Berbahasa Tanpa Karakter
Membanjirnya praktik bahasa malin mengancam kesadaran berbahasa dan berbangsa. Praktik bahasa malin di masyarakat kopong karakter dan akal budi, ia pun menunjukkan laku liar, laku leceh, dan laku lancang dalam berbahasa.
The area of thought, experience, and expressions that present-day Bahasa Indonesia can serve to communicate with subtlety, grace, and exactness ... is remarkable …. Nothing could be more misleading than to imagine contemporary Bahasa Indonesia as a kind of superimposed lingua franca, without an organic vitality of its own.
Anthony H Johns, 1963
Laporan utama Kompas (28/10/2022), ”Menjaga Bahasa, Menjaga Bangsa Indonesia”, menggugah kita akan sentralitas relasi berbahasa dan berbangsa.
Di situ sungguh relevan peringatan tentang peluang benih ketimpangan, feodalisme, dan lenyapnya solidaritas sosial lewat praktik berbahasa, yang menuntut analisis lebih jauh.
Mungkin sudah tiga dasawarsa, tak terhitung bangsa kita kini yang tidak lagi peduli apakah mereka berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Di era ”Reformasi”, dalam sungkup amnesia dan ketakpedulian negara, para pejabat, pesohor, narasumber, dan berjuta anak muda yang kehilangan kiblat, panutan, dan disiplin berbahasa, bahasa nasional kita kian luas diperlakukan sebagai medium tanpa karakter dan akal budi.
Sederet ungkapan bahasa lisan kontemporer yang diilustrasikan Kompas tak hanya bercerita banyak, tetapi juga menyentuh laku paling tak patut terhadap bahasa Indonesia. Ungkapan-ungkapan seperti ”Basic banget, ya”, ”Jujurly, saya lupa”, ”Boring banget tadi”, ”Lebih better itu sih”, ”This way mister ... terus ke sini”. Tambahkan ucapan seorang komentator di tengah gemerlap perhelatan akbar G20 di Bali: ”Soalnya tergantung resources”.
Baca juga : Menjaga Bahasa, Menjaga Bangsa Indonesia
Semua contoh ini baru secuil dari serbuan penyelipan kata Inggris ke dalam kalimat bahasa Indonesia, padahal tara baku seartinya dalam bahasa Indonesia sudah nyata lama tersedia. Ini bisa disebut praktik bahasa malin.
Kata malin ditarik dari tokoh dongeng piwulang yang mengingkari ibunya. Seperti Si Malin Kundang, saudagar kaya, menjadi bukan siapa-siapa, deretan ungkapan di atas bukanlah penanda patut bahasa mana pun. Sehari-hari tak terhitung contoh bahasa malin berseliweran di sekitar kita. Juga dalam pidato, diskusi, laporan berita, dunia iklan, acara hiburan di TV, dan lebih-lebih di rimba media sosial.
Gejala ini mungkin sama dengan apa yang disebut Manfred Henningsen (1988) ”Ueberfremdung”, yaitu tersungkupnya alam pikiran masyarakat suatu bahasa oleh bahasa asing. Kendati masih berderet praktik buruk lain dalam berbahasa Indonesia, laku nir-jangkar bahasa inilah yang paling destruktif. Ia merusak jiwa bahasa lintas bahasa. Kata jujurly jelas melancangi kaidah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sekaligus.
Mentalitas budak
Membanjirnya praktik bahasa malin sesungguhnya merupakan suatu revelasi. Praktik bahasa demikian menumpukkan negativitas. Tak hanya kopong karakter dan akal budi, ia pun menunjukkan laku liar, laku leceh, dan laku lancang dalam berbahasa, bukti paling dasar dari penjumudan rasa-rasio berbangsa. Bangsa dan bahasa serentak dicampakkan.
Bahasa malin juga menyiratkan mentalitas budak, sirnanya martabat berpribadi dan berbangsa. Ini bisa mengikis serat-serat jalinan sosial, pintu benih-benih feodalisme, ketimpangan, dan gejolak sosial. Hampir terbebas dari buta huruf, praktik bahasa malin membuat berpuluh juta bangsa kita tiba-tiba dilanda buta kata.
Jauh dari niat untuk menghina, runtun kritik keras kita terhadap praktik bahasa malin adalah ekspresi cinta pada bahasa dan bangsa kita. Ada kemarahan, tetapi dari jenis yang disebut oleh John Stuart Mill sebagai righteous indignation, kemarahan yang haq.
Terpanggil akan rekapitulasi kesadaran berbahasa dan berbangsa, bertolak dari tiga lapis kesadaran sejarah yang sama-sama menjunjung karakter dan akal budi. Pada lapis pertama adalah Providence—hasil kerja dan iradah ilahiat—yang terkandung dan berkiprah berabad-abad dalam bahasa Melayu Pasar, cikal-bakal bahasa Indonesia.
Pada lapis kedua adalah perjuangan para pembangun bahasa dan bangsa Indonesia. Dan pada lapis ketiga adalah pengindahan atas praktik wacana, laku berbahasa berkarakter, bercakrawala luas, dan bertumpu pada otoritas—antitesis praktik bahasa malin.
Bahasa malin juga menyiratkan mentalitas budak, sirnanya martabat berpribadi dan berbangsa.
”Providence”
Kemerosotan karakter dan akal budi dalam berbahasa berakar dari kenyataan betapa sedikit kita menyadari bahasa Indonesia sebagai Providence—anugerah ilahiat berupa vitalitas karakter kesetaraan dan kemerdekaan pada bahasa Melayu Pasar yang berjaya di Nusantara.
Pada karakter bahasa Melayu itulah tercangkok bahasa Indonesia sebagai modal utama kebangkitan, pergerakan, dan kemerdekaan bangsa kita dengan vitalitas ekstra. Selain menjadi kian cerdas, tangkas, dan kreatif, ia juga menjadi kian antifeodalisme dan antipenjajahan.
Pada hakikatnya kenyataan Providence itulah yang diangkat AA Teeuw (1979) kala dia menekankan kuatnya ”daya tarik” bahasa Melayu atas segenap pembahasa dari evolusi pelbagai suku dan ras di Nusantara. Juga kesaksian sebelumnya dari Ki Hadjar Dewantara, Selo Soemardjan, dan Pramoedya Ananta Toer.
Huygen van Linschoten, penjelajah muda Belanda di Nusantara pada abad ke-16, telah menegaskan bahwa siapa pun yang tidak bisa berbahasa Melayu di belahan bumi ini takkan berpeluang maju. ”Selama berabad-abad”, tulis Sutan Takdir Alisjahbana, ”yang disebut bahasa Melayu tidak lagi hanya milik orang Melayu. Ia telah menjadi milik semua penduduk di Kepulauan Nusantara”.
Denys Lombard bersaksi paling kaya tentang nilai bahasa Melayu jauh di abad-abad lampau. Fransiscus Xaverius ”menerjemahkan beberapa teks Kristen ke dalam bahasa Melayu”. Frederick de Houtman ”menulis kamus Belanda-Melayu” pertama di akhir abad ke-16. Ini disusul penerbitan pelbagai kamus serupa di Belanda. Lalu rangkaian terjemahan Alkitab, perangsang orientalisme awal.
Teeuw menegaskan bahwa dari ujung barat ke ujung timur Nusantara, ”bahasa Melayu merupakan bahasa orang-orang terdidik” dan bahwa para misionaris Protestan yang menerjemahkan Injil ke pelbagai bahasa daerah harus mengakui keunggulan bahasa Melayu. Dalam kerja Providence itu, bahasa Melayu bertumbuh dan terjalin erat dengan tren Islam kosmopolitan yang teduh, terbuka, merangkul, dan menyetara.
Tentu kejayaan bahasa Melayu dan transformasi bahasa Indonesia bukanlah hasil kerja Providence dalam arti simplistik, sebab kerja Tuhan juga menyata dalam kerja manusia. Di sini berperan tokoh-tokoh historis. Tak sedikit jasa dan pengaruh karya-karya Hamzah Fansuri dan Raja Ali Hadji.
Baca juga : Bersama Menjaga Bahasa Indonesia
Dan kebangkitan bahasa Indonesia tak terlepas dari perjuangan tokoh seperti Muhammad Yamin, Mohamad Tabrani, Yus Badudu, Anton Moeliono, dan Harimurti Kridalaksana. Juga para pejuang pergerakan sebagai penerbit dan kontributor aneka berkala, seperti Daoelat Rakjat, Suluh Indonesia Muda, Pandji Islam, dan Fikiran Ra’jat—medium-medium pembangkit semangat kemerdekaan.
Selain itu, tak boleh dilupakan jasa Balai Pustaka, mungkin produk Politik Etis Belanda dengan dampak positif terjauh. Lewat Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908) terutama di bawah GAJ Hazeu dan DA Rinkes, Balai Pustaka-lah pembangun awal bahasa Indonesia standar, sekaligus pembawa demam literasi ke lapis-lapis generasi muda di segenap kota besar Nusantara. Mungkin itulah urunan terbaik dari Eereschuld bangsa Belanda di negeri kita.
Kombinasi istimewa dari dwikarakter merdeka dan setara bahasa Melayu bersenyawa dan berdampak sangat besar pada kiprah dua determinan utama: kolektivitas multisuku/ras dan ideologi-ideologi egaliter yang berkecambah dan tersebar di Nusantara sedari dekade-dekade awal abad ke-20. Kombinasi kedua determinan ini pada gilirannya membangkitkan tak terhitung manusia berkarakter dan berakal-budi dari mana lahir para bapak dan ibu pendiri bangsa.
Maka, pada bahasa Indonesia berlangsunglah persenyawaan historis langka dan intens antara medium dan pesan (messages) lantaran keduanya sama-sama menjunjung prinsip kemerdekaan dan kesetaraan (Pabottingi, 1991).
Menjelmalah komunitas karakter lintas suku-ras, lintas pribadi, dan lintas dimensi. Kebangkitan nasional bermula dan berbuah dari persenyawaan intens dari kedua determinan sejarah tadi. Kesaksian tulus dan jernih Anthony Johns terutama berangkat dari paduan revolusioner ini.
Terakhir, bahasa Indonesia diperkaya dan diperkuat oleh praktik wacana berkat persenyawaan bahasa Indonesia dengan ideologi egaliter, seperti sosialisme, liberalisme, Islam Pembaruan, dan nasionalisme di tengah arus modernitas yang menatap ke dunia luas.
Pada gilirannya, ini dilancarkan oleh penyebaran usaha-usaha percetakan-penerbitan bumiputra, bukan sebagai bagian dari print-capitalism sebagaimana tesis Benedict Anderson (1983), melainkan lebih sebagai sarana dan ajang perjuangan kebangsaan dan kemerdekaan. Sebab, praktis semua percetakan-penerbitan kaum pergerakan adalah perlawanan diametral nirlaba dan susah payah terhadap kedua kuda utama kapitalisme: kolonialisme dan imperialisme.
Perihal determinasi praktik wacana dalam memperkuat daya ekspresi karakter dan akal budi, Soekarno agaknya tegak paling depan, dan pembuktian gamblang tentang ini terpatri dalam karya klasiknya, Dibawah Bendera Revolusi.
Sebagaimana Sjahrir lepas merekah di Pantai Bandaneira, Soekarno lepas merekah dalam berwacana bagi pergerakan kebangsaan.
Sepintas lalu, Soekarno adalah pembahasa-penulis yang mungkin paling gencar mencampur-adukkan bahasa. Akan tetapi, nasionalisme kental Soekarno kedap Ueberfremdung. Ia justru telak memihaki perjuangan dan kemerdekaan bangsanya.
Kontras diametral dengan bahasa malin, yang berlaku pada Soekarno tak lain dari berdesakannya aktivasi intens dari kemahakayaan bacaan, referensi, penguasaan multibahasa, dan perbendaharaan ilmu yang semuanya menuntut diketengahkan dalam analisis. Itu adalah manifestasi panggilan serebral dari suatu kecerdasan prima.
Putusnya tali pusar kebahasaan
Sebagaimana Sjahrir lepas merekah di Pantai Bandaneira, Soekarno lepas merekah dalam berwacana bagi pergerakan kebangsaan. Ibarat berselancar di tengah arus gelombang pemikiran yang penuh dinamika, kejutan, bahaya, dan peluang, tungkai-tungkai bahasa Soekarno terus bertumbuh kuat, lentur, dan inovatif.
Sedari muda Soekarno dituntut terus mencari dan menampilkan ungkapan-ungkapan orisinal tercerahkan. Maka tungkai-tungkai bahasa Indonesianya pun menjadi sigap dengan daya ekspresi yang hampir selalu menggetarkan.
Ilustrasi
Pada salah satu karya eksilnya di Ende, Soekarno menulis: ”Meskipun sebagai seorang interniran ... artikel-artikel saja akan ’neutrale onderwerpen’ sahadja, maka toch djiwa Sukarno, faham-faham Sukarno, tjara-tjara berpikirnja Sukarno, kesenangan dan kebentjian Sukarno akan terbajang di dalam artikel-artikel itu.... Kalau tidak begitu, artikel-artikelku akan menjadi karakterloos, dan dari semua tjatjat maka karakterloosheid itulah jang paling saja takuti!”
Mungkin berkaca pada ketegaran Hatta dalam hal karakter, Soekarno pun menolak feodalisme dalam bentuk ”nasionalisme keningratan”. Dia menolak feodalisme, politik dinasti dan trah-trahan pada pangkal dan akar-akarnya.
Dalam pidato ”Lahirnja Pantjasila”, Soekarno menyatakan, ”Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo, misalnya, mendjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, jangan anak [beliau] otomatis mendjadi pengganti Ki Hadikoesoemo.”
Praktik bahasa Soekarno, serupa dengan Hatta, selalu menjunjung bangsa—senantiasa berkarakter dan memuliakan sangkan parannya. Mustahil mereka mengikuti, apalagi merestui, praktik bahasa malin. Bahasa politik kedua pendiri bangsa ini tak pernah durhaka.
Seperti diutarakan tajam oleh Jean Baudrillard (2013), ”yang jadi masalah bukanlah apatisme atau ketakpedulian umum, melainkan putusnya tali pusar kebahasaan.
Mochtar Pabottingi, Pemikir Demokrasi dan Kebangsaan