Individu yang merasa maskulinitasnya terancam akan lebih mungkin melakukan kekerasan jika ia memiliki disposisi kemarahan. Karena itu maskulinitas perlu didefinisikan secara lebih luwes dan positif.
Oleh
CANTYO ATINDRIYO DANNISWORO
·4 menit baca
Kekerasan dalam hubungan merupakan fenomena yang terus tumbuh hingga kini. Data Komnas Perempuan menunjukkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di dalam hubungan. Pada 2019 terdapat 11.105 kasus, pada 2020 sebanyak 6.480 kasus, dan pada 2021 sebanyak 7.770 kasus. Selain itu, UN Women juga menyatakan bahwa situasi pandemi Covid-19 memperparah kekerasan terhadap perempuan di ranah personal.
Jika berbicara mengenai pelaku maupun korban kekerasan di dalam hubungan, penelitian menemukan variasi yang berbeda-beda atas siapa yang lebih banyak melakukan kekerasan. Namun para peneliti setuju bahwa laki-laki pelaku memberikan dampak cidera yang lebih parah dibanding perempuan pelaku. Kekerasan di dalam hubungan ini memberikan banyak dampak negatif kepada korban, mulai dari cidera secara fisik, rendahnya kepercayaan diri, depresi, gangguan tidur, gangguan makan, hingga kematian.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan di dalam hubungan, salah satunya dipengaruhi oleh budaya patriarki. Sistem budaya patriarki ini mengatur peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, atau yang sering disebut dengan peran jender. Peran jender merefleksikan nilai, norma, dan harapan tentang bagaimana laki-laki dan perempuan bersikap di masyarakat.
Permasalahan muncul ketika individu laki-laki mengalami hambatan untuk memenuhi harapan dari lingkungan tersebut. Laki-laki akan merasa tertekan dan stres jika mereka menilai dirinya gagal memenuhi peran jendernya, atau ketika dirinya dilihat sebagai individu yang kurang maskulin oleh lingkungan. Situasi ini disebut dengan ‘keterancaman maskulinitas’.
Laki-laki akan merasa tertekan dan stres jika mereka menilai dirinya gagal memenuhi peran jendernya, atau ketika dirinya dilihat sebagai individu yang kurang maskulin oleh lingkungan.
Keterancaman maskulintas yang dialami laki-laki memiliki hubungan dengan tingginya tingkat kemarahan dan perilaku agresif. Hal ini dapat terjadi karena laki-laki ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah individu yang maskulin. Ia menunjukkan emosi marah dan perilaku agresif sebagai kompensasi atas kegagalan dirinya memenuhi peran jender maskulin, dengan tujuan untuk mempertahankan dominasi dan kontrolnya.
Selain keterancaman maskulinitas, faktor lain yang sering ditemukan sebagai prediktor kuat terhadap munculnya kekerasan di dalam hubungan adalah kemarahan. Penelitian yang dilakukan Dannisworo, Adiningsih, dan Christia (2019) terhadap 366 laki-laki di Pulau Jawa, menemukan bahwa individu yang merasa maskulinitasnya terancam akan lebih mungkin melakukan kekerasan jika ia memiliki disposisi kemarahan pada tingkat sedang atau tinggi. Pertanyaan selanjutnya adalah “apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kekerasan di dalam hubungan oleh laki-laki?”
Mendefinisikan ulang
Hal pertama yang mengakar dan perlu diatasi adalah mendefinisikan ulang maskulinitas. Maskulinitas menjadi sumber awal bagaimana laki-laki merasa tertekan ketika ia tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki ideologi maskulinitas tradisional, memiliki kemungkinan yang besar untuk melakukan kekerasan di dalam hubungan.
Di sisi lain, ruang bagi laki-laki untuk bisa lepas dari harapan dan tuntutan lingkungan tersebut sangat sempit. Oleh karena itu, maskulinitas perlu didefinisikan secara lebih luwes dan positif. Hal ini perlu dilakukan agar laki-laki tidak harus tampil agresif dan penuh kekerasan dan diperbolehkan untuk gagal, menunjukkan perasaannya, namun juga tetap bertanggung jawab atas segala perilakunya. Dengan mendefinisikan ulang maskulinitas, laki-laki dapat lebih leluasa untuk menerima dan memahami diri apa adanya.
Dengan mendefinisikan ulang maskulinitas, laki-laki dapat lebih leluasa untuk menerima dan memahami diri apa adanya.
Kedua, dengan memberikan keleluasaan bagi laki-laki untuk menunjukkan emosinya. Laki-laki biasanya tidak diperbolehkan oleh lingkungan untuk menunjukkan emosinya. Mereka dididik untuk malu terhadap ‘emosi feminin’, misalnya emosi takut. Hal ini kemudian membuat laki-laki kesulitan mengenali emosi apa yang sedang dirasakannya. Akhirnya, laki-laki hanya dapat mengandalkan logika tentang apa yang seharusnya mereka rasakan ketika menghadapi suatu situasi, namun tidak benar-benar merasakannya.
Emosi yang menjadi umum disadari oleh laki-laki adalah ‘emosi maskulin’, seperti marah. Dengan memberikan keleluasaan kepada laki-laki untuk mengeksplorasi dan menyadari berbagai emosi yang dimilikinya, laki-laki akan memiliki kosa kata emosi yang lebih kaya sehingga ekspresi emosi dan penyelesaian terhadap masalah juga dapat semakin variatif dan adaptif.
Ketiga, melihat pentingnya peran kemarahan dalam perilaku kekerasan, maka penanganan emosi marah pada pelaku kekerasan dalam hubungan perlu ditekankan. Penanganan emosi marah dinilai efektif dalam menangani dan menghindari kekerasan dalam hubungan. Program penanganan emosi marah ini dapat pula diberlakukan secara nasional, misalnya melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau komunitas maupun lembaga layanan yang menangani pelaku kekerasan dalam hubungan.
Tindakan preventif dan kuratif perlu dilakukan untuk mengatasi dua faktor yang berperan secara signfikan terhadap perilaku kekerasan di dalam hubungan, yaitu keterancaman maskulinitas dan kemarahan. Tindakan ini perlu dilakukan dengan menantang ideologi jender tradisional dan sejak laki-laki masih kanak-kanak.
Cantyo Atindriyo Dannisworo, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia; Mahasiswa Doktoral di Radboud Universiteit, Belanda