Program naturalisasi pemain tidak otomatis mendongkrak prestasi. Perlu pembenahan mendasar untuk membangun tim nasional sepak bola Indonesia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Pengucapan sumpah janji setia sebagai warga negara Indonesia oleh dua pesepak bola, Jordi Amat dan Sandy Walsh, Kamis (17/11/2022), menambah panjang daftar atlet naturalisasi, terutama di cabang sepak bola. Tercatat lebih dari 30 atlet sepak bola profesional telah beralih kewarganegaraan menjadi WNI. Sebagian karena keinginan pribadi lalu dibantu oleh klub mereka bernaung, sebagian lagi karena diusahakan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Federasi Sepak Bola Internasional atau FIFA menerapkan syarat bagi atlet sepak bola untuk berpindah negara. Pemain yang belum pernah membela tim nasional negara asalnya bisa membela negara baru jika memenuhi satu dari empat syarat: pemain itu lahir di negara tersebut, ayah atau ibunya lahir di negara tersebut, kakek atau neneknya lahir di negara tersebut, atau telah lima tahun tinggal di negara tersebut.
Amat (30) lahir di Spanyol, tetapi memenuhi syarat poin ketiga dari neneknya yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Adapun Walsh (27), yang lahir di Belgia dan berkebangsaan Belanda, kakek dan neneknya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika pemain tak memenuhi tiga syarat pertama, syarat keempat berlaku sehingga pemain tak bisa pindah negara secara instan.
Syarat terakhir itu dijalani Marc Klok, pemain asal Belanda. Setelah lima tahun bermain untuk PSM Makassar, Persija Jakarta, dan Persib Bandung, Klok memutuskan menjadi WNI. Kini dia menjadi andalan lini tengah timnas di bawah pelatih Shin Tae-yong. Namun, tanpa merendahkan kualitas pemain naturalisasi, tak semua pemain, termasuk yang dinaturalisasi atas usulan PSSI, mampu bersinar di timnas.
Hal itu memperlihatkan program naturalisasi bukanlah langkah terobosan yang selalu tepat untuk memperbaiki prestasi sepak bola Indonesia secara mendadak. Apalagi, sebagian pemain naturalisasi telah melewati atau berada di pengujung usia emas sebagai pemain. Langkah ini lebih terlihat sebagai upaya instan dari PSSI di tengah tekanan publik yang merindukan prestasi dari lapangan sepak bola.
Naturalisasi pemain asing juga memperlihatkan ada yang salah dalam pembinaan pemain yang dilakukan PSSI. Para pemain muda Indonesia sesungguhnya mampu berprestasi pada jenjang kelompok usia, setidaknya di tingkat Asia Tenggara, seperti yang diraih tim Indonesia U-16 pada 2018 dan 2022, serta Indonesia U-19 pada 2013. Namun, prestasi ini belum sekali pun diraih oleh timnas senior.
Prestasi timnas akan sulit diraih jika fondasi pembentukan timnas tak dibenahi, salah satunya kompetisi yang teratur dan berkualitas. Tragedi Kanjuruhan yang menelan 135 korban jiwa masih membekas sebagai bukti buruknya pengelolaan kompetisi sepak bola nasional. Tanpa fondasi yang kuat, pemain naturalisasi juga hanya memberi dampak sesaat.