Tulisan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji tentang kerja sama Indonesia- Jepang (Kompas, 20/10/2022) mungkin membuat banyak orang tersentak.
Dalam artikelnya, Dubes Kanasugi menyatakan bahwa kerja sama Jepang-Indonesia selama ini tidaklah terbatas pada bidang ekonomi, tetapi juga bidang pertahanan, kalau tidak mau dikatakan kerja sama militer!
Sejarah mencatat bahwa kerja sama ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Bahkan, belakangan ini semakin meningkat. Keikutsertaan Jepang dalam latihan Super Garuda Shield yang selama ini bersifat bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) beberapa bulan lalu adalah simbol dari langkah lebih jauh dari kerja sama pertahanan Jepang dan Indonesia.
Beberapa bentuk kerja sama pertahanan RI-Jepang itu ditandatangi Menteri Pertahanan (Menhan) RI Ryamizard Ryacudu dan Menhan Jepang Gen Nakatani pada saat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Jepang pada 2015. Saat itu penulis adalah Duta Besar RI untuk Jepang.
Pertanyaannya, apakah dalam suasana ekonomi yang sulit akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, dan resesi global, membangun kekuatan pertahanan adalah sesuatu yang mendesak (urgent)?
Baca juga : Kemungkinan Seluas Lautan
Baca juga : Kerja Sama Pertahanan RI-Jepang dan Stabilitas Kawasan
Pertanyaan terkait hal ini juga sering muncul saat penulis menjadi Deputi Komisi I Bidang Pertahanan DPR (2004-2009). Misalnya, dipersoalkan mengapa kita terus membeli alat-alat pertahanan atau alat utama sistem persenjataan (alutsista), sementara kita tidak tahu kapan perang akan terjadi?
Bukankah alutsista yang kita beli itu akhirnya menjadi besi tua, tanpa pernah sekali pun digunakan di medan perang? Dengan begitu, pengadaan alutsista tersebut berarti sia-sia!
Sejatinya, logika pertahanan berbeda dengan logika di atas. Alutsista dan sistem pertahanan tak hanya diperlukan di saat perang, tetapi juga di masa-masa damai. Sebab, damai bukanlah sesuatu yang given, inheren, atau sesuatu yang jatuh dari langit.
Damai adalah sesuatu yang harus diciptakan, dipelihara, dan dijaga atau dikawal dengan bedil, sangkur, tank, pesawat tempur, misil, dan lainnya.
Selain itu, pembelian alutsista juga diperlukan agar pasukan kita tetap terampil dan tak menjadi pasukan yang gaptek alias gagap teknologi.
Damai sesungguhnya tak lebih hanya jeda di antara dua perang! Karena itu, orang-orang Romawi masa silam berkata, Si vis pacem para bellum (jika Anda siap damai, maka bersiap jugalah untuk perang).
Sistem pertahanan dan alutsista juga tidak hanya diperlukan untuk perang, tetapi juga berfungsi untuk mencegah agar perang tidak terjadi.
Pertahanan dan alutsista mempunyai makna deterrent atau pencegahan agar musuh tak berani menyerang. Selain itu, hal ini juga mempunyai makna amat penting dari sisi diplomasi. Sebab, diplomasi yang kuat haruslah ditopang oleh kekuatan senjata.
Sebagai ”profit center”
Dalam logika keuangan negara, seperti yang berlaku selama ini, pertahanan selalu dipandang sebagai cost center (beban atau pos pengeluaran). Logika ini harus ditinggalkan. Tepatnya, dibalik.
Pertahanan haruslah dipandang sebagai profit center (pos pemasukan/keuntungan). Dengan kata lain, membangun pertahanan bukan berarti sebagai mengeluarkan uang. Sebaliknya, justru dengan itu negara memperoleh laba atau pemasukan.
Isyarat (hint) Kanasugi dalam tulisannya adalah terbukanya peluang besar untuk melibatkan industri pertahanan kedua negara dalam format kerja sama pertahanan Indonesia-Jepang. Termasuk di dalamnya, untuk membangun sesuatu yang baru. Indonesia mempunyai PT Pindad, PT DI, PT PAL, dan BUMN strategis lain, yang bisa dilibatkan.
Kerja sama industri pertahanan ini sekaligus akan membuka pula peluang untuk menarik kembali arus brain drain (hijrahnya SDM andal kita) pascakrisis moneter 1998. Termasuk, dari Embrear Aircraft Manufacturer di Brasil.
Dalam sejarah Jepang, konsep pertahanan sebagai profit center telah ada sejak lama. Dari slogan fukoku-kyohei (militer kuat negara makmur) di masa perang, hal ini tampak dengan jelas. Di masa silam, Jepang bahkan pernah bergerak dalam konsep Daitoa Kyoeken (Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya).
Di masa sekarang, hal ini tentu dapat diwujudkan dalam bentuk membangun industri pertahanan demi terjaganya keamanan dan perdamaian, sekaligus meraih keuntungan ekonomi.
Ini tentu tidak harus diartikan sebagai menapak jalan menuju medan laga peperangan. Sebab, seperti disampaikan sebelumnya, bukankah untuk damai pun kita perlu senjata?
Dengan gigihnya Jepang—terutama pada masa Perdana Menteri Shinzo Abe—untuk mengamendemen, terutama Pasal 9 konstitusi mereka (tentang pemilikan kekuatan militer)—di samping langkah-langkah penafsiran baru terhadap konstitusi itu—tak berlebihan untuk mengatakan arah industri Jepang ke depan adalah industri pertahanan.
Dengan redupnya industri elektronik Jepang akibat munculnya para pemain baru serta semakin gencarnya Korea Selatan dan China masuk lebih awal untuk menguasai pasar mobil listrik dunia, sulit mengatakan wajah industri otomotif Jepang akan tetap cerah ke depan nanti.
Ditambah lagi dengan industri pariwisata Jepang yang tersandung wabah korona, industri pertahanan tampaknya akan menjadi prioritas Jepang.
Mampukah kita memanfaatkan peluang ini?
Yusron Ihza Mahendra,Dubes RI untuk Jepang 2014-2016; Deputi Komisi I DPR Bidang Pertahanan 2004-2009