RKUHP dan Ruang Privat Masyarakat
Apakah benar pengaturan tindak pidana perzinahan dan tindak pidana hidup bersama di luar perkawinan/kohabitasi dalam RKUHP terlalu jauh memasuki ruang privat dalam mengatur moralitas masyarakat?
”Nemo factum a se alineum tenetur scire”, demikianlah sebuah postulat Latin yang artinya tiada seorang pun yang terikat untuk mengetahui tindakan pribadi atau perbuatan orang lain, kecuali jika itu dilakukan bersama dirinya sendiri.
Viralnya isu mengenai ancaman pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) soal check in di hotel bagi pasangan yang belum menikah telah mewarnai sejumlah pemberitaan media. Berembusnya isu tersebut sontak menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaku usaha perhotelan dan pariwisata karena dianggap akan membuat wisatawan menjadi tidak nyaman.
Apabila yang dimaksud adalah Tindak Pidana Perzinaan (Pasal 415 RKUHP) yang berasal dari Pasal 284 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini, dan Tindak Pidana Hidup Bersama di luar Perkawinan/Kohabitasi (Pasal 416 RKUHP), kemungkinan telah terjadi suatu kesalahpahaman dalam memaknai substansi dari pengaturan kedua tindak pidana tersebut.
Yang jadi pertanyaan, apakah benar pengaturan kedua tindak pidana dalam RKUHP itu terlalu jauh memasuki ruang privat dalam mengatur moralitas masyarakat, sebagaimana salah satu pandangan yang mengatakan bahwa jangkauan hukum pidana harus ”berhenti” seketika ia berada di depan pintu kamar.
Perlu diakui, memang tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya.
Cerminan bangsa
Perlu diakui, memang tidak mudah merumuskan RKUHP di negeri yang begitu majemuk suku, agama, dan budayanya. Apalagi, secara universal, dikenal tiga jenis delik yang pengaturannya tidak pernah sama di KUHP di seluruh dunia, yaitu delik kesusilaan, delik politik, dan delik penghinaan.
Menurut Andi Hamzah, Pasal 284 KUHP tentang Tindak Pidana Perzinaan yang berasal dari Artikel 241 Ned. WvS (KUHP Belanda) sudah dihapuskan pada tahun 1971 karena, menurut pandangan orang Belanda, perbuatan semacam itu merupakan kejahatan tanpa korban (victimless crime). Dapat dikatakan negara-negara Eropa Barat dan Jepang juga sudah melakukan dekriminalisasi atas delik tersebut.
Rumusan dari Tindak Pidana Perzinaan menurut Pasal 284 KUHP adalah persetubuhan suka sama suka yang dilakukan oleh salah satu pelaku, atau yang kedua pelakunya terikat perkawinan yang sah menurut Pasal 27 KUH Perdata. Persetubuhan dimaksud adalah bersanggama (sexual intercourse) yang perlu dibedakan dari percabulan.
Masih dipertahankannya pengaturan Tindak Pidana Perzinaan di Indonesia tentu juga tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang hendak menghormati tujuan dari perkawinan, yaitu sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita (covenant) sebagai suami-istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Adapun pengaturan Tindak Pidana Kohabitasi dimaksudkan untuk mendorong dilakukannya pencatatan perkawinan, sekaligus untuk mencegah terjadinya persekusi dari pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab terhadap mereka yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan.
Atas dasar itulah, pengaturan delik kesusilaan dalam hukum pidana Indonesia tidak serta-merta dapat dipertentangkan dengan pengaturannya di negara lain karena, sebagaimana dikatakan Herman Manhein (Jerman), KUHP merupakan cermin yang paling jujur dari peradaban suatu bangsa (Penal code is the most faithful mirror of civilization of the nation).
Delik aduan
Kekhawatiran dari para pelaku usaha perhotelan sebenarnya dapat terjawab dengan penjelasan sederhana bahwa Tindak Pidana Perzinaan (Pasal 415 RKUHP) dan Kohabitasi (Pasal 416 RKUHP) pengaturan jenis deliknya aduan (klach delicten) sebagai syarat untuk melakukan penuntutan. Dengan demikian, tidak akan pernah ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah.
Pihak-pihak yang berhak untuk melakukan pengaduan atas Tindak Pidana Perzinaan dan Kohabitasi ialah (1) suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan, atau (2) orangtua atau anak bagi orang yang tak terikat perkawinan. Yang terakhir disebutkan itu memang merupakan perluasan dari pihak yang dapat mengadu, yang tak kita temukan ketentuannya di Pasal 284 KUHP.
Baca juga : Apakah Pasal Kohabitasi RKUHP Mengancam Pasangan yang Menikah Siri?
Baca juga : Menakar Substansi Kohabitasi
Perdebatan untuk menentukan apakah Tindak Pidana Perzinaan dan Kohabitasi dalam pembaruan hukum pidana Indonesia hendak diatur sebagai delik aduan atau delik biasa yang memungkinkan setiap orang untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib jelas bukan perkara yang mudah, karena begitu alotnya pro dan kontra dari pencelaan masyarakat atas suatu perbuatan yang bisa berbeda-beda perspektifnya.
Sejarah mencatat, pernah ada sekelompok masyarakat yang melakukan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 284 KUHP agar tindak pidana perzinaan diperluas cakupannya dan menjadi delik biasa. Melalui putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi pun ”terbelah” dengan diwarnai empat pendapat berbeda dari total sembilan hakim konstitusi ketika menolak permohonan tersebut. Akhirnya, perdebatan itu diserahkan pada kebijakan pidana (criminal policy) dari pembentuk undang-undang.
Dengan diaturnya Tindak Pidana Perzinaan dan Kohabitasi sebagai delik aduan, ruang privat masyarakat justru dapat pelindungan hukum. Apalagi kewenangan kepala desa atau jabatan sejenis untuk melakukan pengaduan juga sudah dihapuskan dari RKUHP.
Oleh karena itu, pihak ketiga atau masyarakat lain yang tak memiliki hubungan hukum atau tak dirugikan secara langsung jelas menjadi tak berhak untuk membuat pelaporan, apalagi untuk melakukan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) atas adanya dugaan Tindak Pidana Perzinaan dan Kohabitasi.
Kualitas penegakan hukum
Mengenai keluhan dalam praktik di lapangan soal adanya tindakan sekelompok masyarakat atau oknum aparat yang melakukan razia dengan alasan dugaan adanya pasangan yang belum menikah dalam satu kamar hotel, jelas merupakan dua hal yang berbeda dengan perumusan norma hukum dalam pengaturan Tindak Pidana Perzinaan dan Kohabitasi di RKUHP. Apalagi perbuatan main hakim sendiri dan razia tersebut diduga juga sudah terjadi pada saat Pasal 284 KUHP tentang tindak pidana perzinaan (sebagai delik aduan) masih berlaku saat ini.
Tegasnya, kekhawatiran dari pelaku usaha perhotelan dan pariwisata bahwa nantinya hotel akan dibebani kewajiban untuk menanyakan legalitas tambahan terkait ”rekan” satu kamar sama sekali tidak pernah dipersyaratkan oleh RKUHP, dan juga tidak dapat menjadi aturan turunan dari RKUHP.
Munculnya asumsi dapat terjadinya polemik keluarga antara suami, istri, orangtua, dan anak yang berpotensi membuat kisruh di hotel karena pengaturan Tindak Pidana Perzinaan dan Kohabitasi sebagai delik aduan seharusnya tidak perlu terjadi. Hal ini mengingat tidak ada seorang pun yang diwajibkan oleh hukum untuk menggunakan haknya untuk mengadu (juro suo uti nemo cogitur).
Terakhir, tapi tak kalah penting, penulis juga mendorong pemerintah untuk terus memperbaiki kualitas aparat penegak hukum, sebab aturan hukum yang baik sekalipun tidak akan ada gunanya jika tidak diimbangi dengan peningkatan integritas dan profesionalisme dari aparat penegak hukum.
Albert Aries Pengajar Fakultas Hukum Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)