Kasus Gagal Ginjal Akut dan Reformasi Praktik Regulasi
Malapetaka di Kanjuruhan dan gagal ginjal akut merupakan kombinasi antara eksistensi golongan yang pura-pura mematuhi regulasi dan ketidakmampuan regulator untuk mendeteksi pelanggaran.
Air mata duka terus saja mengalir di bumi Nusantara. Kita belum selesai meratapi tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 jiwa (Kompas, 24/10/2022). Kini, kita dihadapkan kepada kegamangan dan ketidaktahuan yang mematikan terkait anak-anak yang meninggal karena gagal ginjal akut. Ikhtiar orangtua untuk mendapatkan kesehatan bagi anak-anaknya berujung pada kematian. Peristiwa ini sungguh tragis dan menyayat hati!
Secara kasatmata, dua tragedi di atas terjadi dalam situasi yang berbeda. Tragedi Kanjuruhan terjadi dalam keramaian yang tidak terkendali sehingga memicu malapetaka, sedangkan kasus gagal ginjal akut terjadi dalam situasi senyap yang berlangsung begitu cepat. Meski demikian, kacamata regulatory studies menemukan titik persamaan dua tragedi di atas.
Keduanya menunjukkan bahwa praktik regulasi (regulatory practice) di industri sepak bola dan farmasi sedang tidak baik-baik saja. Regulatordinilai absen dalam menjalankan tugasnya (Tempo, 9 dan 30 Oktober 2022). Regulator yang memiliki otoritas legal untuk mengatur, menunda, membatalkan, mengawasi, dan bahkan membunuh (atas dasar pertimbangan keselamatan individu dan publik) tidak mampu mencegah kematian massal. Maka, tidaklah mengherankan apabila publik meminta penjelasan dan pertanggungjawaban regulatorterhadap berbagai kematian massal yang terjadi dan bagaimana langkah untuk memastikan malapetaka itu tidak terulang lagi.
Baca Juga: Korban Tewas Bertambah, Kabut Tragedi Kanjuruhan Masih Pekat
Baca Juga: 157 Anak Meninggal karena Gangguan Ginjal Akut
Fokus kepada praktik regulasi
Sparrow (2000) dalam bukunya yang berjudul The Regulatory Craft; controlling risk, solving the problems and managing compliance menjelaskan dua kategori reformasi regulasi. Pertama, reformasi administratif yang mencakup scope, nature, dan locus regulasi. Area (scope) terkait dengan apa saja yang menjadi substansi regulasi dan siapa yang akan menjadi regulatornya.
Aspek sifat (nature) regulasi mencakup pendekatan atau strategi yang digunakan, misalnya command and control, keterbukaan publik dan insentif, serta negosiasi. Adapun aspek locus terkait dengan tata kelola regulasi, yakni sentralisasi atau desentralisasi.
Kedua, reformasi praktik regulasi yang mencakup perilaku regulasi (behaviour). Reformasi ini fokus tentang bagaimana regulator menerjemahkan desain regulasi dalam program, strategi, pengembangan infrastruktur, adopsi teknologi untuk memenuhi tujuan regulasi.
Banyak kasus menunjukkan bahwa pembiaran atau ketidaktahuan pelanggaran oleh regulator memicu malapetaka yang mematikan, seperti kasus Kanjuruhan dan gagal ginjal akut.
Menurut Sparrow (2000), apa pun reformasi administratif yang mencakup scope, nature, dan locus tidak akan menciptakan perubahan bermakna tanpa penguatan secara signifikan pada aspek perilaku regulasi (behaviour). Regulasi itu tidak bisa berpikir, manusialah yang berpikir untuk menginterpretasikan regulasi, begitu ungkapan Philip Howard.
Sebaik apa pun desain regulasi tidak secara otomatis menghasilkan kebaikan bagi publik. Melalui kewenangan diskresinya, regulatordapat menjadi jembatan yang efektif untuk mewujudkan kebaikan desain regulasi di mata publik, atau malah sebaliknya. Banyak kasus menunjukkan bahwa pembiaran atau ketidaktahuan pelanggaran oleh regulator memicu malapetaka yang mematikan, seperti kasus Kanjuruhan dan gagal ginjal akut.
Deteksi pelanggaran dan sanksi
Regulasi ”macan ompong”, begitu ungkapan publik menunjuk regulasi yang tidak mampu mengatur perilaku publik. Situasi ini terjadi bukan karena desain regulasi (administrative regulation) yang tidak baik, melainkan karena kemampuan praktik regulasi yang tidak ideal, khususnya pada deteksi pelanggaran dan sanksi. Kemampuan mendeteksi pelanggaran (likelihood of detection) merupakan salah satu peran penting regulator untuk menegakkan regulasi. Regulasi tidak akan efektif mencapai tujuannya tanpa kemampuan regulator untuk mendeteksi pelanggaran.
Secara teoretis, ada tiga respons terhadap regulasi, yakni mematuhi regulasi, melawan regulasi (melalui Mahkamah Konstitusi), dan pura-pura mematuhi regulasi (decoupling). Respons pertama dan kedua mudah diidentifikasi oleh regulator.
Baca Juga: Kasus Terjadi karena Kegagalan Pengawasan
Baca Juga: Tragedi Kanjuruhan dan Sanksi Ompong PSSI
Namun, tidak untuk golongan yang pura-pura mematuhi regulasi karena mereka menunjukkan kepatuhan ketika berhadapan dengan regulator, misalnya pada saat pengajuan izin (pre-market) atau inspeksi (post-market), tetapi mengindahkan regulasi ketika regulator kembali ke kantornya. Ruang gerak kelompok decoupling semakin luas ketika regulator memiliki keterbatasan kemampuan pengawasan karena minimnya daya dukung finansial, sumber daya manusia, dan infrastruktur.
Malapetaka di Kanjuruhan dan gagal ginjal akut merupakan kombinasi antara eksistensi golongan decoupling di industri sepak bola dan farmasi, serta ketidakmampuan regulator untuk mendeteksi setiap pelanggaran. Sistem regulasi yang melibatkan berbagai regulator, misalnya PSSI, BPOM, dan Polri, tidak mampu mendeteksi pelanggaran sebelum terjadinya malapetaka.
Sistem deteksi pelanggaran baru mulai bekerja setelah malapetaka menjadi sorotan publik. Dalam kasus Kanjuruhan, Polri melihat adanya indikasi pelanggaran dan atau kelalaian yang kemudian menjadi dasar untuk penetapan tersangka, baik dari pengelola acara pertandingan maupun kepolisian.
Hal serupa juga terjadi pada kasus gagal ginjal akut. Kementerian Kesehatan dan BPOM bergerak untuk menginvestigasi pelanggaran setelah sirop obat memicu ratusan kasus gagal ginjal akut dan merenggut nyawa 194 anak (Kompas, 5/11/2022). Hasil investigasi BPOM menunjukkan bahwa ada lima sirop obat yang mengandung cemaran etilena glikol (EG) dan dietlina gligol (DEG). Lebih dari itu, BPOM juga sedang memidanakan beberapa perusahaan farmasi yang terbukti menggunakan zat pelarut kimia melebihi ambang batas.
Kemampuan mendeteksi pelanggaran ( likelihood of detection) merupakan salah satu peran penting regulator untuk menegakkan regulasi.
Eksistensi golongan decoupling juga dipengaruhi oleh lemahnya sanksi terhadap pelanggaran. Mereka menggunakan kalkulasi rasionalitas ekonomi untuk tetap melakukan pelanggaran. Semakin rendah nilai hukuman, semakin besar keuntungan ekonomi pelanggaran. Asumsinya bahwa nilai keuntungan ekonomi pelanggaran yang dilakukan lebih besar daripada hukuman yang dijatuhkan oleh regulator. Asumsi inilah yang mendorong tumbuhnya golongan decoupling dalam sistem regulasi di Indonesia.
Malapetaka di Kanjuruhan juga tidak bisa dilepaskan dari lemahnya sanksi pelanggaran dalam industri sepak bola Indonesia. Misalnya, hukuman kasus pengaturan skor (match fixing) tidak memunculkan efek jera bagi para pelakunya. Sanksi yang dijatuhkan kepada pengurus PSSI, manajer, hingga pemain tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi para pelaku dan ketidakpercayaan publik terhadap hasil pertandingan. Implikasinya, kekecewaan suporter yang tidak terkendali seperti di Kanjuruhan dan respons regulator yang tidak tepat memicu malapetaka terburuk dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Pengawasan berbasis teknologi
Desain regulasi tradisional menempatkan biaya pengawasan dan kepatuhan pada dua kutub yang berlawanan. Biaya pengawasan tinggi akan mengurangi tingkat pelanggaran, begitu juga sebaliknya. Keterbatasan anggaran pengawasan sering kali digunakan regulatoruntuk membela diri ketika publik mengungkap berbagai pelanggaran yang tidak terdeteksi oleh regulator. Pembelaan diri ini tidak lagi relevan karena perkembangan teknologi memungkinkan adanya sistem pengawasan yang andal dengan biaya terjangkau.
Regulatory technology (regtech) adalah penggunaan teknologi untuk mencapai tujuan regulasi secara efisien dan efektif (Wang, 2019). Regtech dapat menjadi solusi empat problem dasar yang dihadapi regulator di industri sepak bola, farmasi, dan sektor-sektor lainnya. Pertama, regtech membantu regulator untuk melakukan pemonitoran dalam konteks regulasi yang kompleks. Regtech memfasilitasi adanya satu platform yang memudahkan komunikasi dan koordinasi berbagai jenis regulator dari instansi yang berbeda-beda.
Baca Juga: Waktunya Buka-bukaan Data Obat
Kedua, regtech memungkinkan regulator untuk meningkatkan cakupan pendekatan regulasi berbasis risiko (risk-based). Deteksi pemantauan risiko tidak hanya berhenti pada sektor (misalnya farmasi), melainkan sampai pada aktivitas yang berisiko tinggi. Ketiga, teknologi merupakan solusi atas keterbatasan sumber daya manusia untuk melakukan pengawasan secara fisik. Keempat, regtech memberikan gambaran kondisi terkini tentang status kepatuhan setiap regulatory target. Dengan demikian, regulator dapat menemukan setiap pelanggaran sebelum terakumulasi menjadi sumber malapetaka yang mematikan.
Perkembangan teknologi memfasilitasi kreativitas tanpa batas untuk reformasi praktik regulasi. Law and technology produce, together, a kind of regulation of creativity we’ve not seen before, begitu ungkapan Profesor Lawrence Lessig dari Universitas Harvard.
Bahruddin, Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM