Di tengah polarisasi dan pembelahan sosial yang semakin tajam menjelang pemilu, Indonesia merindukan pemimpin yang menyelenggarakan republik modern ini dengan ”politik kemanusiaan” dan ”politik belas kasih”.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Sukarelawan lintas agama memberikan optimisme pada tegaknya kemanusiaan yang inklusif dan setara. Alih-alih digerakkan oleh kepentingan diri sendiri dan ajang pencitraan politik menjelang pemilu, para sukarelawan kemanusiaan berorientasi pada ikhtiar kolektif untuk membantu sesama manusia yang penuh duka dan derita dengan ikatan cinta dan belas kasih. Belas kasih menjadi titik temu para sukarelawan lintas agama untuk berkhidmat pada kemanusiaan.
Inti kemanusiaan yang satu dan setara menggerakkan sukarelawan lintas agama untuk bertemu dan bersatu, dengan prinsip belas kasih, tidak hanya untuk merasakan penderitaan sesama manusia, tetapi juga untuk membebaskan orang lain dari penderitaan hidup. Belas kasih pun dihadirkan dalam tindakan kemanusiaan—compassion in action, sesuai dengan petuah bijak dari dua Buddhis Franky O Widjaja dan Hong Thjin kepada para sukarelawan kemanusiaan lintas agama yang tergabung ke dalam Yayasan Buddha Tzu Chi.
Sejak gempa menewaskan lebih dari 300 orang, sukarelawan kemanusiaan Tzu Chi dari Cianjur, Bandung, dan Jakarta terlibat aktif dalam memberikan bantuan paket bahan makanan pokok, kebutuhan pribadi, obat-obatan, serta pelayanan kesehatan dengan spirit cinta dan belas kasih, sesuai makna literal Tzu Chi. Bantuan kemanusiaan dengan cinta dan belas kasih kepada warga Cianjur ini merupakan kelanjutan dari pelayanan kemanusiaan yang inklusif dan universal sejak tahun 1993 ketika Tzu Chi mulai berbakti di Indonesia.
Bantuan kemanusiaan dengan spirit cinta dan belas kasih juga terefleksikan dengan pelayanan kemanusiaan Katolik dan Protestan. Agama yang lebih menekankan pada ikatan cinta dan kasih sayang ini juga berbakti sosial-kemanusiaan untuk sesama manusia. Para guru, penyuluh, pemuda, dan sukarelawan Katolik bergotong royong untuk kemanusiaan.
Pos terpadu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Cianjur juga didirikan untuk pelayanan kemanusiaan yang inklusif. Sukarelawan kemanusiaan lintas agama juga tecermin pada kerja sama antara GKI Cianjur dan Jaringan Gusdurian dalam mewujudkan tradisi pelayanan kemanusiaan untuk semua—humanity for all.
Together for humanity merefleksikan prinsip gotong royong untuk kemanusiaan yang didarmabaktikan oleh Muhammadiyah Disaster Management Center untuk meringankan beban penderitaan sesama manusia. Para sukarelawan kemanusiaan Muhammadiyah menyediakan bantuan logistik, hunian darurat, makanan siap saji, dan pelayanan kesehatan dengan etika belas kasih. Keteladanan luhur sang pendiri, Ahmad Dahlan, tentang etika belas kasih telah menginspirasi para sukarelawan Muhammadiyah dalam merajut kebersamaan untuk amal kebajikan dan kemanusiaan kepada sesama umat manusia tanpa diskriminasi sedikit pun.
Para sukarelawan kemanusiaan lintas agama dari berbagai penjuru Tanah Air telah menorehkan harapan baru untuk Indonesia yang inklusif dan setara. Mereka berbakti pada kemanusiaan secara tulus berkat keyakinan yang kuat pada inti kemanusiaan yang satu dan setara. Prinsip belas kasih pada kemanusiaan yang universal telah menjadi panduan moral bagi sukarelawan untuk mencintai dan berbelas kasih kepada sesama manusia.
Patut disayangkan bahwa prinsip belas kasih ini terasa asing dalam kepemimpinan politik. Karakter kepemimpinan didominasi dengan doktrin politik yang melanggengkan serta mengintensifikasikan polarisasi dan pembelahan sosial. Pemimpin terjebak pada favoritisme politik kepada pendukungnya di satu sisi dan pendisiplinan politik kepada pengkritiknya di sisi lain.
Di tengah polarisasi dan pembelahan sosial yang semakin tajam menjelang pemilu, Indonesia merindukan pemimpin yang menyelenggarakan republik modern ini dengan ”politik kemanusiaan” (the politics of humanity) dan ”politik belas kasih” (the politics of compassion) kepada semua rakyat, tanpa diskriminasi atas dasar apa pun. Rakyat, apa pun pilihan politiknya, tidak saja berhak untuk diperlakukan secara adil dan setara, tetapi juga wajib diberikan penghidupan yang makmur dan sejahtera, sesuai dengan amanah pendiri republik dan konstitusi.
Ke depan, perlu kepemimpinan demokratis yang merangkul semua elemen bangsa agar tercipta rasa kebersamaan yang kuat dalam mencintai, merawat, serta memajukan Indonesia sebagai milik dan proyek bersama karena republik ini sebenarnya didirikan sebagai ”negara milik semua” sesuai dengan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, dan harus dijalankan dengan spirit gotong royong untuk kemaslahatan publik. Inilah sejatinya inti ide Republik Indonesia yang dibentuk oleh ibu dan bapak pendiri bangsa, yakni kepentingan dan kemaslahatan publik menjadi prioritas pertama dan utama dalam tujuan penyelenggaraan negara.