Dekarbonisasi Industri Nasional, Harga Mati
Dekarbonisasi industri memang suatu keniscayaan. Pascapandemi, kesadaran untuk berbisnis secara berkelanjutan semakin menguat. Mengapa solusi berbasis teknologi jadi solusi utama yang harus diambil oleh sektor industri ?

ilustrasi
Dalam beberapa pekan terakhir ini, ”dekarbonisasi industri” seperti menjadi trending topic. Sejumlah perusahaan di dalam negeri berjanji untuk melakukan dekarbonisasi industri.
Dekarbonisasi industri memang suatu keniscayaan. Presidensi G20 pekan ini seharusnya jadi momentum untuk mempercepat dekarbonisasi industri, sebagai bagian dari agenda transisi energi G20, untuk membangun resiliensi ekonomi nasional.
Bukan tanpa alasan transisi energi berkelanjutan dipilih menjadi satu dari tiga isu prioritas G20. Transisi energi dipercayai sebagai satu resep pemulihan bersama G20 menjadi lebih kuat, recover together, recover stronger, setelah diterpa pandemi Covid-19 yang mengguncang stabilitas perekonomian dan sosial dunia.
Pascapandemi, kesadaran untuk berbisnis secara berkelanjutan semakin menguat. Industri dituntut untuk mencapai netralitas karbon atau net zero. Kesadaran ini muncul bukan saja dari konsumen yang menuntut produk-produk ramah lingkungan, melainkan juga dari pelaku industri yang sudah mengalami kondisi terburuknya saat pandemi.
Ini semua memberikan pengalaman berharga bahwa keberlangsungan hidup di muka Bumi, termasuk bisnis, bergantung pada kondisi Bumi. No business without a healthy Mother Earth.
Baca juga : Dorong Kepercayaan Dunia, Indonesia Wujudkan Komitmen Energi
Banyak jalan menuju Roma
Di tengah gencarnya ambisi negara-negara menurunkan emisi karbon dan menuju status net zero, beragam solusi ditawarkan. Secara umum, ada dua opsi tersedia untuk mencapai status net zero: solusi berbasis alam (nature-based solution) dan solusi berbasis teknologi (technology-based solution).
Saya ingin menjelaskan mengapa opsi solusi berbasis teknologi merupakan solusi utama yang harus diambil oleh sektor industri, sebelum mengambil opsi lainnya. Sektor industri secara global merupakan penghasil emisi karbon terbesar, termasuk di Indonesia.
Sektor manufaktur dan konstruksi dalam negeri pada 2019 menghasilkan emisi sebesar 137.040 Gg CO2e, meningkat 29,5 persen dari tahun sebelumnya. Ini sejalan dengan kenaikan konsumsi bahan bakar industri, yaitu 30 persen per tahun (ESDM, 2020). Selain itu, sektor industri dengan konsumsi energi fosil hampir 80 persen dari total konsumsi dalam negeri, merupakan kelompok konsumen bahan bakar fosil terbesar di Indonesia (ESDM, 2021).

Supriyanto
Angka-angka ini menunjukkan keterkaitan erat antara industri dan emisi karbon. Maka, sangat jelas bahwa untuk menurunkan emisi karbon, perusahaan harus menurunkan produksi karbon, atau dekarbonisasi fasilitas produksi, bukan mengalihkan (offset) emisi karbon ke tempat lain.
Dekarbonisasi dilakukan dengan menggunakan teknologi rendah emisi karbon di fasilitas produksi milik perusahaan sendiri, bukan mengalihkan atau offsetting ke tempat-tempat lain yang memiliki emisi karbon rendah.
Penurunan emisi karbon perusahaan harus dilakukan secara organik, bukan anorganik. Tanpa mengurangi emisi karbon di fasilitas produksi, penurunan emisi karbon tidak akan pernah terjadi. Janji negara untuk menurunkan emisi karbon, seperti yang tercatat dalam Nationally Determined Contribution (NDC) tidak akan pernah tercapai tanpa dekarbonisasi industri.
Baca juga : Kadin: Dekarbonisasi Industri Tak Bisa Lagi Ditawar-tawar
Tuntutan bisnis rendah emisi
Dekarbonisasi industri bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Lembaga, institusi, ataupun perusahaan yang berniat mendekarbonisasi proses bisnis dan usahanya akan menemukan kendala masing-masing, baik dalam akses pendanaan, SDM, maupun regulasi yang tak mendukung. Namun, dekarbonisasi industri adalah sebuah keniscayaan bagi industri, termasuk industri dalam negeri Indonesia, karena perubahan lanskap bisnis dan investasi global.
Hal ini juga dibahas oleh Indonesia dan para mitra bisnis dan investasi yang hadir pada forum B20, serangkaian pertemuan sampingan yang diinisiasi Kadin, dan KTT G20, pekan ini.
G20 merepresentasikan 60 persen populasi dunia, 80 persen produk domestik bruto (PDB), dan 75 persen perdagangan global. Uni Eropa (UE) dan AS, dua mitra bisnis dan investasi yang penting untuk Indonesia, adalah sebagian dari anggota G20 yang memberlakukan syarat perdagangan dan investasi ramah lingkungan dengan sangat ketat.
UE tahun ini mengesahkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang memberlakukan tarif tambahan pada produk-produk yang mengandung emisi karbon tinggi. AS dengan Inflation Reduction Act of 2022 (IRA) memberikan insentif yang sangat menarik kepada para investor teknologi ramah lingkungan. Meskipun berbeda, kedua paket kebijakan tersebut memberikan pesan yang sama: tuntutan untuk melakukan dekarbonisasi industri.

Perusahaan-perusahaan multinasional pun tak tinggal diam dalam menyikapi kebijakan-kebijakan di tingkat negara tersebut. Kelompok-kelompok usaha besar telah bersepakat mendekarbonisasi bisnis mereka. Dua pakta yang memiliki keterkaitan langsung dengan Indonesia misalnya adalah Renewable Energy 100 (RE100) dan Fashion Industry Charter for Climate Action.
RE100 adalah kesepakatan global yang ditandatangani oleh 387 perusahaan multinasional yang juga beroperasi di Indonesia. Kewajiban yang mengikat anggota RE100 ini adalah menggunakan energi terbarukan secara bertahap, yaitu 60 persen di 2030, 90 persen di 2040, dan 100 persen di 2050. Komitmen ini harus dilakukan di semua negara tempat perusahaan-perusahaan itu beroperasi.
Fashion Industry Charter for Climate Action adalah kesepakatan yang telah ditandatangani oleh hampir semua perusahaan prinsipal (principal company) pemegang merek-merek besar dunia, seperti LVMH, H&M Group, Levi Strauss & Co, Gap Inc, Nike, Inditex Group, dan masih banyak lagi yang memiliki rantai pasok di Indonesia. Seperti juga RE100, pakta sektor tekstil dan pakaian ini juga mengikat kepada para pemasok.
Momen presidensi G20 pekan ini menjadi sangat strategis bagi Indonesia karena menjadi kesempatan Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia berada dalam jalur dekarbonisasi industri yang tepat.
Meski memiliki potensi sangat besar, pengembangan listrik EBT di Indonesia masih sangat tertinggal.
Iklim kondusif
Bagaimana Indonesia memosisikan diri sebagai negara tujuan investasi yang tepat tentu harus berdasar pada fakta di lapangan. Namun, apakah Indonesia dapat mengakomodasi permintaan investor global, terutama dalam hal ketersediaan listrik nonfosil (listrik EBT) sebagai syarat utama investasi hijau?
Meski memiliki potensi sangat besar, pengembangan listrik EBT di Indonesia masih sangat tertinggal. Mengutip data ASEAN Power Updates (2021), besaran listrik EBT Indonesia hanya 14,8 persen, jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga (sekaligus pesaing): Thailand (30,3 persen), Vietnam (55,8 persen), dan Kamboja (54,8 persen).
”Kenyamanan” yang ditawarkan energi fosil membuat EBT menjadi yang kedua dalam praktik ketenagalistrikan dan energi nasional. Meski jargon-jargon perubahan iklim sudah fasih dilantunkan para pengambil kebijakan, implementasinya jauh panggang dari api.
Struktur pasar ketenagalistrikan nasional menjadi kendala dalam pengembangan listrik EBT. Perusahaan tak memiliki ruang yang cukup untuk melakukan dekarbonisasi karena sulitnya akses untuk mendapatkan listrik EBT. Opsi Corporate Power Purchasing Agreement (PPA) di mana perusahaan/konsumen industri melakukan pembelian langsung listrik EBT ke perusahaan listrik swasta, atau opsi investasi langsung, di mana perusahaan membangun sendiri pembangkit listriknya, tak dimungkinkan dalam struktur pasar kelistrikan nasional yang kita miliki saat ini.
Meskipun pemerintah melalui PT PLN mulai melakukan alternatif pengadaan listrik EBT lewat floating solar PV yang dapat dibeli oleh swasta dan penawaran renewable energy certificate (REC), sektor industri nasional membutuhkan ruang yang jauh lebih besar lagi dalam pengadaan listrik EBT.

Selain menyelesaikan masalah penyediaan listrik EBT, pemerintah juga harus melakukan terobosan kebijakan yang akan mendorong dekarbonisasi industri oleh para pengusaha dalam negeri.
Memberikan privilese kepada produk-produk nasional yang diproduksi dengan teknologi rendah karbon dalam proyek-proyek pengadaan nasional dapat menjadi insentif ke pengusaha nasional. Langkah-langkah konkret seperti ini mengafirmasi komitmen Indonesia dalam mendukung transisi energi.
Bukan sekadar seremonial belaka
Dalam pidato pembukaan presidensi Indonesia di G20 pada Desember 2021, Presiden Joko Widodo menegaskan momentum harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Indonesia dengan menghasilkan terobosan-terobosan besar dari forum G20; agar presidensi Indonesia di G20 bukan sekadar seremonial belaka.
Panggung G20 harus bisa dimanfaatkan sebagai ajang untuk menarik investasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) dekarbonisasi industri dalam negeri. Dekarbonisasi industri adalah PR yang sangat besar bagi siapa pun. Tak ada satu negara, satu institusi, atau satu perusahaan pun yang tidak menghadapi tantangan dalam dekarbonisasi industri.
Dekarbonisasi industri adalah PR yang sangat besar bagi siapa pun.
Di panggung ini, Indonesia harus menunjukkan posisinya sebagai mitra tepercaya G20 dalam agenda transisi energi yang berkelanjutan. Kolaborasi inklusif semua pihak, mulai dari investor, perusahaan (dari skala mikro hingga korporasi), sampai lembaga keuangan dan lembaga pembangunan global dibutuhkan untuk menjalankan transisi energi melalui dekarbonisasi industri nasional. Namun, untuk dapat kepercayaan itu, Indonesia harus menunjukkan bukti, bukan hanya janji. Kebijakan yang dilaksanakan di lapangan harus sesuai dengan yang dijanjikan di panggung internasional; walk the talk.
Keputusan investasi global saat ini lebih dari sekadar poin-poin dalam kemudahan berusaha (ease of doing business). Ketersediaan listrik ramah lingkungan dan kesiapan mitigasi perubahan iklim di negara tujuan investasi akan menjadi pertimbangan utama. Jika gagal memenuhi syarat ini, akan sulit bagi suatu negara untuk menarik investasi baru, bahkan untuk mempertahankan investasi yang sedang berjalan saat ini.
Diperlukan keikhlasan dan pengorbanan untuk meninggalkan zona nyaman dari semua pihak, baik perusahaan swasta nasional maupun asing, dan juga BUMN. Dekarbonisasi industri nasional adalah harga mati; industrial decarbonization at all cost. Ini semua demi membangun ketahanan perekonomian bangsa Indonesia di tengah kondisi zaman yang (kian) tak menentu ini.
M Arsjad RasjidPM Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia

M Arsjad Rasjid PM