Eksistensi kawasan sekretif di sejumlah negara anggota G20 jelas merupakan duri penghalang yang akan mengganggu efektivitas gerakan antikorupsi lintas negara. Kawasan sekretif harus segera dimatikan. Bagaimana caranya ?
Oleh
DEDI HARYADI
·6 menit baca
Sekurangnya ada 11 negara anggota G20 yang digolongkan sebagai kawasan sekretif. Di kawasan ini, orang atau lembaga bisa menikmati layanan surga pajak (tax haven), menyembunyikan aset, menyamarkan identitas, mencuci uang (money laundering), mengubah status aset dari ilegal menjadi legal, membuat perusahaan cangkang. Termasuk, kalau perlu, memberikan suaka ”politik” dan lain-lain.
Kategori kawasan sekretif ini ditunjukkan oleh tingginya skor mereka dalam Indeks Kerahasiaan Keuangan/Financial Secrecy Index (FSI), yang disusun organisasi advokasi Jaringan Keadilan Pajak (Tax Justice Network/ TJN). Kesebelas negara tersebut adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, China, Belanda, Inggris, Korea Selatan, Italia, Arab Saudi, Kanada, dan Perancis.
Apa implikasi dari banyaknya negara anggota G20 menguasai/menjadi kawasan sekretif (secrecy jurisdiction) bagi gerakan antikorupsi lintas negara?
Status mereka sebagai negara sekretif itu bukan kebetulan atau alamiah. Kerangka hukum dan keuangannya sengaja dirancang demikian untuk bisa menarik dana-dana ilegal global tersebut. Mengelola kawasan demikian sudah jadi bisnis/industri kerahasiaan.
Seperti terungkap dari Dokumen Luxembourg Leaks, Dokumen Panama, Dokumen Pandora, dan Dokumen Paradise, perusahaan/individu terkemuka, termasuk para pejabat publik/negara di Tanah Air pun pernah menggunakan jasa keuangan sekretif yang ditawarkan berbagai kawasan sekretif.
Berbeda dengan negara lain, di sini otoritas penegak hukum dan otoritas keuangan (pajak) cukup lembek sehingga tak satu pun pejabat negara/publik yang namanya tercantum dalam dokumen tersebut ditelusuri, apalagi—kalau terbukti bersalah—dipidanakan.
Tax Justice Network meliris hasil survei terbaru FSI pada Mei lalu. FSI membantu mengindentifikasi dan memetakan kerangka hukum dan keuangan, untuk melihat apakah suatu negara/kawasan itu merupakan penyedia layanan bisnis/industri kerahasiaan atau bukan.
Indeks ini tersusun dari 20 indikator yang dibagi ke dalam empat dimensi: 1) daftar kepemilikan (lima indikator); 2) transparansi entitas/badan hukum (lima indikator); 3) integritas regulasi keuangan dan perpajakan (enam indikator); 4) standar dan kerja sama internasional (empat indikator).
Peringkat suatu negara ditentukan oleh seberapa besar negara itu menyediakan layanan kerahasiaan keuangan. Dari skor 0 sampai 100, skor nol menggambarkan tak ada kerahasiaan dan skor 100 sekretif penuh.
Bobot skala global FSI (0-100 persen) menggambarkan seberapa besar kawasan sekretif itu menyediakan layanan keuangan kepada penduduk/warga non-residen. Adapun pangsa FSI (0-100 persen) menggambarkan magnitudo layanan kawasan sekretif terhadap kerahasiaan keuangan seluruh dunia.
Ada beberapa informasi menarik dan penting yang disampaikan TJN dalam rilis ini.
Pertama, peringkat negara/kawasan yang masuk dalam kategori top 15 kawasan sekretif dari 141 kawasan yang disurvei adalah sebagai berikut: 1) AS dengan nilai FSI 1,951; 2) Swiss (1,167); 3) Singapura (1,167); 4) Hong Kong (927); 5) Luksemburg (804); 6) Jepang (761); 7) Jerman (681); 8) Uni Emirat Arab (648); 9) British Virgin Island (621); 10) Guernsey (610); 11) China (578); 12) Belanda (556); 13) Inggris (547); 14) Cayman Islands (516); dan 15) Siprus (510).
Indonesia yang tahun ini menjadi presiden G20 juga terdeteksi berada di peringkat ke-66 dengan nilai FSI 170, skor sekresi 56, bobot skala global 0,09 persen, dan pangsa FSI 0,5 persen. Masih kecil. Bandingkan, misalnya, dengan AS yang berada di peringkat pertama dengan skor sekresi 67, bobot skala global 25,78 persen, dan pangsa FSI 5,74 persen.
Kanada dan Perancis juga termasuk kawasan sekretif, yakni peringkat ke-28 dan ke-30.
Kerangka hukum dan keuangannya sengaja dirancang demikian untuk bisa menarik dana-dana ilegal global tersebut.
Kedua, perubahan konstelasi kawasan sekretif. Dalam dua tahun terakhir (2020-2022), konstelasi kekuatan kawasan sekretif berubah cukup drastis.
Ada yang meningkat, ada juga yang turun peringkatnya. AS dua tahun lalu di peringkat ke-2, kini di peringkat pertama. AS makin sekretif atau makin tidak transparan. AS menggeser Cayman Island yang tadinya di peringkat pertama menjadi ke-14. Jerman yang sebelumnya di posisi ke-13 bergerak ke posisi ke-7.
Inggris, meskipun di posisi ke-13, kalau digabungkan dengan semua kawasan sekretif yang jadi satelitnya (Cayman Island, Guernsey, Jersey, British Virgin Island, dan lain-lain), pangsa FSI-nya paling tinggi.
Peringkat Singapura—yang bukan anggota G20—naik dari kelima menjadi ketiga. Singapura makin sekretif dengan perubahan indeks dari 65 ke 67. Volume layanan finansial Singapura kepada penduduk non-residen meningkat 9 persen.
Masih banyak sebenarnya informasi lain yang menarik yang bisa digali dari publikasi laporan hasil tersebut.
Ketiga, kendati masih kuat, dalam empat tahun terakhir ini (2018-2022) magnitudo layanan bisnis/industri kerahasiaan sebenarnya sudah menunjukkan tren menurun.
TJN mencatat, dalam dua tahun terakhir penyediaan (supply) layanan kerahasiaan keuangan menurun sekitar 2 persen. Dua tahun sebelumnya (2018-2020) juga turun 7 persen.
Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya kerja sama internasional pertukaran informasi (baik secara otomatis maupun berdasarkan permintaan), penerapan undang-undang antipencucian uang oleh sejumlah negara—baik digagas sendiri maupun dalam skema kerja sama ekonomi kawasan—menguatnya gerakan transparansi BO (beneficial ownership), kerja sama hukum antara negara dan kawasan sekretif, dan lain-lain.
Indonesia ada dan ikut dalam arus gerakan itu. Kita sudah punya/menerapkan di antaranya empat aturan berikut. Pertama, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Kedua, Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (Automatic Exchange of Information). Keempat, kerja sama hukum (mutul legal assistance) dengan kawasan sekretif Swiss dan lain-lain.
Selain itu, rangkaian studi dan publikasi Dokumen Luxembourg Leaks, Dokumen Panama, Dokumen Pandora, dan Dokumen Paradise yang dilakukan International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) bekerja sama dengan para whistle blower dan peretas, telah mendorong peningkatan kesadaran dan pemahaman publik akan bahaya kawasan sekretif.
Di beberapa negara publikasi dokumen tersebut juga sukses mendorong proses pemidanaan terhadap mereka yang namanya disebut dalam dokumen itu.
Oleh karena itu, kawasan sekretif harus segera dimatikan atau sekurangnya dikerdilkan.
Mematikan kawasan sekretif
Eksistensi kawasan sekretif di sejumlah negara anggota G20 jelas merupakan duri penghalang yang akan mengganggu efektivitas gerakan antikorupsi lintas negara, tidak hanya di lingkungan internal G20, tetapi juga global. Oleh karena itu, kawasan sekretif harus segera dimatikan atau sekurangnya dikerdilkan. Bagaimana caranya?
Resep mematikan/mengerdilkan kawasan sekretif bisa diekstrak dari konstruksi FSI sendiri dan juga dari pengalaman ”mengerdilnya” Cayman Islands, Panama, dan lain-lain.
Dari situ, setidaknya ada lima hal penting yang perlu dilakukan, yakni memperkuat transparansi daftar kepemilikan aset secara nasional dan global, memperkuat transparansi entitas/badan hukum, meningkatkan integritas regulasi keuangan dan perpajakan, memperluas penerapan standar dan kerja sama internasional, serta meningkatkan efektivitas dan sustainabilitas kontrol ormas sipil baik pada level nasional maupun global.
Komponen resep terakhir berarti TJN, ICIJ, C20 (forum organisasi masyarakat sipil dalam bingkai G20), dan Anti-Corruption Working Group (ACWG) G20, perlu etos dan kerja bareng untuk mendorong matinya kawasan sekretif.