaduan kekerasan dan serangan kepada perempuan pembela HAM di Indonesia sepanjang 2015-2021. Data kekerasan tersebut dialami oleh perempuan pembela HAM lintas profesi, salah satunya pendamping isu lingkungan hidup. Tentu saja angka tersebut belum termasuk banyaknya kasus yang tidak dilaporkan dan masih terus terjadi hingga kini.
Perempuan adalah kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan berbasis jender dalam kehidupan ataupun perannya dalam memperjuangkan HAM dan lingkungan. Kekerasan kerap menyasar secara fisik dan sangat traumatik, seperti pelecehan seksual secara langsung ataupun secara digital. Tidak berhenti di situ, kekerasan juga terjadi dalam bentuk pembatasan akses atas partisipasi dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan.
Di sejumlah daerah, misalnya, posisi perempuan sangat lemah dalam struktur kepemilikan lahan karena hanya memiliki hak pakai. Padahal, justru perempuan yang paling dekat dengan hutan. Ketika laki-laki melepas hak komunal atas hutan, perempuan sebagai aktor utama keluarga akan kehilangan akses atas hutan yang menjadi sumber pangan keluarganya. Bentuk-bentuk diskriminasi ini didorong oleh ketimpangan sistemik dan kuasa karena mengakarnya budaya patriarki di Indonesia.
Perempuan adalah kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan berbasis jender dalam kehidupan ataupun perannya dalam memperjuangkan HAM dan lingkungan.
Pelapor khusus PBB atas Situasi Pembela HAM, Michel Forst, pada 2019 menekankan dan menjembatani kesenjangan atas resolusi PBB tahun 2013 terkait pelindungan terhadap pembela HAM, di mana dalam laporannya disebutkan bahwa perempuan memiliki risiko kekerasan lebih tinggi daripada laki-laki karena jender dan interseksionalitas mereka.
Perempuan yang membela haknya atas tanah, teritorial wilayah, dan hak terkait lingkungan hidup seringkali dirugikan atas aktivismenya. Perempuan diabaikan dan dieksklusi dari kepemilikan atas tanah, negosiasi di komunitas, dan pengambilan keputusan mengenai masa depan tanah mereka.
Laporan yang sama menunjukkan bahwa kekerasan seksual kerap digunakan untuk membungkam perempuan pembela lingkungan. Lekatnya budaya patriarki mengakibatkan ketidakberdayaan perempuan dan pengecualian mereka dari proses pengambilan keputusan. Kekosongan instrumen hukum yang menjamin pelindungan perempuan pembela lingkungan hidup memperpanjang daftar kekerasan terhadap perempuan pembela lingkungan hidup dan mendorong terjadinya diskriminasi ganda.
Instrumen hukum untuk pelindungan
Berangkat dari fakta kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang kerap dialami oleh pembela HAM—khususnya perempuan—beberapa negara mengambil inisiatif menyusun dan menyediakan beberapa instrumen hukum guna melindungi perempuan pembela lingkungan hidup. Salah satu inisiatif muncul di wilayah Afrika Barat. Terlepas dari bagaimana implementasinya, negara di Afrika Barat yang telah mengadopsi instrumen hukum terkait pelindungan pembela lingkungan hidup adalah Pantai Gading.
Pada 2014 Pantai Gading menjadi negara pertama di Afrika yang mengesahkan undang-undang pelindungan pembela HAM sekaligus memberikan pelindungan terhadap perempuan pembela lingkungan hidup. Pelindungan yang dimaksud adalah jaminan terhadap berbagai hak mendasar bagi perempuan pembela lingkungan hidup sebagai bagian dari pembela HAM, seperti jaminan hak untuk berserikat, kebebasan berekspresi, hak atas akses informasi, dan hak atas pelindungan dari serangan balasan.
Tak ada instrumen hukum yang cukup kuat untuk menjamin pelindungan terhadap para pembela HAM dan lingkungan—terutama perempuan.
Undang-undang tersebut juga mengakui ancaman yang secara spesifik dialami oleh pembela HAM dan kebutuhan untuk melindunginya, termasuk kriminalisasi. Lebih jauh, undang-undang tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk menjamin pelindungan terhadap keluarga dan rumah dari serangan yang ditujukan terhadap perempuan pembela lingkungan hidup serta melakukan investigasi terhadap serangan-serangan tersebut.
Di Indonesia, prinsip-prinsip pelindungan terhadap pembela HAM diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, utamanya dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan juga mengatur soal partisipasi masyarakat. Walaupun demikian, belum cukup untuk merespons situasi dan kerentanan yang dihadapi pembela HAM saat ini—utamanya perempuan pembela lingkungan hidup—karena aturan tersebut tidak mendefinisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan pembela HAM yang seharusnya sensitif jender dan memuat ketentuan spesifik mengenai pembela HAM dan perempuan pembela HAM.
Aturan yang menjamin pelindungan terhadap pembela hak atas lingkungan hidup secara khusus dapat ditemukan dalam Pasal 65 dan 66 UU No 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua pasal itu mengatur jaminan terhadap pembela lingkungan hidup atas partisipasinya dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun, kedua pasal tersebut tidak mengatur standar, norma, dan prosedur yang dapat melindungi pembela lingkungan hidup dari berbagai serangan yang selama ini dialami sekaligus mengakui kerentanan terhadap perempuan pembela lingkungan hidup. Tak ada instrumen hukum yang cukup kuat untuk menjamin pelindungan terhadap para pembela HAM dan lingkungan—terutama perempuan. Hal ini makin diperparah dengan terbitnya deregulasi dalam UU Cipta Kerja dan kebijakan—kebijakan lainnya yang semakin mempersempit ruang partisipasi masyarakat.
Untuk memperkuat dan mendorong peran perempuan pembela HAM dan lingkungan hidup, diperlukan instrumen hukum yang mengarusutamakan serta sensitif jender. Keseluruhan instrumen yang sedang dibangun atau disesuaikan harus mampu menciptakan ruang aman bagi perempuan pembela lingkungan untuk berpartisipasi dan menjalankan fungsi penyeimbang yang positif bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang pada akhirnya mampu menyediakan daya kemampuan bagi perempuan untuk mengatasi batasan patriarki dan mendorong akuntabilitas negara dan aktor privat. Instrumen pelindungan tersebut menjadi harapan untuk menciptakan iklim demokrasi dan penegakan hukum serta mendorong akses lingkungan yang bersih dan sehat untuk masa depan Indonesia yang lebih adil dan lestari, gemah ripah loh jinawi.
Annisa Rahmawati, Perempuan Aktivis Lingkungan; Direktur Eksekutif Satya Bumi