Kelompok radikal di Indonesia seperti parasit obligat-benalu yang tumbuh subur. Tak satu pun institusi/lembaga negara terbebas dari infiltrasi kelompok radikal, termasuk Polri. Ini berbahaya kalau dibiarkan.
Oleh
ADJIE SURADJI
·5 menit baca
Penangkapan dua anggota Brimob Polda Lampung oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri, Sabtu (12/11/2022), dengan dugaan keterlibatan dalam jaringan terorisme, bahkan sebagai penyuplai senjata api dan amunisi, bukan hal mengejutkan. Pada 2019, Densus 88 Antiteror juga menangkap seorang polisi wanita yang terlibat jaringan terorisme Jamaah Ansharut Daulah.
Tampilnya komunitas dalam struktur atau dalam sayap organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), seperti komunitas yang menamakan diri sebagai Polisi Cinta Sunnah (PCS) di Gorontalo yang beranggotakan personel kepolisian aktif, merupakan bukti bahwa institusi Polri tak kebal dengan infiltrasi kelompok radikal. Tak hanya Polri, jika pernyataan mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bisa diandalkan (2019), maka sebanyak 3 persen anggota TNI juga telah terpapar paham radikal.
Kelompok radikal di Indonesia seperti parasit obligat-benalu (loranthaceae) yang tumbuh subur. Ibarat tak ada satu pun pohon terbebas dari tumbuhan parasit tersebut, tak satu pun institusi/lembaga negara terbebas dari infiltrasi kelompok radikal.
Kasus ”oknum” polisi terpapar paham radikal atau terlibat dalam jaringan terorisme hanya model, ketika nilai-nilai Tri Brata tidak lagi berdampingan dengan nilai-nilai faktual dalam insan Bhayangkara. Pertanyaan rasional; kenapa polisi sebagai salah satu unsur penegak hukum justru terlibat dalam kejahatan itu sendiri? Lebih esensial, kenapa radikalisme, embrio kekerasan (teror) dan tekanan sosial (intoleransi) di Indonesia, sangat sulit di berantas?
Dalam buku Indonesia’s Struggle: Jemaah Islamiyah and the Soul of Islam (Greg Barton, 2004) dituliskan, paham radikalisme di Indonesia disebabkan oleh tiga faktor utama. Pertama, perkembangan politik global (transnasional) yang berkiblat kepada situasi Timur Tengah telah menginspirasi untuk mengangkat senjata dan teror atas dasar solidaritas sesama Muslim. Kedua, penyebaran paham Wahabisme dan Salafiyah (salafi dan salafisme) secara masif, mengagungkan budaya Arab yang konservatif. Ketiga, kondisi sosial ekonomi sebagai penyebab semakin melebarnya gap kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Di sisi lain, ada kesalahan umum yang dilakukan pemerintah selaku pengambil kebijakan, yaitu selalu memberi ruang kepada kelompok radikal untuk mempropagandakan diri dan, sebagai masyarakat yang bertipologi forgiving people, mudah memaafkan. ”Cara” menangani kelompok radikal selalu melalui politik moderasi dan politik toleransi.
Politik moderasi adalah politik yang menggunakan pendekatan ”jalan tengah” atau politik yang menghindari terjadinya kekerasan. Adapun politik toleransi adalah politik yang bersifat atau bersikap menenggang (mengedepankan tenggang rasa). Sikap ”lunak” inilah yang menjadi penyebab inefektifnya program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Radikalisme tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan politik moderasi atau politik toleransi. Kelompok radikal tak mengenal bahasa moderat dan tak bisa melunak oleh tutur kata halus.
Akar radikalisme
Dalam konteks penegakan hukum, radikalisme tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan politik moderasi atau politik toleransi. Kelompok radikal tak mengenal bahasa moderat dan tak bisa melunak oleh tutur kata halus. Radikalisme harus ditangani dengan menggunakan cara-cara radikal (Radicalism in the States, Richard M Valelly, 1989).
Artinya, institusi hukum harus bertindak tegas dan harus menjadi driving forces (kekuatan penekan) untuk menciptakan social equilibrium atau tatanan kehidupan masyarakat harmonis. Jika tidak, akan terjadi anomie (hancurnya keteraturan sosial), yang berdampak pada anarkisme dalam tatanan kehidupan sosial, seperti terjadi (di Indonesia) sekarang.
Akar radikalisme di Indonesia bersumber dari eksklusivisme agama (doktrin hanya satu agama yang dianggap benar). Eksklusivisme agama, jika hanya diterapkan secara internal, sebagai narasi untuk mempertebal iman atau keyakinan individu, tidak menjadi masalah. Namun, jika dipropagandakan di ruang publik, bahkan digunakan sebagai dasar pembuatan regulasi dan hukum—apa pun alasannya, berpotensi mengganggu keteraturan sosial.
Eksklusivisme agama adalah embrio radikalisme, pemicu kekerasan atau aksi teror dan tekanan sosial atau intoleransi, diskriminasi, dan persekusi.
Dalam memaknai sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, merupakan keadilan sosial yang terkandung di dalamnya pelindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, kesejahteraan umum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu, kepentingan sosial, dan negara.
Pertanyaannya, apakah kebijakan pemerintah sudah sepenuhnya mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia yang heterogen ini jika hukum di Indonesia masih seperti kata Richard Quinney? ”Hukum yang tercipta dari proses politik. Maka, siapa pun yang memiliki kekuasaan (machstaat) dalam proses politik tersebut, kepada merekalah hukum akan berpihak (The Social Reality of Crime, Richard Quinney, 1970).
Jika kebijakan pemerintah mencerminkan keadilan, eksklusivisme agama tak terlegitimasikan menjadi suatu sistem hukum.
Di sini, bisa dijadikan pembeda keberpihakan kebijakan pemerintah. Jika kebijakan pemerintah mencerminkan keadilan, eksklusivisme agama tak terlegitimasikan menjadi suatu sistem hukum. Namun, jika kebijakan pemerintah berpihak, eksklusivisme agama akan dilegitimasikan menjadi suatu sistem hukum (peraturan daerah/perda bernuansa agama).
Yang harus diakui, eksistensi agama di Indonesia realitasnya tak digunakan sebagai pedoman dasar perilaku kasih (religius compassion), tetapi dimanfaatkan untuk alat pemuas libido politik dan kepentingan bisnis yang berorientasi kepada status sosial (kekuasaan) dan keuntungan finansial.
Terlepas dari persoalan tersebut, perlu disadari bersama bahwa banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menjadi korban propaganda politik yang menggunakan agama (Islam) sebagai topengnya (The Islamic State’s Global Propaganda Strategy, Daveed Gartenstein-Ross, Nathaniel Barr, & Bridget Moreng, 2016).
Di sinilah pentingnya Tri Brata; kode etik profesi Polri yang memuat komitmen moral setiap anggota Polri yang dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila. Hal sama bagi seluruh anggota TNI yang harus tetap berpegang teguh pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Tentang anggota Polri (dan prajurit TNI) yang terpapar paham radikal, harus segera dibersihkan karena tak hanya akan merusak citra institusi. Namun, keberadaannya sangat mengerikan sehingga terlalu berbahaya jika dibiarkan.
Bangsa Indonesia tetap menghendaki Polri sebagai Bhayangkara pengawal proses demokrasi, persatuan, dan kesatuan negara. Prestasi Polri sangat membanggakan, tak disangsikan, dan tercatat dalam sejarah bangsa dan dunia.
Vigilant Quiescant; kami berjaga sepanjang waktu agar masyarakat tenteram, adalah prinsip new modern police philosophy yang dianut oleh institusi polisi di banyak negara dunia.
Semoga Polri bisa segera mengimplementasikan prinsip tersebut dengan sebaik-baiknya.
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan