Lewat semangat berbagi, transisi energi akan dinikmati lebih luas di antara negara berkembang dan miskin. Upaya mengatasi krisis iklim pun akan lebih maksimal.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Isu transisi energi kini sering dibicarakan oleh para pemimpin perusahaan dan pejabat negara-negara di dunia. Semangat yang patut disambut positif.
Gelombang pembahasan transisi energi juga muncul dalam diskusi rangkaian Kompas 100 CEO Forum awal pekan ini, di Jakarta. Dalam diskusi yang diikuti sejumlah pemimpin perusahaan energi itu muncul kembali pernyataan bahwa percepatan peralihan penggunaan energi fosil menuju energi baru dan terbarukan mutlak diperlukan.
Gelombang pembahasan transisi energi sebenarnya menguat terutama setelah berlangsung Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-26 atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu. ”How Big Business is Taking the Lead on Climate Change” (Foreigns Affairs, 3 Februari 2022) menyebutkan, hasil terpenting COP26 mungkin bukan kesepakatan formal di antara diplomat, melainkan momentum dalam berbagai pertemuan dan pembicaraan di antara pemimpin perusahaan global pada acara itu. Lebih dari 5.200 perusahaan berjanji mencapai target nol karbon pada 2050. Selain itu, sekitar 450 bank, perusahaan asuransi, serta investor, secara kolektif mewakili aset 130 triliun dollar AS dan 40 persen modal swasta dunia, berkomitmen membuat portofolio netral iklim selama periode yang sama.
Setahun kemudian, digelar COP27 di Mesir, yang rampung akhir pekan silam. Dalam perhelatan ini, setelah melewati negosiasi alot di antara wakil ratusan negara, disepakati perlunya negara maju berkomitmen menyiapkan pendanaan bagi kehilangan dan kerusakan akibat krisis iklim. Kompensasi atas kehilangan dan kerusakan ini dikumpulkan oleh negara-negara maju dan akan diberikan kepada negara berkembang atau pulau-pulau kecil yang terdampak krisis iklim. Daftar negara yang harus menyediakan dana belum disepakati baru dibahas pada COP28 di Uni Emirat Arab, 2023.
Perjalanan COP26 dan COP27 menunjukkan aspek-aspek penting dalam upaya menangani perubahan iklim. Salah satunya transisi energi, yang di dalamnya ada inovasi teknologi serta pembiayaan bagi peralihan menuju energi baru dan terbarukan. Aspek lainnya ialah ”gotong royong” di antara negara-negara dalam menanggung dampak perubahan iklim.
Transisi energi menuntut dukungan besar pemerintah, paket insentif, dan terobosan skema pembiayaan, mengingat berbiaya begitu tinggi. McKinsey memperkirakan ”dekarbonisasi” sistem industri dan pembangkit listrik memerlukan 60 triliun dollar AS secara kumulatif dalam 30 tahun ke depan.
Aspek ”gotong royong” yang muncul pada COP27 pada dasarnya tak hanya menanggung kerusakan akibat krisis iklim. Hal penting lainnya ialah bagaimana negara maju ”bergotong royong” dengan tak menjual sangat mahal teknologi baru pendukung transisi energi kepada negara berkembang. Lewat semangat berbagi ini, transisi energi akan dinikmati lebih luas di antara negara berkembang dan miskin. Upaya mengatasi krisis iklim pun akan lebih maksimal.