Benang merah adalah simbolisasi dari keterhubungan antar manusia, yang penanda utamanya sering adalah garis darah. Benang merah yang mengait dan membelit bak perjalanan berliku Shiota sendiri dalam mempertanyakan diri.
Oleh
Lynda Ibrahim
·4 menit baca
Bertahap kembalinya acara publik di Ibukota makin remai di ujung pekan ini dengan digelarnya pameran besar di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (MACAN). Menampilkan perupa perempuan Chiharu Shiota, MACAN memakai seluruh ruang pamer utamanya untuk rangkaian karya Shiota selama lebih dari tiga dekade.
Dilahirkan di Jepang pada tahun 1972, Shiota mengawali perjalanan seninya dengan menggambar sebelum ia bersekolah. Saat menunaikan pendidikan seni di Kyoto ia mengambil jurusan melukis, dan sempat sesaat menjadi pelukis. Goresan tangan Shiota sebagai anak kecil dan lukisan terakhirnya sebelum berganti arah berkesenian juga ditampilkan dalam pameran bertajuk The Soul Trembles, “bergetarnya jiwa”, di MACAN kali ini.
Namun adalah arah baru Shiota dalam berkesenian yang lalu membuat Shiota punya nama. Pindah ke Eropa pada usia 20-an dan berguru pada Marina Abramovic, seniman Serbia yang mempopulerkan performance art, seni yang dibentuk dari aksi terkonsep yang dilakukan seniman atau peserta lainnya. Sebagai catatan, performance art beda dengan performing arts, seni pertunjukan seperti tarian, musik dan drama panggung.
Pengembaraan ke Eropa dan mendapati dirinya sering didapuk sebagai perwakilan perempuan Asia dalam lingkungan seni, Shiota mulai mempertanyakan identitas dirinya lebih jauh dari batasan demografi. Melihat kulit tubuhnya sebagai lapisan identitas pertama, Shiota melakukan aksi melumuri tubuhnya dengan lumpur lalu membasuhnya sampai bersih, berulang-ulang kali. Karya monumental lain pada masa ini adalah aksi menggali ceruk di tebing dan memanjat keluar, berulang-ulang gagal karena Shiota selalu tergelincir. Kedua aksi ini dilakukan dalam keadaan bugil, videonya bisa dipirsa di MACAN.
Penggunaan medium benang berikutnya kian mencuri perhatian dunia seni. Dikait dan diikat, ia membentuk jejaring luas di sekitar banyak obyek seperti kunci, perahu, piano, gaun, dan koper. Dalam presentasi yang bernas, kurator pameran dan Direktur Museum Mori, Mami Kataoka, mengupas lapisan-lapisan makna di balik medium benang ini.
Benang merah adalah simbolisasi dari keterhubungan antar manusia, yang penanda utamanya sering adalah garis darah. Benang merah yang mengait dan membelit bak perjalanan berliku Shiota sendiri dalam mempertanyakan siapa dirinya. Koper dan perahu sebagai elemen penting perjalanan terombang-ambing digantung oleh sekian utas benang, bak perjalanan nasib manusia yang penuh guncangan dan ketidakpastian.
Benang hitam bisa melambangkan hilangnya rasa jarak, ataupun semesta kosmos yang lebih besar dan misterius. Menarik bahwa instalasi benang hitam Shiota memakai piano dan kursi penonton terbakar sebagai obyek yang dibelit, ilustrasi dari kenangan buruk atas insiden kebakaran di masa kecilnya. Secara teknis dan estetis, piano hangus di titik dan derajat yang tepat—cukup memberikan bayangan kebakaran, cukup pula menyisakan rangka untuk menjangkari benang hitam seruangan.
Sejujurnya ini salahsatu aspek menarik lain dari pameran Shiota, bahwa tanpa mendalami simbolisme seni kontemporer, pengagum teknik instalasi bisa menikmati pilihan sudut, ketinggian, penggunaan ruang, dan finishing yang dilakukan sang seniman. Penikmat visual, pun tanpa jauh memahami konteks, bisa menikmati penyajian bentuk dan warna dalam tiap instalasi besar.
Kembali ke filosofi di balik perjalanan karier Shiota selama tiga dekade, dalam wawancara terpisah Kataoka menyampaikan dugaannya bahwa pencarian identitas diri dan kegelisahan tentang ketakpastian hidup tidak akan seintens, atau malah sama sekali terjadi, bila Shiota tidak merantau saat muda atau menghadapi kanker sebagai ibu berputri yang belum dewasa.
Dalam perbendaharaan karya Shiota yang dipamerkan di MACAN, kegelisahan pencarian identitas sang seniman diteruskan dengan pengupasan “kulit-kulit” kehidupan. Shiota memandang busana sebagai kulit kedua identitas, dan ruang berdimensi sebagai lapisan kulit berikutnya. Instalasi dalam konsep busana dan ruang bermunculan saat pengunjung makin masuk ke dalam pameran.
Tonggak sejarah modern Eropa, benua yang menjadikannya seniman seperti sekarang, terwakili pada instalasi raksasa rangkaian jendela. Saat Tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, banyak bangunan yang juga dirobohkan. Shiota bersepeda berkeliling kota memunguti daun pintu dan jendela yang terbuang untuk membentuk instalasi dua sisi yang menggugah pengunjung akan perbedaan kemungkinan masa depan, tergantung dari sisi pengunjung melihat keluar jendela.
Inilah garis merah kumpulan karya Shiota dengan situasi terkini. Walau karya-karya ini sudah dipamerkan di museum-museum lain sebelum pandemi, dan Shiota tidak menambahkan instalasi baru yang diciptakan saat pandemi, menarik untuk disadari bahwa pertanyaan tentang makna dan arah kehidupan amat terasa bagi kita yang selamat mengarungi pandemi walau kehilangan kanan-kiri.
Mengapa Covid-19 terjadi? Mengapa ada orang, yang walaupun cerdas dan berkuasa, meremehkan wabah dan kematian? Bagi orang yang hidupnya drastis berubah karena pandemi, masa depan apa yang sekarang dihadapi? Dengan perubahan iklim dunia yang kian nyata, sejauh apa kita harus mengubah diri agar tetap bertahan?
Meminjam observasi Kataoka, ketertarikan Shiota pada kematian bersumber dari semangat hidup dan energi berkarya yang luarbiasa. Dan saat dunia baru keluar dari masalah genting global hanya untuk terjeblos ke masalah genting global berikutnya, menarik untuk menilik rangkaian karya Chiharu Shiota. Kalaupun jiwa Anda tak tergetar atau pikiran Anda tak tergugah, minimal Anda akan pulang dengan foto jejaring benang tiga warna nan artistik untuk Instagram.