Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana kembali menuai kritik. RKUHP dinilai bisa mengancam kebebasan pers.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kritik terhadap substansi RKUHP disampaikan Ketua Mahkamah Agung (2010-2013) dan Ketua Dewan Pers (2013-2016) Bagir Manan. Banyak hal dikritik publik terhadap sejumlah pasal dalam RKUHP. Selain intervensi negara dalam urusan privat, RKUHP berpotensi menjerat dan menghambat kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat.
Bagir menyebut beberapa pasal yang bisa menjerat pers antara lain pencemaran nama baik, penghinaan terhadap kepala negara dan kekuasaan umum, serta penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court).
Kita memahami setiap pemerintahan, khususnya menteri kehakiman, memiliki ambisi besar mengegolkan RKUHP. Sejak Orde Baru semua menteri kehakiman mempunyai target mengganti KUHP yang merupakan produk kolonial dengan KUHP nasional. Argumen nasionalistik dipakai untuk membenarkan bahwa KUHP peninggalan kolonial harus diganti.
Namun, masalah yang kita tangkap adalah DPR dan pemerintah terkesan kurang mendengarkan keberatan publik sehingga keberatan publik selalu mencuat ke permukaan. Konsultasi publik dirasakan sebagai program sosialisasi satu arah. Publik merasa aspirasinya tidak dipertimbangkan. Seperti juga halnya Dewan Pers. Saat bertemu dengan Menko Polhukam, Dewan Pers yang dipimpin Azyumardi Azra kala itu menyampaikan keberatan terhadap 22 pasal dalam sembilan kluster yang berpotensi memberangus kebebasan pers. Tidak jelas apakah catatan Dewan Pers sudah diakomodasi DPR.
Ada baiknya pemerintah dan DPR membuka draf terakhir RKUHP, menggelar perdebatan publik agar rakyat dan para pihak didengar pendapatnya dan mendapatkan argumentasi balik dari DPR dan pemerintah soal rumusan pasal itu. RKUHP seyogianya memperkuat kebebasan sipil, mengokohkan kebebasan berpendapat, dan melindungi hak asasi.
Dalam negara demokrasi, kritik kepada pemerintah dan kekuasaan umum adalah wajar. Kritik adalah energi bagi demokrasi. Dalam konstruksi demikian, rumusan Pasal 349 RKUHP per 9 November 2022 bisa menimbulkan persoalan. Pasal 349 (1) menyebutkan setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Dalam Ayat 2 disebut, jika terjadi kerusuhan dalam masyarakat dipidana penjara paling lama tiga tahun. Dalam bagian penjelasan Pasal 349 ditulis, ”Yang dimaksud dengan kekuasaan umum atau lembaga negara antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD, Polri, kejaksaan, atau pemerintah daerah”.
Jika melihat survei, DPR dan Polri adalah lembaga dengan tingkat kepercayaan publik rendah. Kritik kepada DPR dan Polri jadi sah karena kekecewaan publik pada kinerja. Masalahnya, bagaimana mencegah agar kritik terhadap kekuasaan umum tidak jadi hukuman penjara.