Produktivitas Padi Bukan Refleksi Teknologi
Beras dapat menjadi pemicu laju inflasi, determinan penting dari komponen harga pangan bergolak yang memiliki implikasi penting pada manajemen kebijakan ekonomi makro. Penggunaan teknologi baru perlu dipertimbangkan.
Pada 17 Oktober 2022, Badan Pusat Statistik merilis data luas panen, produksi, dan produktivitas padi menggunakan metode kerangka sampel area.
Pada periode 2021-2022, luas panen meningkat 3,92 persen, produksi padi meningkat 2,78 persen, dan produksi beras meningkat 1,34 persen. Namun, produktivitas padi turun 0,55 persen, terutama karena peningkatan luas panen lebih tinggi daripada peningkatan produksi padi. Kinerja produktivitas padi pada 2022 ini tentu sangat kontras dibandingkan peningkatan angka produktivitas sebesar 1,96 persen pada 2020-2021.
Kinerja produktivitas yang naik turun tidak berpola seperti ini tentu cukup menyulitkan dalam perbaikan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian.
Sekian macam program intensifikasi penggunaan input modern dan ekstensifikasi perluasan areal tanam belum terefleksi dalam kinerja atau dinamika produktivitas padi. Pada 2022, metode kerangka sampel area (KSA) telah memasuki tahun kelima aplikasinya pada estimasi produksi padi. Metode KSA belum berhasil diterapkan pada estimasi produksi jagung, apalagi pada produksi kedelai yang penuh tantangan.
Baca juga : Awas Problem Laten Beras
Antiklimaks metode KSA?
Metode KSA dikembangkan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggunakan kombinasi data spasial, data digital, dan observasi lapangan dengan teknik pengukuran klasik metode ubinan.
Data spasial dan data digital diperoleh dari Badan Informasi Geospasial, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, dan lain-lain. Forum Masyarakat Statistik (FMS) terlibat dari awal perumusan, pembahasan, dan pengembangan metode KSA, termasuk melakukan advokasi kebijakan untuk aplikasinya.
Di lapangan, puluhan ribu petugas dikerahkan untuk mengamati luas panen secara serentak setiap bulan di lebih dari 22.000 segmen sampel padi sawah di seluruh Indonesia. Petugas lapangan mengirimkan potret digital fase masa tumbuh padi dan mengirimkannya ke server data KSA yang dikelola BPS pusat di Jakarta.
Metode kerangka sampel area produksi padi
Server KSA mengolah informasi digital itu dan menerjemahkannya menjadi delapan fase pertumbuhan padi: vegetatif awal (V1), vegetatif akhir (V2), generatif (G), panen (P), persiapan lahan (PL), potensi gagal panen (PGP), lahan diberakan (bera), dan tanaman lain selain padi (lain-lain). Hasil olahan observasi fase tumbuh itu menjadi estimasi luas panen, dengan satuan hektar.
Luas panen dihitung menggunakan luas panen bersih setelah memperhitungkan nilai konversi pematang sawah (galengan). Petugas lapangan juga melakukan ubinan di sekitar lokasi segmen sampel padi dan mengukur produktivitas padi dengan satuan ton per hektar.
Estimasi produksi padi adalah perkalian data luas panen dengan metode spasial-digital dan data produktivitas dengan metode ubinan. Konversi gabah kering panen (GKP) ke gabah kering giling (GKG) dan konversi GKG ke beras menggunakan hasil survei konversi gabah ke beras (SKGB) dan konversi gabah susut/tercecer berdasar neraca bahan makanan.
Hasil analisis data bulanan ternyata menunjukkan dinamika produktivitas padi yang tak berpola. Jikapun dibuat sintesis sederhana, faktor luas panen tampak sangat berpengaruh pada produktivitas padi.
Pada 2018, produktivitas padi tercatat 5,20 ton/ha dan turun 1,72 persen pada 2019 menjadi 5,11 ton/ha. Penurunan produktivitas juga disertai penurunan sekian elemen produksi karena kemarau ekstrem pada 2019. Faktor iklim dan cuaca tampak lebih dominan dibandingkan perubahan teknologi atau inovasi produksi pertanian.
Produktivitas padi membaik pada 2020 dan 2021 walau Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19. Pada 2021 terdapat penurunan luas panen 245.000 ha, yang mengganggu kinerja produksi padi. Perubahan teknologi pertanian belum mampu memitigasi perubahan
iklim dan cuaca ekstrem yang amat berpengaruh pada luas panen padi di seluruh Indonesia.
Adopsi teknologi baru
Konstruksi metode KSA dan penyajian data produksi tampak tak dapat menangkap dinamika produktivitas yang sebenarnya. Faktor luas panen tampak terlalu dominan dibandingkan dengan faktor intensifikasi budidaya pertanian. Akibatnya, konstruksi data produksi seperti itu tak mampu merefleksikan perubahan teknologi dan inovasi baru pertanian.
Dalam ekonomi pertanian, peningkatan luas panen sering disebut perubahan efisiensi teknis (technical efficiency change) karena angka produksi hanya bergerak naik turun pada kurva produksi yang sama.
Peningkatan produksi yang didorong inovasi sering disebut perubahan teknologi (technological change) karena terjadi pergeseran atau lompatan kurva produksi ke atas. Produktivitas per satuan input melompat berlipat-lipat seiring adanya invensi atau penemuan baru hasil penelitian yang telah diadopsi di tengah masyarakat.
Perubahan teknologi adalah refleksi kapasitas inovasi dan kualitas sumber daya manusia pertanian, riset dan pengembangan (R&D), ekosistem inovasi, dan lain-lain. Inovasi perubahan teknologi produksi padi telah banyak dilakukan di Indonesia. Misalnya dalam hal benih, pupuk, pestisida, alat-mesin pertanian, teknik budidaya, pertanian presisi, pertanian cerdas, teknik hemat air, modifikasi cuaca, dan lain-lain yang mampu meningkatkan produktivitas.
Pola produksi padi di Indonesia cukup unik. Sekitar 65 persen produksi dihasilkan pada musim rendeng pada periode Maret-Mei, sedangkan 35 persen sisanya terjadi pada panen musim gadu periode September-Oktober. Produksi beras sangat rendah pada periode November-Januari karena sebagian besar petani padi sedang melakukan tanam.
Konstruksi metode KSA dan penyajian data produksi tampak tak dapat menangkap dinamika produktivitas yang sebenarnya.
Harga beras bergerak naik pada periode kritis atau pasokan rendah tersebut, bahkan tak jarang menimbulkan persoalan sosial cukup pelik. Jika manajemen stok beras juga bermasalah, stabilisasi harga beras terganggu. Beras dapat menjadi pemicu laju inflasi, menjadi determinan penting dari komponen harga pangan bergolak (volatile food) yang memiliki implikasi penting pada manajemen kebijakan ekonomi makro.
Pertambahan produktivitas padi di Indonesia boleh jadi mungkin mulai mendatar (levelling-off) pada kondisi kapasitas produksi sekarang.
Perubahan kebijakan masih sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas padi dan memperbaiki kapasitas produksi dengan perubahan teknologi yang lebih unggul. Perubahan kebijakan amat diperlukan untuk memperbaiki tingkat adopsi atau penggunaan teknologi baru produksi padi ini.
Sebagian besar petani padi Indonesia masih menggunakan varietas Ciherang (29,87 persen), yang berumur 22 tahun, disusul varietas Mekonga (12,60 persen), Inpari 32 (7,47 persen), IR-64 (6,31 persen), Inpari 30 (6,13 persen), dan Situ Bagendit (4,12 persen) (Suryana, 2022). Penyuluh pertanian perlu lebih diintensifkan lagi dalam meningkatkan adopsi sekian teknologi baru dalam produksi padi tersebut.
Para penyuluh seharusnya memiliki penguasaan lapangan lebih baik dibandingkan profesi lain di lingkup dinas pertanian dan instansi terkait. Sistem insentif penyuluh yang mengarah pada perbaikan profesi wajib diperbaiki, mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Indef; Ketua Forum Masyarakat Statistik (FMS)