Ekonomi Bersinar dalam Kegelapan
Indonesia boleh membanggakan diri di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian global karena mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam sembilan bulan pertama 2022. Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2023 ?
Hantu resesi yang banyak didengungkan oleh para ekonom ternyata semakin menjauh dari Indonesia.
Hal ini terlihat dari data terkini pertumbuhan ekonomi yang terus membaik dalam kurun setahun terakhir. Badan Pusat Statistik belum lama ini merilis angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan III-2022 yang mencapai 5,72 persen (yoy) sehingga selama tiga triwulan berturut-turut ekonomi terus melaju kencang. Angkanya juga menunjukkan tren meningkat. Dari 5,01 persen triwulan I, 5,44 persen triwulan II, dan 6,72 persen triwulan III.
Kinerja ekonomi yang konsisten ini menjadi impian bagi semua negara di tengah ancaman ketidakpastian dan ketakutan munculnya stagflasi. Ini menjadikannya sebuah cahaya bersinar di tengah kegelapan ekonomi global.
Indonesia mampu bangkit dengan cepat dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Bukan itu saja. World Economic Outlook yang diterbitkan Dana Moneter Internasional (IMF), Oktober 2022, juga mengungkapkan PDB Indonesia telah mencapai 4,02 triliun dollar AS (sekitar Rp 66.000 triliun dengan kurs Rp 15.500/dollar AS). Pencapaian ini sekaligus menempatkan Indonesia di posisi ketujuh ekonomi terbesar dunia.
Prestasi tersebut membuat IMF optimistis mengenai prospek ekonomi Indonesia. Kondisi Indonesia ini bertolak belakang dengan 31 negara yang menurut perkiraan IMF akan mengalami kontraksi ekonomi berturut-turut.
Baca juga : “Overthinking" Resesi
Pertumbuhan ekonomi positif juga dialami negara ASEAN lain. Singapura tumbuh 4,4 persen triwulan III-2022, sementara Vietnam melesat dengan 13,67 persen. Sebaliknya, kinerja ekonomi beberapa negara maju menunjukkan ketidakpastian yang relatif tinggi. Jerman tetap tumbuh, tetapi hanya sebesar 1,1 persen, Inggris 0,8 persen, dan Italia sebesar 0,2 persen.
Ekonomi AS mengalami ekspansi 2,6 persen di triwulan III-2022, dibandingkan triwulan II-2022 yang kontraksi 0,6 persen. China juga tumbuh positif 3,9 persen, lebih baik dibandingkan triwulan II-2022 yang hanya 0,4 persen. Korea Selatan tumbuh 3,1 persen. Data pertumbuhan ekonomi Jepang untuk triwulan III-2022 belum keluar, tetapi diramalkan angkanya minimal.
Indikator pendukung kinerja
Dari data di atas, dapat kita simpulkan bahwa situasi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja. Lonjakan inflasi di mana-mana, disertai dengan ancaman stagflasi, menjadi faktor penyebab utamanya. Hal ini berbeda dengan situasi 2021, di mana hampir semua negara mengalami ekspansi ekonomi. Namun, momentum pertumbuhan yang cepat itu tak bisa lagi dipertahankan di 2022. Masih banyak negara lain yang harus berjuang keras agar mampu keluar dari ancaman stagflasi.
Keberhasilan kinerja ekonomi nasional menjaga momentum pertumbuhan yang positif tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor yang memengaruhinya.
Pertama, berbagai kebijakan ekonomi makro dan fiskal yang dikeluarkan pemerintah dan bersifat kontrasiklikal mampu menjaga konsistensi pertumbuhan ekonomi semenjak pandemi sampai saat ini. Demikian juga dengan kebijakan moneter akomodatif yang dilakukan Bank Indonesia (BI), yang mampu menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, laju inflasi yang terkendali, dan kebutuhan arus likuiditas di pasar.
Kebijakan pemerintah lainnya yang bersifat sektoral ataupun berbasis mikro juga mampu menggerakkan pertumbuhan sektor-sektor yang selama ini terkena dampak pandemi. Dengan berbagai bauran kebijakan tersebut, Indonesia mampu melewati berbagai tantangan berat itu, menuju pemulihan ekonomi.
Kedua, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) triwulan III-2022 masih tetap tinggi. Masyarakat masih memiliki tingkat keyakinan yang kuat mengenai prospek dan masa depan ekonomi Indonesia ke depan. IKK ini salah satu indikator utama yang mengukur kinerja perekonomian. Masyarakat Indonesia sepertinya tak terlalu memedulikan ketidakpastian yang terjadi di ekonomi global.
Dengan berbagai bauran kebijakan tersebut, Indonesia mampu melewati berbagai tantangan berat itu, menuju pemulihan ekonomi.
Angka IKK terakhir pada September 117,2 sedikit menurun dibandingkan Juli yang 123,2. Namun, penurunan ini tak memberikan pengaruh signifikan mengingat angkanya masih di atas 100, alias masih di zona optimistis. Artinya, konsumen masih optimistis dengan kondisi perekonomian nasional ke depan.
Ketiga, kinerja industri pengolahan dan manufaktur terus meningkat. Hal ini tecermin dari data Prompt Manufacturing Index (PMI) yang dikeluarkan BI, yang meningkat dari 53,61 persen pada triwulan II-2022 menjadi 53,71 persen pada triwulan III-2022.
Indikator PMI ini sangat penting mengingat industri pengolahan dan manufaktur selama ini salah satu penyumbang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Indikator Purchasing Manager’s Index untuk September 2022 juga naik dibandingkan Juni 2022 yang 50,2, yakni 53,7. Kedua indikator ini konsisten dengan ekspansi industri pengolahan nasional sehingga mampu mendorong ekonomi tetap tumbuh positif.
Keempat, kinerja ekspor Indonesia yang terpuruk dan terkontraksi 8,1 persen selama 2020 telah menunjukkan perbaikan di tahun-tahun berikutnya. Ekspor Indonesia tumbuh 24 persen selama 2021 sebagai dampak dari naiknya konsumsi global dan investasi.
Selama tiga triwulan pertama 2022, nilai ekspor Indonesia mencapai 219,35 miliar dollar AS, naik 33,5 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Menguatnya kinerja ekspor memiliki dampak turunan yang sangat penting, yaitu membuka lapangan kerja baru, menambah pundi-pundi pajak pemerintah, dan yang tak kalah penting adalah memperkuat cadangan devisa nasional.
Kelima, hasil Survei Penjualan Eceran BI menunjukkan Indeks Penjualan Riil (IPR) untuk bulan September 2022 sebesar 200, lebih tinggi 5,5 persen dibandingkan periode sama 2021. Kenaikan penjualan eceran ini ditopang oleh penjualan makanan, minuman, tembakau, perlengkapan rumah tangga, serta peralatan komunikasi dan informasi.
Penjualan eceran untuk suku cadang, aksesori, sandang, dan rekreasi juga masih tetap kuat. Naiknya IPR mencermin- kan bergeraknya sektor riil karena adanya permintaan konsumsi yang cenderung terus meningkat pascapandemi.
Keenam, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di akhir Juni 2022 masih berada di angka 6.949,11 dan akhir September sudah melaju di angka 7.040,8 atau naik sekitar 1,3 persen. Sementara, kapitalisasi saham per akhir September 2022 mencapai Rp 9.268 triliun, dari Juni 2022 yang Rp 9.046 triliun.
Kondisi ini memberikan gambaran bahwa investor di pasar modal masih memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap ekonomi nasional dan kemampuan pemerintah menjaga momentum pertumbuhan yang berkelanjutan. IHSG terus melanjutkan penguatan dan di akhir Oktober 2022 telah menyentuh angka 7.098,89. Para pengamat memperkirakan akhir 2022 IHSG mampu mencapai rekor baru di kisaran 7.400.
Baca juga : Resesi Global Mengintai, Ekonomi RI Masih Tumbuh Sesuai Ekspektasi
Ancaman ketidakpastian
Indonesia boleh membanggakan diri di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian global karena mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam sembilan bulan pertama 2022. Triwulan IV diperkirakan tetap tumbuh positif. Bagaimana dengan 2023?
Optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi yang ekspansif diperkirakan masih tetap terjaga di 2023. Pertanyaannya, apakah angka pertumbuhan di 2023 akan sekuat 2022 ataukah lebih rendah? Ekonom umumnya terbelah.
Meski demikian, kita tetap perlu mengamati beberapa faktor fundamental yang bisa memberikan pengaruh langsung ataupun tak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi ke depan.
Pertama, hantu inflasi yang dikhawatirkan akan menurunkan pertumbuhan masih belum terlihat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini. Angka inflasi year-to-date terus meningkat selama periode Januari-Oktober 2022, dengan angka inflasi telah menyentuh angka 4,73 persen pada Oktober 2022. Sementara angka inflasi 2021 hanya sebesar 1,87 persen (yoy).
Kenaikan angka inflasi yang persisten dan cenderung naik sampai akhir 2022 ini perlu diwaspadai, jangan sampai semakin melesat dan tidak terkontrol.
Kedua, ancaman kebijakan kontraksi moneter menjadi semakin kuat sehingga akan mengurangi aliran likuiditas di pasar. Kebijakan moneter ketat memang sangat diperlukan di saat laju inflasi mulai melesat. Diperlukan pijakan rem yang kuat untuk mengontrol kecepatan inflasi agar tidak terlalu tinggi.
Pijakan rem yang terlalu kuat melalui kenaikan suku bunga acuan beberapa kali terbukti akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kasus di AS merupakan contoh bagaimana bank sentral AS, The Fed, harus menaikkan bunga acuan beberapa kali dalam jangka waktu pendek untuk meredam inflasi. Dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi AS menjadi lebih rendah dan bahkan sempat mengalami pertumbuhan negatif pada triwulan II-2022.
Sedia payung sebelum hujan
Suksesnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama sembilan bulan pertama 2022 telah membuktikan bahwa ekonomi Indonesia masih kuat dan kokoh menghadapi ancaman stagflasi global.
Meski demikian, kita sama sekali tak boleh lengah dan merasa cepat berpuas diri. Pemerintah bersama-sama dengan otoritas moneter perlu menyiapkan contigency plan apabila ancaman ketidakpastian global itu melanda Indonesia.
Diperlukan pijakan rem yang kuat untuk mengontrol kecepatan inflasi agar tidak terlalu tinggi.
Kita berhasil melewati gangguan yang begitu berat di saat munculnya pandemi Covid-19, dan mampu mengembalikan kondisi ekonomi ke situasi sebelum pandemi terjadi. Komitmen dan pengalaman dari segenap jajaran pemerintah dalam membuat bauran kebijakan ekonomi makro dan mikro yang bersifat kontrasiklikal di 2020-2021, ternyata dapat mengembalikan perekonomian pada posisi ekspansi kembali.
Mari kita dukung pemerintah beserta jajarannya agar mampu menangani potensi ancaman serangan ketidakpastian dalam wujud perfect storm yang mungkin terjadi pada tahun 2023.
Agus Sugiarto Kepala OJK Institute