Isu kemiskinan menjadi polemik di ruang publik. Ada perbedaan pengukuran antara BPS dan Bank Dunia. Yang pasti, perdebatan metode penghitungan jangan sampai mengalihkan perhatian dari masalah kemiskinan itu sendiri.
Oleh
HARYO KUNCORO
·5 menit baca
Isu kemiskinan di Indonesia belakangan ini kembali muncul di ruang publik. Polemik angka kemiskinan tak terelakkan sebagai imbas ekonomi dari paparan pandemi Covid-19. Kenaikan harga BBM bersubsidi yang diikuti dengan kenaikan harga barang/jasa lainnya kian memperuncing perdebatan.
Perkiraan kasar menyebutkan, pagebluk dan inflasi di Tanah Air telah mengakselerasi tingkat kemiskinan menembus dua digit. Klaim bahwa bantuan sosial sedikit mampu meredam lonjakan angka kemiskinan memang tak bisa ditampik kendati tak serta-merta meredakan tensi polemik.
Tensi polemik perihal kemiskinan kian tinggi menyusul perbedaan pengukuran antara BPS dan Bank Dunia. Kedua lembaga itu masing-masing memiliki metode perhitungan garis kemiskinan (GK) tersendiri. Perbedaan kedua metode perhitungan tak hanya dalam besarannya, tetapi juga jaraknya yang timpang.
Di satu sisi, Bank Dunia menggunakan asumsi besaran pendapatan nominal yang diperoleh oleh seseorang setiap hari. Dalam basis perhitungan terbarunya, Bank Dunia menaikkan GK ekstrem dari 1,90 dollar AS menjadi 2,15 dollar AS per kapita per hari.
Segaris dengan itu, Bank Dunia juga menaikkan batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class), yakni dari 3,20 dollar AS menjadi 3,65 dollar AS per kapita per hari.
Dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 15.216 per dolar AS, GK ekstrem versi Bank Dunia Rp 32.812 per kapita per hari atau Rp 984.360 per kapita per bulan. Sementara itu, nilai kelas penghasilan menengah ke bawah setara Rp 55.538 per kapita per hari atau Rp 1.666.152 per kapita per bulan.
Di sisi lain, besaran GK yang dihitung BPS menggunakan pendekatan pengeluaran hidup minimum yang dibelanjakan individu untuk memenuhi kebutuhan pokok selama sebulan. Nilai GK ditetapkan oleh BPS, baik untuk kebutuhan makanan (GKM) maupun non-makanan (GKNM).
Batas GK yang digunakan BPS pada survei terakhirnya (Maret 2022) tercatat Rp 505.469 per kapita per bulan dengan komposisi GKM Rp 374.455 (74,08 persen) dan GKNM Rp 131.014 (25,92 persen). Artinya, nilai GK Bank Dunia hampir dua kali lipat dari angka yang dipakai BPS.
Berangkat dari sini, wajar apabila batas GK yang berbeda menghasilkan angka kemiskinan yang berbeda pula, yang lantas menjadi obyek diskusi tak berkesudahan. Bahkan ada sementara pihak yang menyatakan jika GK Bank Dunia dipergunakan, angka kemiskinan di Indonesia bisa melejit dua kali lipat pula.
Tak berpengaruh
Menyandingkan antara GK Bank Dunia dan GK BPS tampaknya menjadi pangkal tolak persoalan. Batas GK Bank Dunia memiliki dasar penentuan yang, sekali lagi, berlainan. Angka itu ditetapkan atas dasar konsep, definisi, dan kriteria, serta dibangun dalam lingkungan sosial-ekonomi yang berbeda pula.
Cerita yang sama juga berlaku pada inflasi. Kenaikan harga barang/jasa memicu inflasi yang lantas berpengaruh pada angka kemiskinan. Namun, perlu dicatat, karakteristik inflasi untuk kasus Indonesia sangat khas, yakni didorong oleh kenaikan harga pangan dan barang yang diatur pemerintah, yang jarang ditemui di negara lain.
Lebih lanjut, mengonversi dollar AS (ambang batas Bank Dunia) ke rupiah (basis perhitungan BPS) berimplikasi bahwa GK terimbas oleh perubahan nilai kurs. Logika malah melenceng jauh, depresiasi nilai tukar rupiah berpengaruh pada kemiskinan. Padahal, harga sembilan bahan pokok toh tidak dipatok dengan dollar AS.
Pada titik ini, mereka hanya melihat semata pada hasil, alih-alih menelaah prosedur yang dilalui hingga hasil diperoleh. Data survei yang dirilis resmi adalah produk statistik dari proses aktivitas ilmiah yang panjang. Bank Dunia dan BPS niscaya memiliki prosedur operasional standar dalam pengumpulan data.
Pemantauan di semua mata rantai kegiatan survei juga dilakukan secara ketat untuk setiap jenis survei dan untuk setiap subyek respondennya. Konsistensi terhadap penggunaan metode itu akan menghasilkan data yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, data yang dirilis bisa dianalisis.
Alhasil, analisis hasil survei dengan basis perhitungan yang sama hanya bisa dilakukan setidaknya untuk dua titik waktu yang berbeda. Perbandingan hasil dua titik survei—masing-masing dengan dasar perhitungan yang berbeda—akan mubazir lantaran sejak dari sana-nya memang tak bisa diperbandingkan.
Bagaimanapun pengurangan kemiskinan tetap jadi PR besar perekonomian nasional.
Kalaupun hasil survei kemiskinan Bank Dunia dan BPS (dengan dasar perhitungan yang berbeda) hendak diperbandingkan, komparasi relatif lebih cocok dilakukan atas dasar besaran perubahannya. Artinya, kedua ukuran, meski dengan dasar perhitungan yang berbeda, akan memberikan arah perubahan yang sama.
Obyektif harus diakui, dasar pengukuran kemiskinan Bank Dunia dan BPS termaktub kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Dalam bahasa akademis, dasar perhitungan masing-masing sangat boleh jadi tak valid betul. Meski demikian, arah perubahannya masih bisa diandalkan (reliable) sebagai acuan.
Dengan alur logika itu pula, perbedaan batas GK antara Bank Dunia dan BPS tak akan banyak berpengaruh pada kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Perubahan penduduk miskin jika diukur berdasar metode Bank Dunia dan BPS diperkirakan ekuivalen naik sekitar 50 basis poin.
Perkiraan kenaikan proporsi penduduk miskin itu bukan karena perubahan metode pengukuran, melainkan terkait dampak ekonomi pandemi Covid-19. Perdebatan metode perhitungan yang berbeda justru akan mengalihkan perhatian dari esensi permasalahan, yakni kemiskinan itu sendiri.
Jika cara pandang di atas disepakati bersama oleh kedua pihak yang berpolemik, debat tak akan berkepanjangan dan solusi yang ditawarkan pun niscaya akan jauh lebih produktif. Bagaimanapun pengurangan kemiskinan tetap jadi PR besar perekonomian nasional. Bukan begitu?
Haryo Kuncoro,Guru Besar Fakultas Ekonomi UNJ, Direktur Riset SEEBI