G20 Bali: Apa Kata Dunia
Sejarah akan mencatat prestasi Indonesia di G20 Bali dalam deretan peran internasional Indonesia yang berdampak panjang, dimulai dari KAA di Bandung tahun 1955. Namun, seberapa besar legacy G20 Bali itu ke depan ?
Setahun lalu, di bulan November 2021, di kolom ini saya menulis artikel berjudul ”Jokowi On the Big Stage” tatkala Presiden Joko Widodo mulai tampil di kancah internasional pada awal periode keduanya.
Setahun kemudian, November 2022, peran internasional Presiden Jokowi mencapai puncaknya dengan pertemuan G20 di Bali, yang akan menjadi benchmark bagi pertemuan- pertemuan G20 berikutnya.
Sejarah akan mencatat prestasi Indonesia di G20 Bali dalam deretan peran internasional Indonesia yang berdampak panjang, dimulai dari Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955.
Seberapa besar legacy G20 Bali itu ke depan, saya kira ada baiknya untuk menyimak apa yang disuarakan oleh media-media internasional yang kita yakini dapat mewakili opini sebagian besar masyarakat dunia.
Saya mengambil tiga media terkemuka dari tiga wilayah dunia yang kiranya dapat mewakili opini dunia: The Economist yang diterbitkan di Inggris, Foreign Policy di Amerika Serikat (AS), dan Nikkei Asia dari Jepang.
Baca juga : KTT G20 Berakhir, Deklarasi Bali Soroti Perang Ukraina dan Dampaknya pada Ekonomi
Raksasa ekonomi dunia
Melihat kesuksesan di G20 Bali, majalah The Economist edisi 19-25 November 2022 terbit dengan cover wayang diberi judul ”Asia’s Overlooked Giant”.
Pokok tulisan di majalah tersebut adalah pertemuan G20 di Bali telah menempatkan Indonesia di posisi yang penting dalam peta dunia, dengan premis bahwa dalam beberapa dekade mendatang Indonesia akan tumbuh menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia.
Diikuti dengan pertanyaan, ”Bisakah Indonesia mewujudkan apa yang menjadi potensinya?”
Beberapa hal patut digarisbawahi sebagai faktor pendorong ke arah itu.
Pertama, Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan berpotensi menjadi ekonomi hijau yang besar. Salah satu yang dicontohkan adalah Indonesia penghasil separuh nikel dunia yang menjadi bahan baku utama baterai sebagai sumber daya energi hijau. Indonesia juga menjadi penghasil kobalt ketiga terbesar di dunia.
Kebijakan hilirisasi industri serta larangan ekspor mineral dan bahan-bahan mentah, meskipun bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas, telah memperkuat basis industri dan memengaruhi posisi Indonesia dalam persaingan internasional.
Selain faktor-faktor alam tersebut, Indonesia juga tengah melaju dalam transformasi menuju ekonomi digital.
”Digital boom”
Indonesia adalah negara Asia Tenggara yang paling berhasil dalam membangun inkubator-inkubator start up teknologi baru. Di Indonesia sedang terjadi digital boom dan sebagai efeknya akan jauh mengurangi biaya logistik yang selama ini menjadi beban berat bagi negara yang terpisahkan dalam pulau-pulau, dan menjadi penyebab ekonomi biaya tinggi.
Faktor kedua yang menggerakkan ekonomi Indonesia adalah manajemen ekonomi yang sehat. Disebut dalam majalah The Economist peran dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tapi saya perlu tambahkan peran Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menjadi koordinator kebijakan-kebijakan ekonomi Indonesia.
Juga digarisbawahi keberhasilan-keberhasilan Presiden Jokowi dalam membangun infrastruktur: 16 lapangan terbang baru, 18 pelabuhan, dan 2.100 kilometer jalan tol—dua setengah kali lipat yang dibangun pada masa sebelumnya sejak Orde Baru sampai awal periode pertama Presiden Jokowi.
Sistem politik pluralistik
Selain di bidang ekonomi, faktor yang mendukung prospek masa depan itu, Indonesia telah menemukan jalan untuk menggabungkan demokrasi dengan reformasi ekonomi.
Berangkat dari berbagai trauma 1990-an, di Indonesia telah terbentuk sistem politik pluralistik yang, meskipun tidak sempurna, menghasilkan berkembangnya kompromi-kompromi dan harmoni sosial, menghindari zero-sum game terjadi dalam politik. Presiden Jokowi berhasil membangun koalisi besar, disebut tenda besar, yang di dalamnya termasuk para pesaing politiknya.
Faktor kedua yang menggerakkan ekonomi Indonesia adalah manajemen ekonomi yang sehat.
Faktor lain adalah geopolitik. Lokasi, besaran dan sumber daya yang dimiliki —sumber daya alam ataupun manusia— menempatkan Indonesia dalam panggung utama konstelasi kekuatan-kekuatan adidaya. Salah satunya, tradisi politik bebas aktif dan netralitasnya dalam konflik-konflik global, khususnya antara Amerika Serikat dan negara-negara Barat melawan China.
Prinsip yang tegas, tapi lentur menyebabkan Indonesia dapat memperoleh manfaat dari kerja sama ekonomi, termasuk investasi dari kedua belah pihak.
Perang Dingin baru
Yang menarik dari majalah Foreign Policy adalah skenario menjelang diselenggarakannya KTT G20 Bali bahwa kelompok yang terbentuk pada masa-masa ingar-bingarnya globalisasi itu akan bertemu di bawah bayang-bayang Perang Dingin baru. China dan Rusia akan bertarung dengan AS dan sekutu-sekutunya. Ukraina berada di pusaran panggung persengketaan.
Ada kekhawatiran di kalangan negara-negara berkembang G20, bahwa kepentingan dunia lainnya akan terabaikan oleh Perang Dingin baru itu. Ketidakhadiran Putin di KTT G20 Bali dipandang sebagai bagian kunci dari skenario itu. Tidak banyak yang dapat diharapkan dari situasi seperti ini.
Ternyata yang terjadi di pertemuan G20 Bali tidak mencerminkan skenario itu dan berhasil jauh di atas perkiraan.
Ketidakhadiran Putin sesungguhnya merupakan hal positif bagi G20 karena Rusia tetap diwakili meskipun hanya oleh menteri luar negeri dan kemudian menteri keuangan.
Kepala-kepala negara dari negara-negara yang selama ini dekat dengan Rusia, seperti China dan India, tak perlu menghindar di muka publik dari keakraban dengan pemimpin Rusia itu.
Meski secara terbuka China, India, dan Brasil tidak mengambil posisi berpihak kepada AS dan Eropa dalam mengecam Putin, dan mereka tetap menjaga sikap ketidakberpihakan, tidak dapat disembunyikan, negara-negara itu juga memandang perang di Ukraina sebagai ancaman bagi ekonomi dunia dan menentang digunakannya perang nuklir sebagai bagian dari narasi konflik.
Dengan berbagai latar belakang dinamika geopolitik seperti dijelaskan di atas, di Bali negara-negara berkembang atau yang biasa disebut emerging market nations, yang selama ini menduduki posisi junior dalam G20, telah menunjukkan taring dan independensinya.
Berbeda dengan negara-negara Eropa, yang makin menyatu dalam blok bersama AS, otonomi dan pengaruh negara-negara berkembang justru makin tumbuh, akibat krisis di Ukraina dengan berbagai implikasinya, dan hal itu ditunjukkan dalam G20 di Bali.
Hasil yang amat mencengangkan dari pertemuan G20 di Bali adalah meredanya ketegangan antara AS dan China yang berpotensi meletup menjadi krisis dunia, khususnya di Asia Pasifik.
Hasil yang amat mencengangkan dari pertemuan G20 di Bali adalah meredanya ketegangan antara AS dan China yang berpotensi meletup menjadi krisis dunia, khususnya di Asia Pasifik.
Garis merah
Nikkei Asia memberi perhatian khusus pada pertemuan face to face Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping. Pertemuan yang berlangsung tiga jam itu meredakan ketegangan yang mencekam di antara keduanya sampai awal dimulainya G20 Bali.
Kedua belah pihak telah mengutarakan dan memahami posisi masing-masing serta menyampaikan apa yang dikenal sebagai garis merah (red line) dalam masalah Taiwan, sebagai sumber utama ketegangan di antara kedua negara.
Presiden Biden dikutip menyatakan bahwa dunia mengharapkan AS dan China bekerja bersama untuk mengatasi isu-isu global dan perlunya komunikasi di antara kedua kepala negara.
Presiden Xi mengatakan bahwa pergolakan besar di dunia sedang terjadi dan dunia berada di persimpangan jalan (cross roads). Karena itu, Presiden Xi menekankan kedua pemimpin harus memetakan arah yang tepat bagi hubungan China-AS dalam menghadapi isu-isu global, termasuk perubahan iklim dan ketahanan pangan (food security).
Nikkei Asia memberi perhatian khusus pada pertemuan kedua kepala negara itu karena Jepang berada di medan terdepan manakala terjadi konflik.
Semua pengamat dan media-media besar sepakat bahwa pertemuan G20 Bali merupakan langkah maju menuju perdamaian dan kerja sama internasional dalam memecahkan berbagai masalah besar dunia.
Sangat kuat terkesan bahwa atmosfer pertemuan di Bali serta kepemimpinan Presiden Jokowi berpengaruh besar atas suksesnya pertemuan G20 di Bali. Kita bangsa Indonesia wajib bersyukur dan berbangga.
”New global governance”
Sebagai catatan penutup, KTT G20 berhasil merumuskan kesepakatan yang disebut sebagai Leader’s Declaration yang isinya mencakup berbagai aspek, seperti ekonomi, geopolitik, dan lingkungan hidup.
Beberapa poin penting dari Leader’s Declaration adalah seruan untuk menghentikan perang di Ukraina, menghormati prinsip-prinsip PBB, serta menghargai kedaulatan dan integritas teritorial negara lain, meskipun dengan mencatat adanya pandangan yang berbeda.
Disepakati pembentukan Dana Pandemi serta mekanisme percepatan transisi energi hijau.
Deklarasi ini juga menyepakati transformasi digital untuk mempersiapkan ekonomi masa depan berbasis digital; dukungan pembiayaan dan penanganan utang negara miskin; penanganan masalah energi dan ketahanan pangan global yang diakibatkan peperangan di Ukraina dengan menjaga rantai pasok, serta pengembangan pertanian dengan pendekatan ilmiah.
Sangat kuat terkesan bahwa atmosfer pertemuan di Bali serta kepemimpinan Presiden Jokowi berpengaruh besar atas suksesnya pertemuan G20 di Bali.
Sebagai catatan, di sela-sela G20 Bali, Indonesia secara khusus menerima pendanaan 20 miliar dollar AS (sekitar Rp 311 triliun) untuk membantu mencapai emisi nol bersih pada 2050, dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan, serta mendukung transisi energi dengan secara bertahap menghentikan PLTU batubara.
Pesan utama dari Bali ialah G20 telah menjadi forum kerja sama di tingkat global yang efektif untuk menangani persoalan geopolitik dan ekonomi dunia. Bahkan, dengan keberhasilan G20 di Bali, ada yang menyebut G20 sebagai new global governance.
Ginandjar KartasasmitaGuru Besar Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang