Pengungkapan Tragedi Kanjuruhan sejelas-jelasnya bukan untuk menuding dan menimpakan kesalahan kepada siapa. Lebih penting lagi, penuntasan perkara itu untuk mewujudkan keadilan bagi korban.
Tak terasa, 40 hari sudah tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, terjadi. Aremania dan keluarga korban mengenangnya lewat unjuk rasa demi keadilan.
Unjuk rasa bertema ”Malang Menghitam” itu digelar di Alun-alun Kota Malang, Kamis (10/11/2022). Bersama dengan pemuatan foto unjuk rasa itu, harian ini menurunkan keterangan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jatim Komisaris Besar Totok Suharyanto yang menyatakan, gas air mata yang digunakan pada saat kejadian, 1 Oktober 2022, mengandung CS (2-clorobenzalmalononitrile ii) yang tidak mengakibatkan kematian secara langsung (Kompas, 11/11/2022).
Namun, hasil uji laboratorium memastikan ada komponen lain dalam gas air mata di Stadion Kanjuruhan. Komponen ikutan itu merupakan hasil penguraian senyawa utama yang membahayakan mereka yang terpapar. Tim investigasi harian Kompas memperoleh dokumen hasil pengujian laboratorium atas sampel gas air mata yang ditembakkan polisi, seusai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya di ajang BRI Liga 1 Indonesia. Selain CS, setidaknya ada empat senyawa lain yang ditemukan (Kompas, 10/11/2022).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun pada awal November lalu menyampaikan temuannya terkait Tragedi Kanjuruhan. Selain mengindikasikan ada pelanggaran, Komnas HAM juga menilai gas air mata jadi pemicu jatuhnya korban jiwa, secara langsung atau tak langsung.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) juga menduga kandungan gas air mata yang ditembakkan ke arah penonton di Stadion Kanjuruhan beracun dan mematikan. Temuan ini diperkuat fakta, TGIPF belum menerima laporan ada korban meninggal dari area lapangan. Semua dari 135 korban meninggal berasal dari tribune penonton, tempat sebagian besar gas air mata itu ditembakkan.
Perdebatan tentang alat bukti sebuah perkara mungkin saja ada di wacana masyarakat. Namun, ujung pembuktian itu ada di pengadilan. Majelis hakim yang akan memastikan alat bukti, termasuk dengan keterangan saksi, ahli, dan terdakwa. Kepolisian juga sudah menetapkan enam tersangka, yang dinilai paling bertanggung jawab atas Tragedi Kanjuruhan. Komnas HAM menilai penetapan tersangka itu belum memadai.
Berulang kali Presiden Joko Widodo meminta Tragedi Kanjuruhan diusut dan dibuka seterang-terangnya, termasuk dengan membentuk TGIPF. Empat puluh hari sudah tragedi itu terjadi, tetapi awan gelap yang menyelimuti kejadian itu belum juga sepenuhnya tersibak. Otopsi korban pun sudah dilakukan untuk memperjelas penyebab kematian mereka. Tinggal kini menanti ujung dari penanganan perkara ini.
Pengungkapan Tragedi Kanjuruhan sejelas-jelasnya bukanlah untuk menuding dan menimpakan kesalahan kepada siapa. Lebih penting lagi, penuntasan perkara itu adalah untuk mewujudkan keadilan bagi korban. Mereka yang meninggal dan korban lain, termasuk keluarganya, berhak mendapatkan kejelasan apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa pun yang bersalah dihukum. Itulah keadilan. Pada saat yang sama, kita belajar agar kejadian serupa tidak terulang lagi.