Gerakan Berkebaya: Eksklusivitas Versus Marjinalitas Perempuan
Gerakan berkebaya yang sedang hangat bergulir dari kota ke kota seyogianya diupayakan menjadi aksi kolektif yang merangkul perempuan Indonesia dari segala kalangan. Harapannya, gerakan berkebaya semakin besar dan luas.
Oleh
NITA TRISMAYA
·4 menit baca
Beberapa bulan terakhir ini kaum perempuan yang berkebaya menguasai ruang publik mulai dari jalan umum, mal, museum, kafe, restoran, kantor, sampai transportasi publik. Dimulai dari Jakarta kemudian menyebar ke berbagai kota di Pulau Jawa dan di luar Jawa.
Mereka mengusung slogan "Goes to UNESCO" atau "Goes to HKN" (Hari Kebaya Nasional) dengan beragam judul kegiatan, antara lain Sehat Berkebaya, Kebaya Berdansa, Barisan Berkebaya Penjaga Bendera Pusaka, Friendship Ride dan Parade Kebaya, CFD Berkebaya, Kebaya Menari, Parade Budaya, dan lain-lain. Tema kegiatan berkisar pada fashion show, live performance, menari, jalan santai, pawai, demo masak, dan berbelanja.
Aksi kolektif kaum perempuan ini bermula dari kegiatan sejenis yang muncul pada tahun-tahun sebelumnya, misalnya 1.000 Perempuan Berkebaya, Selasa Berkebaya, dan Indonesia Berkebaya bersamaan dengan berdirinya komunitas-komunitas kebaya di Jakarta semenjak 2015.
Gerakan-gerakan tersebut didominasi kaum perempuan dari kalangan sosial menengah dan menengah ke atas yang menetap di wilayah perkotaan. Sedangkan Jakarta merupakan tempat berbaurnya beragam etnis, ras, budaya, agama, profesi, pekerjaan dan pendidikan. Jakarta juga menjadi pusat tren dan gaya hidup yang memberi pengaruh signifikan terhadap masyarakat di daerah-daerah lain.
Marilah kita tengok tampilan perempuan-perempuan yang tergabung dalam gerakan berkebaya; mereka tampil anggun, feminin, dan santun. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa berkebaya membuat mereka tidak mudah marah, sekaligus mengekang emosi. Ada yang meyakini bahwa berkebaya menjadi media pelepas stress.
Ada pula yang bilang kalau berkebaya mengubah mereka menjadi perempuan yang santun dan anggun, misalnya, duduk dengan punggung tegak dan kaki rapat. Etiket perempuan yang berkebaya ini mengingatkan kita pada perempuan priyayi (kalangan atas) yang patuh pada tata krama dan norma-norma sosial.
Etiket perempuan yang berkebaya ini mengingatkan kita pada perempuan priyayi (kalangan atas) yang patuh pada tata krama dan norma-norma sosial.
Pada sisi lain, para perempuan dari gerakan berkebaya juga merepresentasikan citra bahwa berkebaya tidak menghambat gerak sekaligus nyaman untuk dikenakan. Citra ini menampilkan para perempuan berkebaya yang aktif, energik, dan berani tampil beda melalui beragam aktivitas luar ruangan, seperti mendaki gunung, bersepeda, jalan santai, naik motor, dan menggunakan transportasi umum. Semua aktivitas tersebut dilakukan tanpa mengabaikan tampilan cantik sebagai perempuan dan keindahan kebaya-kain yang mereka kenakan.
Seolah terpinggirkan
Sementara itu di ruang publik yang berbeda, marilah kita tengok tampilan perempuan-perempuan berkebaya yang juga berbeda. Mereka berkebaya bukan karena ingin tampil cantik melainkan karena menjadi bagian dari pekerjaan mereka sehari-hari, mulai dari sinden, penari jalanan, kuli, buruh gendong, mbok jamu, penjual di pasar tradisional, sampai tukang pijat. Mereka berkebaya setiap hari demi mengais sesuap nasi.
Kaum perempuan dari kalangan bawah ini seolah terpinggirkan di tengah gegap-gempita gerakan berkebaya di berbagai kota. Barangkali mereka tidak paham apa makna "Kebaya Goes to UNESCO". Mereka juga tidak paham mengapa para perempuan kota begitu ingin mengajukan kebaya sebagai hari nasional. Namun yang pasti, mereka tanpa diminta dan tanpa banyak bicara, telah menjadi penjaga sekaligus perawat sebuah tradisi berpakaian yang memiliki sejarah panjang di Nusantara sekaligus posisinya sebagai busana nasional Indonesia semenjak pasca kemerdekaan.
Kaum perempuan dari kalangan bawah ini seolah terpinggirkan di tengah gegap-gempita gerakan berkebaya di berbagai kota.
Saat ini saya belum melihat bahwasanya gerakan berkebaya benar-benar merangkul perempuan kalangan bawah sebagai tindak lanjut menarasikan identitas (seluruh) perempuan Indonesia. Gerakan berkebaya masih sebatas menjadi panggung kegembiraan para perempuan kalangan menengah dan menengah ke atas, belum merepresentasikan sebuah panggung kerja keras dan perjuangan menyambung hidup penuh kegetiran para perempuan dari kalangan bawah.
Akhirnya, gerakan berkebaya lebih sebagai sarana rekreasi yang membuat perasaan para perempuan yang memakai kebaya-kain menjadi senang, sebagaimana pernyataan Barnard dalam buku Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender (2009:98) yang menilai pakaian tidak semata sebagai penutup dan pelindung tubuh, tetapi juga sarana ekspresi individualistik sekaligus rekreasional yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan bagi pemakainya maupun pihak yang melihatnya.
Gerakan berkebaya yang sedang hangat bergulir dari kota ke kota seyogyanya diupayakan menjadi aksi kolektif yang merangkul perempuan Indonesia dari segala kalangan sosial, etnis, profesi/pekerjaan, pendidikan dan agama/religi. Sehingga setiap kali mendengar kata ‘Perempuan yang Berkebaya’, yang terbayang bukanlah melulu perempuan yang wangi, cantik, glamor dan anggun, tetapi juga perempuan yang berpeluh mencari nafkah, bergelut dengan kerasnya kehidupan, sederhana.
Dengan demikian, gerakan berkebaya ini diharapkan bak bola salju yang bergulir semakin besar dan meluas demi meraih eksistensi kebaya sebagai busana nasional yang dicintai seluruh perempuan Indonesia. Potensi sukses-tidaknya gerakan ini juga barangkali tidak semata dipusatkan kepada pentingnya kehadiran negara agar mendukung pengajuan "Kebaya Goes to HKN", Kebaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), dan penominasian "Kebaya Goes to UNESCO", karena sesungguhnya dukungan rakyat kecil menjadi kunci utama yang tidak boleh dilupakan.
Nita Trismaya, Dosen Sekolah Tinggi Desain Interstudi Jakarta