Meski ekspor Indonesia terus tumbuh dan neraca dagang surplus 30 bulan berturut-turut, dampak perlambatan ekonomi dunia harus mulai lebih serius diantisipasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dampak memburuknya perekonomian global pada Indonesia itu tak hanya terlihat dari melambatnya pertumbuhan ekspor serta turunnya impor bahan baku dan barang modal sebagai komponen produksi industri, tetapi juga mulai terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tertentu.
PHK antara lain terjadi di industri garmen dan alas kaki akibat dari menurunnya permintaan global serta perlambatan ekonomi negara maju. PHK juga terjadi di sejumlah perusahaan rintisan sebagai bagian dari fenomena global.
Dengan pertumbuhan ekonomi salah satu tertinggi di dunia saat ini, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut Indonesia titik terang di tengah suramnya prospek ekonomi global. Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2022 tumbuh 5,72 persen (yoy), menyusul pertumbuhan 5,01 dan 5,44 persen pada triwulan I dan II.
Peningkatan pertumbuhan ini menunjukkan Indonesia sebenarnya jauh dari resesi. Namun, cepat atau lambat, kita tak bisa menghindar dari dampak resesi global yang dipastikan terjadi pada 2023. Dari sisi perdagangan, neraca perdagangan memang masih surplus 5,67 miliar dollar AS pada Oktober 2022 dan 45,52 miliar dollar AS pada Januari-Oktober 2022.
Terhadap G20 yang menyumbang 80 persen perdagangan global, Indonesia juga masih surplus, dengan surplus membesar dari 16,4 miliar dollar AS (2021) menjadi 27,6 miliar dollar AS (Januari-Oktober 2022), meskipun mencatat defisit terhadap sepuluh negara di antaranya. Meski demikian, pertumbuhannya—terutama ekspor nonmigas—terus melambat dua bulan terakhir, sejalan dengan turunnya permintaan dan juga turunnya harga komoditas.
Kita mengantisipasi situasi ini masih akan berlanjut, dengan resesi global diprediksi terjadi pada 2023. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memprediksi akan anjlok tajamnya pertumbuhan perdagangan global pada 2023. Menyusul pertumbuhan yang diprediksi sebesar 3,5 persen di 2022, perdagangan global di 2023 diprediksi hanya tumbuh 1 persen. Jauh di bawah proyeksi semula 3,4 persen.
Faktor geopolitik, terutama perang Rusia-Ukraina, dan inflasi global, menyebabkan perdagangan barang dan jasa yang pada 2021 sudah pulih ke level prapandemi kembali terancam.
Kita mengapresiasi berbagai langkah yang ditempuh pemerintah untuk menekan dampak ekonomi global pada industri dalam negeri. Termasuk, dengan menggenjot permintaan domestik dan mengampanyekan pemakaian produk lokal.
Bank Dunia dan IMF memprediksi sedikitnya 31 negara mengalami resesi pada tahun 2023. Beberapa di antaranya mitra dagang utama Indonesia.
Krisis juga memaksa sejumlah negara harus meminta dana talangan ke IMF. Kita semua harus bersiap menghadapi kondisi sulit pada 2023. Di sini relevansi Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali.
Melalui kerja sama dan koordinasi kebijakan yang lebih baik secara global, resesi diharapkan tidak berlangsung lama, dan ekonomi global bisa pulih lebih cepat dan lebih kuat di 2023.