Toleransi yang berkembang di masyarakat bisa melahirkan sikap intoleransi jika berbagai kemajuan, solidaritas, dan kohesi sosial yang tumbuh di masyarakat tidak dikelola dengan baik.
Oleh
BAGONG SUYANTO
·7 menit baca
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-10 November 2022 menemukan fenomena menarik soal toleransi. Meski sebagian besar responden yang diteliti, terutama anak muda, menilai masyarakat Indonesia sudah menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, tetapi di saat yang sama ada potensi ancaman penggerus kohesi kebangsaan yang perlu diwaspadai (Kompas, 14/11/2022).
Mengutip data Setara Institute, sepanjang 2021 dilaporkan paling tidak ada 20 kejadian penolakan pendirian rumah ibadah, 27 tindakan ujaran kebencian, 12 kasus penyerangan, dan 10 kasus perusakan tempat ibadah. Bukan tidak mungkin toleransi yang berkembang di masyarakat kemudian justru melahirkan sikap intoleransi jika berbagai kemajuan, solidaritas, dan kohesi sosial yang tumbuh di masyarakat tidak dikelola dengan baik. Hasil jajak pendapat oleh Litbang Kompas adalah sebuah peringatan dini yang perlu diantisipasi karena bisa saja di lapangan yang terjadi bukan toleransi, melainkan pseudo-toleransi untuk menutupi praktik intoleransi yang berkembang di balik apa yang terlihat.
Di Indonesia hingga kini salah satu isu toleransi yang dinilai paling rapuh adalah persoalan intoleransi keagamaan yang cenderung makin mencemaskan. Tidak sedikit penelitian menunjukkan bahwa praktik dan aksi intoleransi keagamaan di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat, bahkan dalam skala yang benar-benar mencemaskan (Kraince, 2007; Hamayotsu, 2013; Sakai, 2013; McCoy, 2013; Menchik, 2014; Qodir, 2016; Mietzner, 2018).
Memasuki tahun politik 2024, kecenderungan terjadi praktik intoleransi di Indonesia bukan tidak mungkin makin meningkat. Hal ini terjadi terutama ketika pihak-pihak yang berkontestasi memanfaatkan isu politik identitas dan keagamanaan untuk mencari dukungan konstituen. Banyak kajian membuktikan, tren peningkatan praktik intoleransi keagamaan ini seringkali sejalan dengan fenomena maraknya praktik politik identitas, meningkatnya aksi terorisme, dan pembusukan sistem demokrasi yang tengah terjadi di banyak negara di dunia (Clarke, 2013; Fukuyama, 2018).
Di Indonesia hingga kini salah satu isu toleransi yang dinilai paling rapuh adalah persoalan intoleransi keagamaan yang cenderung makin mencemaskan.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, misalnya, menunjukkan bahwa 43,88 persen dari 1.859 pelajar SMA yang menjadi responden penelitian cenderung mendukung tindakan intoleran dan 6,56 persen mendukung paham radikal keagamaan (PPIM-UIN, 2017).
Pada tahun yang sama, Wahid Institute juga merilis laporan yang menyatakan bahwa 46 persen pelajar SMA mendukung aksi-aksi intoleransi keagamaan di Indonesia (Wahid Institute, 2017). Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah lembaga penelitian menyampaikan kesimpulan senada mengenai meningkatnya persentase pelajar SMA yang cenderung mendukung sikap dan tindakan intoleransi keagamaan di Indonesia (Qodir, 2016).
Selama ini, berbagai konten di dunia maya yang mendukung sikap intoleransi dan radikalisme tidak sekali-dua kali menggoda dan mempengaruhi pola pemikiran pelajar, termasuk bagaimana mereka menyikapi keberadaan kelompok lain di sekitarnya (Arifianto, 2018). Dalam penelitian yang dipublikasikan oleh Institute of Southeast Asian Studies atau ISEAS (2017), dilaporkan 39 persen masyarakat Indonesia setuju penerapan syariat Islam secara total dalam kehidupan bernegara, dan 36 persen masyarakat Indonesia menginginkan Islam sebagai satu–satunya agama yang diakui oleh negara (Fossati, Hui, & Negara, 2017).
Sikap dan tindakan yang menjurus kepada gejala praktik intoleransi keagamaan di kalangan pelajar di Indonesia, meskipun tidak semua, seringkali diawali oleh kebencian dan penolakan terhadap "yang berbeda", seperti misalnya perasaan tidak nyaman untuk berteman dengan teman yang berbeda agama, sikap tidak bersedia menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada penganut agama yang berbeda, sikap mendukung larangan pendirian tempat ibadah agama minoritas di lingkungan agama mayoritas, tindakan menyebut penganut agama yang berbeda atau minoritas sebagai "kafir", hingga sikap penolakan terhadap pemimpin yang beragama minoritas di sekolah dengan agama mayoritas (Kraince, 2007; Qodir, 2016; Wahid Institute, 2017).
Selama ini, berbagai konten di dunia maya yang mendukung sikap intoleransi dan radikalisme tidak sekali-dua kali menggoda dan mempengaruhi pola pemikiran pelajar.
Pergeseran
Di era masyarakat postmodern, ketika anak muda belum memiliki literasi kritis yang memadai, maka kemungkinan untuk menjadi korban penyebaran paham intoleransi, bahkan paham radikal menjadi lebih terbuka. Ketika penggunaan teknologi informasi makin masif, salah satu konsekuensi yang tidak terhindarkan adalah terjadinya pegeseran pola penyebaran ideologi konservatif dan radikal-keagamaan yang sebelumnya dilakukan secara luring (offline)melalui media konvensional seperti majalah, buletin, selebaran, atau pendekatan secara personal orang per orang, kini cenderung beralih ke media daring (online), terutama media sosial (Amble, 2012; Rudner, 2017). Pergeseran ini muncul bersamaan dengan tren meningkatnya penggunaan media baru dalam aksi-aksi radikalisme keagamaan secara global.
Beberapa penelitian telah mengkaji dan memperlihatkan bagaimana peran penting media baru dan internet sebagai sarana penyebaran ideologi radikal-keagamaan dengan menekankan pada kelebihan-kelebihan media baru, strategi transformatif penggunaan media baru, penggunaan media baru di sejumlah organisasi radikal-keagamaan, dampak penggunaan media baru dalam penyebaran ideologi radikal-keagamaan, serta upaya narrative counter-radicalism dengan memanfaatkan media baru (Andre, 2012; Klausen, 2015; O'Hara, 2015; Anne, 2017; Weng, 2018).
Memang penggunaan internet untuk menelurkan situs-situs kebencian sebetulnya bukan hal baru. Pola ini sudah dimulai sejak pertengahan 1980-an di mana berbagai situs kebencian dan situs web yang menganjurkan teror telah banyak dikembangkan, beberapa dengan tujuan merekrut anak muda dan mempengaruhi tindakan ekstrem. Tetapi, Lennings et al (2010) menyatakan sejauh mana peran internet dalam menumbuhkan terorisme sesungguhnya belum bisa dipastikan.
Meski pun internet terbukti memang melayani tujuan strategis dan taktis dari berbagai kelompok teroris mapan, tetapi sejauh mana perekrutan aktif dan, khususnya, radikalisasi di kalangan anak muda terjadi masih belum jelas. Belum ada bukti empiris untuk menunjukkan bahwa perekrutan orang muda melalui internet untuk kegiatan teror telah terjadi, walaupun kasus-kasus individual menunjukkan bahwa beberapa orang telah menggunakan informasi yang tersedia di internet untuk kejahatan rasial.
Beberapa tes dari proses pengaruh yang dilakukan oleh Internet yang tersedia, menunjukkan bahwa rekrutmen untuk tujuan radikalisme di kalangan anak muda cenderung kurang efektif daripada yang mungkin diharapkan. Tidak ada keraguan bahwa kaum muda direkrut untuk kegiatan teroris, tetapi sampai saat ini peran yang dimainkan Internet dalam perekrutan semacam itu tidak diketahui, sehingga membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.
Conway (2017) adalah salah satu peneliti yang memahami polemik tentang peran internet dalam mendukung peningkatan tindak kekerasan, ekstremisme, dan terorisme. Menurut Conway, signifikansi peran internet dalam ekstremisme dan terorisme kontemporer sebetulnya cukup lama telah menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli. Beberapa ahli memandang skeptis signifikansi peran internet dalam proses radikalisasi garis keras.
Tetapi, kita tidak menutup mata bahwa penggunaan internet dan teknologi informasi membuat daya jangkau pengaruh terorisme menjadi lebih luas. Sebagai contohnya IS (Islamic State), secara online berhasil menjangkau perempuan-perempuan muda yang kemudian menghasilkan arus ‘jihadi birdes’ (pengantin jihadi) di Syria.
Kita tidak menutup mata bahwa penggunaan internet dan teknologi informasi membuat daya jangkau pengaruh terorisme menjadi lebih luas.
Akibat meluasnya penggunaan internet, panggilan online yang mengajak keluarga-keluarga untuk bermigrasi menuju khalifah dilaporkan juga meningkat, dan serentetan tipe serangan teroris yang tidak umum, seperti melindas orang dengan mobil, penusukan dengan pisau tampaknya berkorelasi dengan meningkatnya panggilan-panggilan secara online yang makin mudah ditemui di dunia maya.
Apakah munculnya benih-benih sikap intoleransi, tindakan persekusi terhadap kelompok yang berbeda dan radikalisme di kalangan pelajar merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi dan internet, ataukah karena dipengaruhi perkembangan habitus social mereka, hingga saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi, yang jelas, anak muda atau kalangan pelajar kini bukan lagi kelompok yang sepenuhnya steril dari pengaruh ideologi radikalisme dan sikap intoleransi.
Studi yang dilakukan Sugihartati et al (2020) menemukan bahwa anak muda dewasa ini bukanlah sekadar pengguna pasif yang hanya mengkonsumsi informasi, tetapi tidak menutup kemungkinan dari kalangan anak muda muncul aktor pengguna media baru yang juga turut aktif menyebarkan, memproduksi dan mereproduksi konten-konten radikal melalui dunia maya.
Secara sosiologis, harus diakui ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap dan praktik intoleran di Indonesia. Qodir (2016), misalnya menyatakan bahwa faktor keagamaan (pemahaman dangkal terhadap ajaran agama), faktor psikologis (usia remaja yang labil), faktor politik (akses politik anak muda yang relatif minim), serta faktor ekonomi (kemiskinan dan ketimpangan kondisi ekonomi) secara akumulatif sering berperan dalam mendorong peningkatan praktik intoleransi keagamaan di Indonesia.
Untuk mencegah agar anak muda tidak terjerumus dan terpengaruh paham intoleransi dan radikalisme, memang salah satu upaya yang perlu dikembangkan adalah dengan melakukan counter culture terhadap merebaknya paham radikalisme di dunia media sosial dan internet. Namun demikian, di luar itu masih banyak upaya lain yang perlu dikembangkan untuk melengkapi pendekatan budaya yang telah dipraktikkan.
Intoleransi adalah benih sikap yang kontra-produktif bagi masyarakat yang multipluralis seperti Indonesia. Ini adalah isu yang membutuhkan penanganan yang benar-benar komprehensif. Sepanjang persoalan kesenjangan kelas, kemiskinan, power abuse, dan ketidakadilan masih dirasakan masyarakat, maka sepanjang itu pula akan menjadi habitus yang subur bagi tumbuhnya benih-benih intoleransi dan sikap radikalisme. Capaian bangsa Indonesia membangun toleransi, niscaya akan sia-sia jika yang tumbuh selama ini hanyalah pseudo-toleransi yang rapuh dan menutupi intoleransi yang sebenarnya masih menjadi bara api.