Integritas, profesionalisme serta netralitas pemeriksa menyebabkan kita dapat memilih kredensial pendapat yang beredar. Memiliki impunitas seolah menjadi hak dari aparat keamanan. Menimbulkan sikap "can do no wrong"
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Petugas kepolisian membasuh wajah untuk meminimalisir efek gas air mata yang ditembakkan untuk membubarkan unjuk rasa mahasiswa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Unjuk rasa mahasiswa tersebut menuntut DPR untuk tidak mengesahkan RUU yang dianggap bermasalah seperti RKUHP. Selain itu mereka juga menuntut agar Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU KPK.Kompas/Heru Sri Kumoro24-09-2019
Kekeliruan ataupun kesalahan adalah manusiawi. Mampu mengakuinya perlu kedewasaan dan kejujuran nurani. Kompas sebagai media arus utama dalam rekam jejaknya selalu mengupayakan pemberitaan berimbang.
Apakah ini yang mendasari dua berita berbeda di Kompas (Kamis, 10/11/2022) berjudul ”Hasil Uji Lab: Gas Air Mata Picu Kematian” dengan berita Jumat (11/11/2022), ”Polda Jatim Bantah Kandungan Gas Air Mata Mematikan”?
Gejala silang pendapat seolah menjadi keseharian di media sosial. Ironisnya, hal ini muncul lebih dari sisi emosi daripada penalaran sehat. Gary Wills pernah mengemukakan dalam bukunya, ”Ada pertikaian di antara dua pihak dan masing-masing tidak mendalami pengetahuan tentang hal yang diperdebatkan”.
Tim investigasi harian Kompas mendapatkan dokumen hasil pengujian dua laboratorium atas sampel gas air mata yang ditembakkan polisi di Stadion Kanjuruhan. Hasil uji pada kedua laboratorium itu mengungkap, selain senyawa O-chlorobenzylidenemalononitrile (CS) yang menjadi komponen utama gas air mata (49,6 persen), ada empat senyawa lain yang ditemukan.
Empat senyawa itu adalah 2-chloroben-zaldehyde (36,5 persen), 0-chloropropylbenzene (11,6 persen), benzena (1,2 persen), dan benzyl dichloride atau p-Chlorobenzyl chloride (1,1 persen). Empat komponen itu bersifat racun, mudah terbakar, menimbulkan kerusakan organ tubuh, dan pada kondisi tertentu bisa memicu kematian.
Kepolisian Daerah Jawa Timur membantah kandungan gas air mata milik mereka bisa mematikan. Sampel gas air mata di Kanjuruhan juga telah diuji Laboratorium Forensik Polda Jatim. Sudah dilakukan pula pemeriksaan saksi dari PT Pindad selaku produsen dan pemeriksaan oleh ahli toksikologi.
Hasilnya, gas air mata itu mengandung CS (2-chloroben-zalmalononitrile ii). Kandungan gas air mata itu masuk senyawa non-lethal (tidak beracun), tetapi menyebabkan iritasi pada kulit dan mata.
Integritas, profesionalisme serta netralitas pemeriksa menyebabkan kita dapat memilih kredensial dari dua pendapat di atas. Memiliki impunitas seolah olah sudah menjadi hak dari aparat keamanan. Menimbulkan sikap "can do no wrong".
Saat ini kita sedang menyaksikan beberapa kejadian, yang kesimpulannya adalah: tubuh kepolisian perlu introspeksi disertai kebesaran jiwa. Semoga pengalaman ini makin mendewasakan bangsa.
Hadisudjono SastrosatomoJl Pariaman, Setiabudi, Jakarta Selatan 12970
Martabatkan Guru
Program Pendidikan Guru (PPG) terkesan menjadi kerja paksa. Istri saya yang baru melahirkan, hanya 30 menit pascaoperasi sudah harus ikut aktif mengikuti via Zoom, Agustus 2022.
Tugasnya pun harus dituntaskan tepat waktu pada hari itu juga. Jikalau tidak, tidak diperbolehkan ikut lagi secara otomatis melalui learning management system (LMS).
Saya salut kepada istri saya. Dia melaluinya dengan baik. Waktu cutinya diisi dengan belajar sambil mengurus anak bayi. Untung, ia guru yang gesit dan saya membantu sesekali. Namun, saya kasihan kepada guru lainnya.
Guru memang harus profesional, tetapi perlakuan kepada guru juga tidak bisa sewenang-wenang. Guru harus dihormati sesuai keadaannya.
Saya kasihan melihat guru yang sudah renta harus mengulang video karena tak maksimal. Padahal, saya sendiri yang memvideokan guru tersebut saat praktik pengalaman lapangan (PPL). Rasanya sudah maksimal. Dia pun mengajar dengan sangat baik.
Namun, karena guru lainnya menyewa kamerawan dan ahli teknologi informasi dengan biaya jutaan rupiah, video orisinal guru dikatakan tidak layak oleh dosen.
Apakah membuat film jadi pembuktian bahwa guru memang sudah layak mengajar? Panitia PPG harus mengerti substansi, bukan sensasi. Seharusnya, yang dinilai adalah saat mengajar dari Zoom, bukan video hasil kamerawan dan editan canggih.
Sebagai guru, saya melihat PPG ini semakin sulit sehingga tugas utama untuk mengajar benar-benar tertinggal. PPG juga kejar tayang sehingga pekerjaan yang seharusnya dituntaskan 12 bulan dipadatkan 3 bulan. Yang ada ketergesa-gesaan dan guru harus menyewa jasa orang lain.
Riduan SitumorangPengurus PGRI Kabupaten Humbang Hasundutan