Manuver Diplomasi Indonesia di KTT G20
Sebagai satu-satunya negara ASEAN dalam forum G20, Indonesia selaku tuan rumah dan presidensi G20 telah melahirkan banyak pertemuan di luar isu tatanan ekonomi global. Mengapa "Paket Bali Jilid II" ini menarik dicermati?

Ilustrasi
Dua hari ke depan, Bali menjadi lokasi pertemuan puncak (KTT) G20 pertama yang diselenggarakan Indonesia, sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara (ASEAN) di forum G20, sebagai salah satu forum terbesar ekonomi di dunia.
Indonesia adalah jangkar ASEAN dengan kekuatan demokrasi dan ekonominya yang paling stabil dalam satu dekade terakhir, di antara negara-negara anggota G20.
Di tengah pandemi Covid-19, inflasi global, perubahan iklim, krisis energi dan pangan, serta tentunya konflik antara Rusia dan Ukraina, kita patut bersyukur Indonesia masih menjadi negara G20 dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh OECD di atas 4 persen di tahun 2022 dan 2023 bersama China, Arab Saudi, dan India.
Terakhir kali Bali menjadi saksi konferensi besar ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 3-7 Desember 2013. Dalam konferensi itu lahirlah Paket Bali (Bali Package) yang bertujuan melonggarkan batasan perdagangan global.
Paket Bali ini sekaligus unik karena menjadi kesepakatan pertama yang disetujui oleh semua anggota WTO yang notabene adalah organisasi dengan tingkat konflik dan kompleksitas tertinggi.
Pembahasan agenda-agenda di luar isu ekonomi banyak dilakukan, termasuk adanya pertemuan tingkat menteri yang selama ini belum pernah dilakukan.
Aksi konkret
Telah banyak debat dan kritik terhadap forum G20 yang sudah bergulir sejak krisis moneter 1998. Baik dari aspek legitimasi, efektivitas, maupun akuntabilitas G20.
Sebagai satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G20, Indonesia selaku tuan rumah dan presidensi G20 tahun 2022 telah melahirkan banyak pertemuan di luar isu tatanan ekonomi global.
Pembahasan agenda-agenda di luar isu ekonomi banyak dilakukan, termasuk adanya pertemuan tingkat menteri yang selama ini belum pernah dilakukan. Antara lain di bidang perencanaan dan pembangunan, pariwisata, pendidikan, kebudayaan, pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs), hingga pertemuan tingkat parlemen negara G20.
Untuk itu, menarik dicermati bagaimana deklarasi ”Paket Bali Jilid II” mampu dirumuskan dan memberikan aksi konkret, bukan lagi retorika semata, mengingat dunia sekarang sedang sekarat (dying) akibat multikrisis yang menghinggapi. Perlu dihasilkan kinerja lebih lanjut G20 di Bali, termasuk untuk memacu pemulihan ekonomi global pascapandemi yang lebih kuat, lebih baik, lebih adil, berkelanjutan.
Para pemimpin G20 harus bertindak berdasarkan penggerak fundamental yang selama ini belum jadi perhatian serius, yakni mengurangi kesenjangan tingkat kepatuhan komitmen di antara negara-negara G20.
Hal ini menjadi ujian terhadap kredibilitas dan efektivitas G20 serta solusi yang sangat dibutuhkan dunia.
Berdasarkan catatan G20 Research Group dan University of Toronto, tingkat kepatuhan G20 masih rendah dengan rata-rata keseluruhan sebesar 71 persen. Termasuk pada area tematik, seperti kesehatan sebesar 72 persen, digitalisasi sebesar 68 persen, dan energi berkelanjutan sebesar 70 persen.

Daftar masalah
Beberapa pokok kunci yang perlu dibawa Indonesia sebagai tuan rumah dan dalam merumuskan Paket Bali Jilid II adalah sesuai daftar inventarisasi masalah mendesak yang luar biasa besar di seluruh dunia, baik sektor sosial, ekonomi, ekologi, maupun keamanan.
Pertama, Rusia. Invasinya ke Ukraina telah meningkatkan masalah energi dan pangan global yang berimbas ke banyak aspek, hingga fiskal dan moneter. ”Kegagalan” PBB sebagai garda terdepan resolusi perdamaian harus diambil alih G20.
Kedua, konsentrasi dan totalitas pada masalah perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia seharusnya menjadi pionir dan ini sekaligus momentum untuk pembenahan internal, mulai dari manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti hutan, gambut, mangrove, energi, pertambangan, hingga masalah hidrometeorologi.
Sekitar 75 persen emisi karbon dunia berasal dari G20. Sepuluh emiten gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global terbesar adalah anggota G20, yakni AS, China, Brasil, Indonesia, Jerman, India, Inggris, Jepang, dan Kanada.
Negara-negara anggota G20, khususnya Argentina, Australia, Brasil, dan Indonesia, juga penyumbang mayoritas degradasi lingkungan seperti deforestasi.
Baca juga :KTT G20 Bali, Forum Panas untuk Mencari Solusi Krisis Dunia
Miris melihat negara non-G20 seperti Pakistan memberikan keringat yang lebih banyak dengan inisiatif ”Tsunami Miliaran Pohon”. Sejak 2018 sudah 30 juta pohon berhasil ditanam. Bahkan, dampak Covid-19 yang menciptakan pengangguran dimanfaatkan Pemerintah Pakistan dengan menampung 63.000 orang untuk menanam pohon.
Ketiga, kehati-hatian makro (macroprudential). Pertumbuhan ekonomi semakin tidak merata, dengan tingkat yang berbeda di sejumlah negara, tergantung pada tingkat vaksinasi, kemampuan untuk pulih, dan kesinambungan dukungan fiskal dan moneter.
Kehati-hatian ini menyangkut pula dalam langkah normalisasi kebijakan fiskal dan moneter, sambil mengurangi defisit fiskal pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya, utang publik dan swasta, neraca bank sentral utama, dan inflasi, yang lebih kuat lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya.
Demikian juga dengan perlunya penghapusan utang untuk negara-negara miskin dan rentan meskipun China menolak mengungkapkan dan mengurangi utang kliennya. Sejatinya banyak langkah bisa dilakukan, termasuk pengalihan utang ke ragam bentuk, termasuk ke pelestarian alam (debt for nature swap).
Langkah Indonesia sebagai negara terdepan untuk memanifestasikan agenda pembiayaan berkelanjutan Addis Ababa Action Agenda perlu diapresiasi dengan skema pembiayaan campuran (blended financing). Inovasi pembiayaan pembangunan yang mendorong kontribusi aktor di luar pemerintah, seperti sektor swasta dan filantropi, patut ditiru dan diarusutamakan oleh G20, khususnya dalam rangka menyukseskan agenda SDGs.

ilustrasi
Pertaruhan kepemimpinan
Yang terakhir adalah perlunya G20 menyusun peta jalan ekonomi dan pembangunan global jangka menengah (5 tahun) dan jangka panjang (20 tahun).
Peta jalan ini perlu didukung dengan analisis adaptasi dan mitigasi yang praktikal terhadap potensi ancaman, bahaya, tantangan, dan bencana ke depan yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik oleh faktor alam dan non-alam maupun faktor manusia.
Aksi ini dapat didukung oleh mitra G20, seperti dari wadah pemikir atau think tank (T20), pemuda (Y20), dan organisasi kemasyarakatan (C20).
Paket Bali ini akan menjadi momentum dan pertaruhan kepemimpinan Indonesia di tatanan global. Keberhasilannya akan menjadi warisan sejarah yang akan dikenang generasi ke depan dan di seluruh dunia, mengikuti jejak Dasasila Bandung sebagai produk dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955 yang berkontribusi nyata dalam mendukung kerukunan dan kerja sama dunia.
Bonataon Maruli Timothy Vincent SimandjorangPeneliti di Pusat Riset Kebijakan Publik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Bonataon Maruli Timothy Vincent Simandjorang