Pembangunan manusia adalah investasi negara yang paling strategis. Pembangunan manusia dimulai dari pemenuhan hak dasar atas pelayanan kesehatan. Jika rakyat sehat, negara pun kuat.
Oleh
JAGADDHITO PROBOKUSUMO
·6 menit baca
Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang diperingati setiap tanggal 12 November berawal dari peristiwa sederhana namun kaya akan makna. Tepatnya dimulai di Yogyakarta pada 12 November 1959 oleh Presiden Soekarno. Kala itu Presiden Soekarno dijadwalkan singgah di rumah seorang guru sekolah dasar bernama Darsono di Desa Kringinan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Agenda beliau untuk memberikan komando nasional pemberantasan penyakit malaria.
Didampingi Soegijosaputro selaku Kepala Dinas Pembasmian Malaria Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Presiden Soekarno menyemprotkan cairan Dichloro Diphenyl Trichloroethane (DDT) ke dinding ruang dalam rumah Darsono yang terbuat dari “gedek” (anyaman dari bilah bambu). Provinsi DIY dipilih sebagai lokasi pencanangan komando pemberantasan malaria karena Yogyakarta saat itu merupakan wilayah yang memiliki penduduk positif malaria tertinggi di Indonesia. Penyakit malaria banyak menimbulkan kesengsaraan dan kematian sehingga apabila tidak diberantas secara nasional “akan dapat mengurangi kekuatan bangsa,” pungkas Presiden Soekarno.
Tahun ini Kementerian Kesehatan mengambil tema “Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku” untuk HKN. Apa sesungguhnya sehat itu? Sehat menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah keadaan sempurna secara fisik, mental, serta sosial, jadi tidak hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan. Augusten Burroughs dari Amerika berpesan bahwa “When you have your health, you have everything. When you do not have your health, nothing else matters at all.”
Kita sudah melihat dampak dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Lebih dari 159.000 nyawa terenggut, dan lebih dari 6,5 juta orang pernah terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia. Pandemi ini menyebabkan kehancuran ekonomi yang dampaknya akan membawa resesi yang mungkin tidak ada tandingannya di masa lalu. Lalu bagaimana dengan kualitas manusia Indonesia saat ini?
Paradigma pembangunan manusia di setiap negara bisa kita lihat secara obyektif melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) maupun Indeks Modal Manusia/Human Capital Index (HCI). IPM Indonesia sesuai data dari UNDP (United Nations Development Programme) tahun 2021 berada di urutan 114 dari 191 negara.
Sehat menurut definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah keadaan sempurna secara fisik, mental, serta sosial, jadi tidak hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan.
Di antara negara ASEAN kita masih jauh tertinggal di bawah Singapura (12), Malaysia (62), Thailand (66), padahal Indonesia sudah merdeka selama 77 tahun, jauh lebih awal dibandingkan Singapura (57 tahun) dan Malaysia (65 tahun). Lebih memprihatinkan lagi IPM kita juga tertinggal dari negara di daerah gurun sahara seperti Libya, Mesir, dan Tunisia.
Indeks daya saing dunia lainnya, yaitu Indeks Modal Manusia (HCI) yang dikeluarkan World Bank menunjukkan Indonesia menempati posisi 96 dari 174 negara dengan nilai 0,54. Kita tertinggal dari negara tetangga seperti Singapura (0,88), Vietnam (0,67), dan Malaysia (0,60). Nilai-nilai di atas menunjukkan bahwa negara tetangga kita di ASEAN telah melakukan investasi manusia dengan benar. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kita telah mengisi waktu kita dengan benar?
Perubahan paradigma
Pembangunan manusia adalah investasi negara yang paling strategis. Memilih investasi yang tepat adalah kunci keberhasilan negara dalam membangun masa depan. Kesalahan negara dalam melakukan investasi manusia, membawa kerugian besar di masa depan dan bersifat ireversibel.
Pembangunan manusia dimulai dari pemenuhan hak dasar atas pelayanan kesehatan. Hak rakyat untuk mendapat pelayanan kesehatan adalah bagian dari hak rakyat atas hidup layak dan ini merupakan tanggung jawab pemerintah.
Negara jangan menganggap kesehatan sebagai suatu beban, justru negara harus berinvestasi di bidang kesehatan. Jangan mengatakan biaya kesehatan mahal atau BPJS defisit. Jika kita kurangi biaya untuk kesehatan maka mutu pelayanan juga akan berkurang dan kita tidak bisa berbuat banyak dengan keterbatasan fasilitas. Jika kita menganggap kesehatan adalah investasi dan masyarakatnya sehat, industri akan tumbuh, pendapatan akan baik, maka pajak akan tumbuh.
Ada adigum yang menyatakan price is quality, quality is price. Sebagai contoh data BPJS Kesehatan pada 2021 menunjukkan penyakit jantung menduduki peringkat pertama sebagai penyakit yang membebani anggaran JKN (Rp 8,7 triliun untuk 12,8 juta kasus). Namun jika kita hitung lebih rinci, maka per kasus penyakit jantung di Indonesia “hanya” dihargai Rp 679.000 (15 dollar AS). Bandingkan dengan India (Kumar et al., 2021) untuk menangani penyakit jantung menghabiskan dana 3.842 dollar AS per orang atau anggaran Indonesia 0,004 kalinya dari India.
Pada pelayanan medik, kualitas adalah hal yang tidak boleh ditawar. Rumusnya jelas, kualitas pelayanan medik harus dipastikan terlebih dahulu, baru biaya ditentukan. Biaya layanan harus dipenuhi karena ini soal keselamatan. Bukan sebaliknya, biaya dipatok dulu baru kualitas ditentukan sesuai dengan limit anggaran yang ada. Seperti yang sudah disampaikan Presiden Jokowi bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Kembali ke puskesmas
Berbicara masalah pengendalian dan penanggulangan, peran pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah kunci. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan kontak pertama dengan masyarakat, yang memiliki upaya preventif dan promotif. Indonesia memiliki 10.373 puskesmas untuk 270 juta penduduk, dan puskesmas ada di setiap kecamatan.
Ibarat perang melawan penyakit, ujung tombaknya adalah puskesmas. Para tenaga kesehatan adalah jenderal.
Sayangnya, 5,65 persen persen puskesmas belum memiliki tenaga dokter. Bahkan 53 persen puskesmas belum memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan sesuai standar yang ditetapkan Kemenkes. Ibarat perang melawan penyakit, ujung tombaknya adalah puskesmas. Para tenaga kesehatan adalah jenderal. Jadi, tidak mungkin menang perang jika jenderalnya saja tidak lengkap.
Setiap peringatan HKN seharusnya menjadi momen untuk mengevaluasi dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban kesehatan kepada masyarakat. Dipimpin oleh presiden dari level tertinggi hingga kepala puskesmas memaparkan pencapaian terkait kesehatan di wilayahnya masing-masing.
Pembangunan berorientasi manusia
Kita sering mendengar slogan 4 sehat 5 sempurna yang dicetuskan Bapak Gizi Indonesia, Poorwo Soedarmo. Slogan tersebut merupakan bentuk sederhana dari konsep pola makan yang mewakili kebutuhan nutrisi lengkap demi menumbuhkan kesadaran gizi masyarakat Indonesia.
Namun, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kemenkes menunjukkan angka prevalensi tengkes (stunting) di Indonesia mencapai 24,4 persen. Tengkes adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi dan infeksi berulang.
Tingkat rata-rata IQ generasi muda Indonesia saat ini adalah 78,49 dan berada pada peringkat ke-130 dunia.
Tingkat rata-rata IQ generasi muda Indonesia saat ini adalah 78,49 dan berada pada peringkat ke-130 dunia. Anak tengkes tidak akan menjadi manusia yang produktif dan akan menjadi beban bagi negara di masa depan. Salah satu penyebab tengkes yang utama adalah gizi.
Tidak terpenuhinya kebutuhan gizi nasional anak Indonesia menjadi pekerjaan rumah serius bagi bangsa Indonesia ke depan. Tugas untuk menjawab tantangan tersebut, tidak hanya menjadi tugas dari Kemenkes semata namun menjadi tugas semua kementerian, terutama kementerian yang berkaitan dengan pemenuhan gizi 4 sehat 5 sempurna.
Pada suatu kesempatan wawancara di Kuala Lumpur pada 2018, Mahathir Mohamad menyampaikan “Tidak ada negara yang senang jika orang asing membanjiri negara mereka”. Mahathir melanjutkan “Nasionalism is all about what we do, not about what we talk.”
Hal ini juga dipertegas oleh Lee Kuan Yew dalam bukunya yang berjudul “Hard Truths to Keep Singapore Going: We have no neighbors who want to help us prosper.” Tidak ada negara lain (tetangga) yang akan membantu kita sejahtera. Baik Mahathir maupun Lee Kuan Yew sadar betul bahwa pembangunan manusia di negara mereka harus mereka bangun sendiri dan tidak bisa bergantung dari investasi negara lain.
Indonesia pada tahun 2045 diprediksi menjadi negara ekonomi terbesar ke-4 di dunia. Di masa itu Indonesia ditargetkan sudah menjadi negara maju dan sejajar dengan negara adidaya. Momen bersejarah itu memang masih 23 tahun lagi. Namun jika tidak kita mulai saat ini juga maka hal itu akan menjadi ilusi semata. Benyamin Franklin menyatakan “If you fail to plan, you are planning to fail“.
Jagaddhito Probokusumo, Residen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FKKMK UGM-RSUP Dr Sardjito; Pengurus IDI Surabaya