Para unggulan dalam penghargaan tahunan Festival Film Indonesia 2022 bisa membuktikan bahwa tradisi realisme terus menyala di benak pembuat film Indonesia hari ini.
Oleh
RIRI RIZA
·5 menit baca
Ajang penghargaan tahunan Festival Film Indonesia 2022 telah mencapai ujung waktu pelaksanaan dengan diumumkannya film-film yang menjadi nomine, dilanjutkan dengan malam anugerah FFI 2022. Film-film Indonesia yang mendapatkan perhatian dari asosiasi profesi dan para penentu nominasi (akademi citra) adalah karya sutradara Indonesia yang menonjol dengan bentuk dan gaya yang kuat, serta dikerjakan dengan nilai keterampilan tinggi hingga menarik sebagai tontonan film. Karya-karya ini juga menunjukkan kegairahan berkarya bahkan di masa pandemi.
Berbeda dengan seni drama panggung, film tidak hanya bercerita dengan ’kehadiran manusia’. Dalam film, aspek visual seperti setting, sinematografi, atau tata busana adalah juga sumber informasi, bahkan cerminan emosi dari tokoh dalam cerita. Proses memilih dan menakar penggunaan aspek visual adalah kerja sutradara yang menjadikan penceritaan film mencapai realitas yang meyakinkan sekaligus menjadi seni bercerita yang membedakan satu film dengan yang lain.
Dalam bukunya yang banyak dikenal, Film Art: An Introduction, David Bordwell menyebut istilah mise en scene sebagai rangkaian elemen yang tampak di layar dan menjadi ’media’ atau alat sekaligus strategi seorang sutradara dalam bercerita. Elemen mise en scene adalah setting, properti, pencahayaan, gerakan kamera, komposisi, dan juga penataan aspek tata busana dan tata rias.
Sutradara dengan cakap dan peka meramu untuk menemukan satu kesatuan ’bahasa’ dari filmnya. Apa saja yang terlihat di layar tentu harusnya logis dan jelas bagi cerita, tetapi juga memberi nuansa. Namun, tidak tepat jika sekadar ’penuh nuansa’ jika tidak memberi kita pengalaman menonton yang jernih atau logis.
Film yang baik dan menyajikan keutuhan dalam semua aspeknya. Adalah tanggung jawab penting sutradara melakukan berbagai interpretasi dan percobaan konsep setting, pencahayaan dan gerakan kamera, bahkan dalam tata busana dan tata rias untuk menemukan ’arsitektur penceritaan’ sebuah film. Dengan penguasaan mise en scene, film dapat mencapai sebuah gambaran realistis dari kehidupan.
Menawarkan pengalaman
Saya ingin mencatat beberapa film unggulan secara khusus. Ngeri-ngeri Sedap karya sutradara Bene Dion Rajagukguk memilih lokasi di Toba sebagai setting sekaligus inspirasi bagi pembentukan keutuhan bercerita.
Bersama sinematografer Paderi Nadiak dan penata artistik Esra Tampubolon, pilihan setting seperti lapo dan rumah keluarga Batak di tepian danau membawa kita sangat dekat kepada penggambaran keluarga Batak dalam prahara. Gambaran rumah ditempatkan apa adanya: sempit, kelam, dan tak terawat, mencoba menggambarkan kemuraman masa tua dari tokoh utama yang penuh harap tak sampai dan ekonomi yang sulit berkembang karena terlalu mementingkan perannya dalam adat dan gereja.
Pencahayaan dan gerak kamera dalam ruang sempit ini juga menawarkan pengalaman ’berada’ di tengah ruang cerita. Sebuah realisme yang jarang kita lihat dalam film-film yang disutradarai para komedian Indonesia.
Pencahayaan dan gerak kamera dalam ruang sempit ini juga menawarkan pengalaman ’berada’ di tengah ruang cerita. Sebuah realisme yang jarang kita lihat dalam film-film yang disutradarai para komedian Indonesia yang membanjiri lanskap film Indonesia beberapa tahun terakhir. Tradisi ini adalah gaya yang sangat disiplin digali terus-menerus oleh almarhum Teguh Karya dalam banyak karyanya, seperti Secangkir Kopi Pahit, Usia 18, atau Ibunda.
Nana, karya sutradara Kamila Andini, adalah sebuah cerita dengan setting Indonesia dalam kekelaman perubahan politik pasca-1965. Sebuah film periodik di masa yang penuh misteri dan bisik-bisik yang diwarnai pembunuhan berdarah di seluruh Indonesia.
Menarik melihat ketekunan Kamila Andini bersama penata kamera/sinematografi Batara Goempar dan penata artistik Vida Sylvia mengajukan kemuraman itu sebagai esensi penceritaan tokoh Nana yang berhadapan dengan kenyataan kehidupan keluarganya. Sebuah rumah di kawasan perkebunan di pinggiran Bandung menjadi setting utama cerita, menggambarkan struktur kuasa daerah di masanya dirancang dengan meyakinkan, demikian pula dengan pencahayaan, komposisi, dan gerak kamera. Ketepatan dalam penempatan dan penataan ini bukan hanya bertujuan menawarkan keindahan, tetapi juga karena cerita menawarkan tema ’perasaan terkekang’ yang memang menggelitik.
Nana berada di atas rata-rata dalam aspek keterampilan teknis sutradara dalam mise en scene selain aspek lain seperti pemeranan atau tata suara yang juga menonjol. Film ini bagi saya berhasil menawarkan sebuah keindahan gaya visualnya, tetapi tetap mencekam dengan tekanan kisah pembantaian dan ketidakbahagiaan.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah sebuah film yang menunjukkan satu penguasaan dalam mencari ’rumusan gaya visual’ yang penuh kejutan dari sutradara Edwin. Diadaptasi dari novel karya Eka Kurniawan yang menyugestikan gaya cerita-cerita silat dan kriminal, juga gaya film Indonesia tahun 1980-an, termasuk karya Teguh atau Sjumandjaja.
Namun, Edwin bersama sinematografer Akiko Ashizawa dan penata artistik Eros Eflin seolah mengambil sebuah keputusan paling esensial dalam mencari gaya visual yang membawa Seperti Dendam pada ruang yang tidak pernah kita alami dalam film-film Indonesia sepuluh tahun terakhir. Pemilihan materi perekaman dengan seluloid 16 milimeter adalah strategi yang efektif untuk itu. Format rekam analog dengan cepat membawa pengalaman kita masuk ke dalam dunia cerita yang penuh pertemuan yang ’meyakinkan’ dari dunia realisme dan fantasi ala komik: apa adanya, kasar, dan kadang brutal.
Keterbatasan ’dinamika rekam’ dari format seluloid membuat pilihan setting (di kawasan Lasem, Jawa Tengah) sukses mengajukan romantisme periode 1980-an. Konsep tata busana dan rias juga cukup layak diamati dari karya Edwin ini, sebuah tawaran yang didasarkan kepada pengamatan sekaligus ketertarikan sutradara pada kemungkinan sinema sebagai ruang eksperimentasi. Film ini menjadi salah satu film Indonesia yang paling otentik menggambarkan era Orde Baru di mana kekerasan dan militerisme adalah bagian utama dari kehidupan masyarakat kita.
Realisme terasa jelas jejaknya dalam film karya Bene Dion, Kamila, dan Edwin serta juga beberapa judul lain yang menonjol tahun ini seperti Autobiography karya Maakbul Mubarak, Cinta Pertama, Kedua dan Ketiga karya Gina S Noer, Srimulat Hil yang Mustahal karya Fajar Nugros, bahkan Pengabdi Setan 2 karya Joko Anwar. Para sutradara film Indonesia telah memilih sebuah pendekatan yang membuat film mereka memiliki pijakan persoalan-persoalan nyata di Indonesia seperti pembantaian 1965, kekerasan bernuansa politik era Orba, dan juga sulitnya berhadapan dengan kerasnya nilai tradisi dalam masa modern. Tema-tema ini terolah baik dan menjadi inspirasi mise en scene dalam filmnya.
Para unggulan dalam penghargaan tahunan Festival Film Indonesia, selain menunjukkan kepada publik pencapaian terbaik film Indonesia tahun terakhir, juga bisa membuktikan bahwa tradisi realisme yang telah lebih dahulu didorong oleh para pendiri film Indonesia seperti Usmar Ismail, Nyak Abbas Akub, Arifin C Noer, Sjumandjaja, atau Teguh Karya terus menyala di benak pembuat film Indonesia hari ini.