Kosmopolitanisme Muhammadiyah
Muhammadiyah telah ditempa oleh sejarah dengan beragam peristiwa yang mengancam sekaligus peluang. Dalam sejarah yang panjang, Muhammadiyah teruji sebagai bagian dari Islam Indonesia yang moderat, inklusif, kosmopolit.

ilustrasi
Setelah mampu melewati usia seabad lebih, Muhammadiyah pelan-pelan mulai bergerak, dari yang semula sebagai gerakan keagamaan lokal (home-grown) ke tahap transnasional atau internasionalisasi.
Hal ini didasarkan pembacaan terhadap fenomena, yang pertama, adanya entitas Muslim diaspora, yang di antara mereka setidaknya pada tataran suasana berpikir (state of mind) mencerminkan Muhammadiyah, tentu banyak pula yang berafiliasi secara formal dan struktural kepada Muhammadiyah. Mereka lalu mendirikan perkumpulan sebagai cabang istimewa Muhammadiyah dan Aisyiyah di luar negeri.
Pada mulanya berdiri di Kairo, Mesir, tetapi belakangan menyebar ke beberapa negara sebagaimana terekam dalam buku Internasionalisasi Muhammadiyah: Sejarah dan Dinamika Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Luar Negeri 2002-2022 (2022). Berdirinya cabang-cabang istimewa itu, menurut Haedar Nashir pada bagian pengantar buku ini, merupakan salah satu model yang dikembangkan Muhammadiyah untuk merintis tonggak capaian (milestone) di bidang internasionalisasi.
Ditegaskan pula oleh Haedar, misi di balik milestone internasionalisasi tak hanya sebagai etalase aktivitas Muhammadiyah di tingkat global, tetapi juga untuk menghadirkan alternatif pemikiran dan praktik Islam moderat (wasathiyah) dan berkemajuan yang selaras dengan modernitas, tetapi tak bercampur dengan liberalisme, sekaligus tidak jumud dan kembali ke masa lampau.
Baca juga : Muhammadiyah untuk Kemajuan Indonesia
Rintisan milestone yang dikemukakan Haedar juga terlihat melalui pendirian pusat keunggulan (center of excellence), antara lain di bidang pendidikan seperti ditunjukkan oleh kehadiran lembaga pendidikan di dua negara. Pertama, Muhammadiyah Australia College (MAC) di Melbourne, Australia. Kedua, Universitas Muhammadiyah Malaysia (UMAM) yang membuka beberapa program studi pada jenjang magister dan doktor.
Imaji berkemajuan
Berdirinya lembaga pendidikan di luar negeri merupakan penanda kedua bahwa Muhammadiyah telah memasuki fase internasionalisasi.
Capaian Muhammadiyah di bidang pendidikan hingga ke luar negeri adalah perwujudan imaji generasi awal Muhammadiyah, yang ingin menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan inklusif dan mampu menyebar ke berbagai kawasan, bahkan hingga ke level global.
Imaji itu terlihat pada misi memajukan Islam atau Islam berkemajuan yang tertulis di dokumen resmi Muhammadiyah seperti pada Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Dokumen yang terumuskan di fase awal pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah itu terus diperkaya, termasuk pada muktamar ke-48 ini, di mana Muhammadiyah akan meluncurkan dokumen resmi dengan tajuk ”Risalah Islam Berkemajuan”. Bagi Muhammadiyah, Islam berkemajuan merupakan konstruksi Islam yang responsif, kontekstual, dan aktual dengan semangat zaman, atau ”mengikuti peredaran zaman” jika menggunakan ungkapan dalam matan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, tetapi tetap berpijak secara kokoh pada sumber otentik Islam, yaitu Al Quran dan sunah Nabi.
Konstruksi Muhammadiyah yang demikian biasa dilakukan oleh kalangan rekonstruksionis yang berbeda dengan kalangan restorasionis dan pragmatis.

Kalangan restorasionis, menurut Pervez Hoodbhoy dalam Islam and Science: Religions, Orthodoxy and the Battle for Rationality (1992), dan Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim Minds (2021), cenderung bereaksi secara berlebihan, beroposisi, dan menolak (rejection) terhadap gagasan modern karena dinilai sekuler dan dekaden.
Agar terhindar dari kondisi demikian, umat Islam harus kembali ke kehidupan masa lalu dan berpegang teguh pada kitab suci dengan pemahaman secara apa adanya (skriptual). Respons semacam ini bertanggung jawab terhadap munculnya gerakan keagamaan ekstrem yang akrab dengan penggunaan cara-cara kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Pada ujung berikutnya adalah respons dari kalangan pragmatis. Masih menurut Hoodbhoy, kalangan pragmatis cenderung mengabaikan argumen-argumen keagamaan dalam mencari solusi atas permasalahan politik, ekonomi, sains, dan persoalan publik lainnya. Kalangan ini berpandangan Islam sebagai agama tak memiliki kaitan langsung dengan berbagai aspek kehidupan sosial.
Muhammadiyah berpandangan, Islam merupakan agama yang memiliki karakter universal dan kosmopolitan.
Kosmopolitanisme
Berbeda dengan dua respons di atas, Muhammadiyah memilih respons secara rekonstruksionis. Muhammadiyah berpandangan, Islam merupakan agama yang memiliki karakter universal dan kosmopolitan. Dikatakan universal karena ajaran Islam melingkupi berbagai aspek, mulai dari akidah, ibadah, muamalah, hingga akhlak, yang dengan keluasan ini, Islam sejatinya dapat dijadikan sebagai basis dan rujukan dalam mengelola berbagai aspek kehidupan.
Pandangan Muhammadiyah terhadap universalisme Islam terlihat secara nyata pada dokumen resmi Muhammadiyah yang memuat kerangka ideologi Muhammadiyah. Antara lain, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Masalah Lima, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islam Warga Muhammadiyah.
Dalam dokumen itu terlihat bagaimana Islam dikontruksi oleh Muhammadiyah, alih-alih sekadar sebagai agama dalam arti sempit, yang hanya mengatur tata cara peribadatan dalam lingkup yang sempit (ibadah mahdhah), tetapi Islam sebagai agama publik (public religion)—jika meminjam konsep Jose Casanova—atau ”Islam hadhari” seperti sering dikemukakan Haedar Nashir, yang juga terkait pengaturan kehidupan bermasyarakat dan keduniawian.
Baca juga : Muhammadiyah Teguhkan Peran Kebangsaan
Kendati berpandangan demikian, Muhammadiyah sejak awal pendiriannya sama sekali tak pernah mengusung tema-tema yang mengarah pada formalisme Islam, tetapi lebih pada upaya mewujudkan keadaban publik yang merupakan pantulan apa yang disebut Muhammadiyah dengan ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Dengan lebih menekankan pada hal yang substansial itu, maka ketika berhadapan dengan persoalan politik, misalnya, yang diperhatikan bukan pada wujud formalnya, melainkan bagaimana nilai-nilai universal dalam Islam jadi pertimbangan dalam membuat kebijakan dan menyelesaikan persoalan publik.
Salah satu nilai universal, misalnya, persamaan manusia. Bahwa manusia, kendati memiliki perbedaan secara biologis dan fisik, seperti jenis kelamin, memiliki akses yang sama misalnya terhadap pendidikan, bahkan hingga ke level yang paling tinggi. Negara harus menjamin ketercapaian akses tersebut. Hal inilah yang disebut dengan governansi yang sejalan dengan nilai-nilai universal Islam, kendati secara formal tidak disebut negara Islam.

”Role model”
Dengan cara pandang demikian, Muhammadiyah mampu berkembang menjadi salah satu eksemplar dan role model Islam kosmopolitan, yakni Islam yang kendati tetap memperlihatkan kecenderungan normatif dan memberi perhatian pada aspek keagamaan yang menuntut ketundukan secara vertikal dalam wujud pelaksanaan ibadah secara konsisten.
Sementara, di sisi lain, mampu mengedepankan kebebasan berpikir dan terbuka terhadap unsur-unsur dari luar, sehingga Islam tampil dengan wajah yang ramah dalam menghadapi segala bentuk keberagaman.
Muhammadiyah telah ditempa oleh sejarah dengan beragam peristiwa yang mengancam dan sekaligus peluang bagi Muhammadiyah. Dalam sejarah yang panjang itu, Muhammadiyah telah teruji sebagai bagian dari Islam Indonesia yang moderat, inklusif, dan kosmopolit.
Bermodal pengalaman yang panjang itu, tidaklah berlebihan jika Muhammadiyah ingin memperluas area perwujudan Islam yang berkarakter demikian dengan merintis internasionalisasi sehingga Muhammadiyah jadi bagian dari warga dunia, citizen of the world.
Seperti ditegaskan oleh kalangan intelektual Muhammadiyah dalam Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan (2016), ”Warga Muhammadiyah memang hidup berkembang di Indonesia, tetapi secara peradaban, Muhammadiyah tidak menutup diri dari pengaruh dunia. Muhammadiyah memilih berdialog, berpikir keluar dari lingkup Indonesia untuk mempromosikan Islam Indonesia itu ke dunia luar.” Semoga!
Syamsul Arifin Guru Besar dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang

Syamsul Arifin