Perempuan dan Sejarah
Yang kita saksikan hari-hari ini di negeri yang masa silamnya sangat kaya dan megah itu bukanlah sekadar perlawanan perempuan yang hendak membebaskan rambutnya agar bisa tersentuh langsung oleh matahari dan angin.
Pada jam-jam tertentu sejak pertengahan September hingga menjelang akhir November 2022, seniman kontemporer Indonesia, Arahmaiani, mengubah kompleks Muze Gashane, Istanbul, menjadi semacam ”Museum Adidaya Perempuan”.
Di sore, 17 September lalu, saya duduk bersama ratusan, bahkan mungkin ribuan orang, di pelataran terbuka museum yang berada di wilayah Asia Turki itu, menonton puluhan anak muda yang sebagian besar perempuan, bergerak dalam barisan yang mengibarkan bendera.
Setiap bendera menyematkan satu kata Turki. Puluhan kata yang berkibar tersebut, antara lain, adalah emek (kerja), sevgi (cinta), doga (alam), hafıza (kenangan), dan kadın (perempuan).
Kata-kata itu adalah bagian penting dari Proyek Bendera yang idenya lahir dari gempa yang menghantam Yogyakarta pada 2006. Di berbagai media bisa ditemukan cerita tentang proyek artistik berbasis komunitas yang awalnya dikembangkan oleh Arahmaiani bersama Pondok Pesantren Amumarta.
Tujuan utamanya adalah penyembuhan dan pemulihan. Bahan penciptaan dipungut dari berbagai penjuru, bukan hanya dari Indonesia.
Saat memulai proyek, Arahmaiani menemukan dua kata kunci yang ditulis dalam bahasa Arab Pegon: akal dan nyali. Inspirasi lain datang dari Tibet, yang menyumbangkan kata om (versi ringkas dari semua ajaran Buddha) dan thasi delek (berkah dan semoga berhasil).
Pada tahun 2012, sebuah komunitas di Passau, Jerman, menambahkan kata mut (keberanian) dan herz (hati) pada Proyek Bendera.
Proyek yang bermula sebagai respons atas peristiwa lokal itu memang tumbuh menjadi proyek lintas negara seperti sekarang ini.
Memanusiawikan sejarah
Proyek yang bermula sebagai respons atas peristiwa lokal itu memang tumbuh menjadi proyek lintas negara seperti sekarang ini. Proyek ini telah dihidupkan, antara lain, di Australia, Belgia, China, Jerman, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Tibet, dan Thailand.
Enam belas tahun sejak kelahirannya, Proyek Bendera tetap berkibar dan pergelarannya di Istanbul ini tidak hanya menandaskan vitalitas dan relevansi proyek artistik ini, tetapi sekaligus juga menunjukkan peran besar perempuan dalam memanusiawikan sejarah.
Kekuatan besar perempuan ini bukan hanya tampak pada karya Arahmaiani yang separuh tapaknya bersebelahan dengan Pustaka Bergerak. Di ruang dalam yang juga bersisian dengan tapak Pustaka Bergerak, ada karya Martha Atienza dari Filipina. Sementara di luar gedung, berdiri instalasi Angela Ferreira dari Mozambik.
Dengan caranya masing-masing, kedua karya kontributor perempuan ini juga menghadirkan kekuatan seni modern sebagai sebentuk penyembuhan bagi sejarah yang timpang.
Pengunjung Istanbul Biennial bisa menyaksikan kekuatan istimewa seni ”Adidaya Perempuan” tak hanya di Muze Gazhane. Di Pera Museum, yang terletak di sisi Eropa Istanbul, terpajang banyak karya instalasi yang dibuat oleh para kontributor perempuan.
Salah satunya adalah Sim Chi Yin. Karya ini juga sudah dipamerkan di beberapa negara dan membawakan senandung dari masa silam yang coba mempertahankan harapan ke masa depan.
Selain deretan foto yang digarap khusus, ada dua lagu revolusioner yang dimunculkan di dalam video, yakni ”Goodbye Malaya” dan ”The Internationale”. Lagu yang dinyanyikan oleh kaum tua dengan penuh beban dan harapan itu mengambang terputus-putus di ruangan seperti kabut tipis yang mengimbau pendengarnya untuk berbuat sesuatu agar nyanyian itu bisa jadi sempurna.
Memang ada banyak yang mengiris dan tak tecerna akal dari masa silam yang dinyanyikan itu. Namun, di balik alunan lagu tersebut, tetap juga muncul harapan agar, seperti judul instalasi Sim Chi Yin, ”Kelak kita mungkin paham” (Someday we’ll understand).
Perempuan dan distopia
Di lantai yang lain Pera Museum, pasangan Tita Salina dan Irwan Ahmett menghadirkan karya dan workshop yang juga membawa kita ke wilayah spasial dan temporal yang terpencil.
Sambil menarik kita jauh hingga ke pantai utara Indonesia, di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, kita pun diajak menghayati kehidupan makhluk di lautan yang menempati dua pertiga planet kita, dengan segenap keluasan dan kedalamannya.
Selain menumbuhkan kembali kepedulian pada laut dan orang-orang kecil yang terdampak langsung oleh gerak samudra yang dipaksa untuk menampung kecerobohan dan sampah dunia modern, karya mereka juga mengajak kita ke masa silam yang jauh, yang terentang jutaan tahun ke belakang. Menyelami kehidupan berbagai organisme nonmanusia yang makin terancam keberlanjutannya.
Seperti halnya penerima Nobel Sastra tahun 2022 ini, Annie Ernaux, para seniman perempuan ini memang memberi perhatian yang besar pada masa silam. Bedanya adalah jika Ernaux menambang masa silam personalnya, para seniman perempuan ini mengekskavasi masa silam puaknya, bangsanya, spesiesnya.
Seperti halnya penerima Nobel Sastra tahun 2022 ini, Annie Ernaux, para seniman perempuan ini memang memberi perhatian yang besar pada masa silam.
Mereka juga mempunyai keberanian dan ketajaman klinis yang dengannya mereka mengungkap akar, keterasingan, dan pengekangan kolektif dari ingatan sebuah generasi, satu jenis kehidupan.
Para penelaah masa depan, seperti Alvin Toffler, John Naisbitt, dan Daniel Bell, kerap membentangkan masa depan sebagai wilayah yang terlepas dari masa silam. Penelaah yang umumnya laki-laki ini tampak melihat sejarah sebagai perjalanan bergegas dalam ruang menuju masa depan di mana masa silam benar-benar berlalu, menjadi silam.
Namun, para perempuan ini memiliki pandangan yang beda. Bagi mereka, masa silam bukanlah masa yang benar-benar silam, melainkan sesuatu yang menuntut kerja agar masa depan yang dikejar bisa terbentang lebih baik. Perhatian mereka pada masa silam memberi kita indera yang peka menangkap dan menghayati aspek prismatik dari sejarah.
Kita tentu tetap menghormati semangat para pemburu cakrawala yang umumnya laki-laki dan tak henti membentuk masa depan kita. Penjelajahan mereka yang maskulin telah memperluas batas dan memperkaya peradaban kita.
Meski demikian, upaya para perempuan hebat, yang dalam sejumlah hal mungkin bisa terasa memperlambat laju pemburuan cakrawala itu, menggenapkan bukan hanya pemahaman kita pada masa silam. Tanpa sumbangan kaum feminis itu, kehidupan kita mungkin akan terus menjadi kehidupan yang invalid, ganjil, dan tak berharga untuk ditanggungkan.
ilustrasi
Dikatakan secara lain, sejarah yang dipacu oleh para lelaki untuk melepaskan diri dari masa silam dan melaju pesat ke masa depan itu mungkin saja bergerak menuju utopia, tapi juga mungkin distopia.
Namun, para perempuan itu menunjukkan bahwa masa depan kita tidaklah terlepas dari dari masa silam kita. Juga bahwa dan penanganan kita atas masa silam yang lebih sensitif itulah yang mungkin mencegah masa depan menjadi distopia dan memperbesar peluangnya untuk jadi utopia.
Kekuatan penyembuhan
Berbeda dengan mitologi Abrahamik yang mengajarkan bahwa kejatuhan manusia disebabkan oleh perempuan, seni kontemporer kita menandaskan bahwa perempuan yang adidaya itu, dengan kemampuan penyembuhan dan penebusannya, justru adalah kekuatan penghalau distopia, pencegah kejatuhan manusia.
Perempuan memang hadir sangat kuat di Istanbul Biennial, baik sebagai seniman kontributor maupun sebagai panitia penyelenggara. Kehadiran mereka terasa sangat setara dengan—dan di beberapa bagian bahkan terasa lebih mengungguli—para lelaki.
Kancah seni kontemporer yang menjunjung perempuan ini membuat Turki, bersama dengan Indonesia, dan negeri-negeri berpenduduk Muslim besar lainnya yang benar-benar berusaha menghormati kemerdekaan perempuan, bisa menjadi wakil dunia Islam yang lebih modern.
Kekuatan dahsyat perempuan ini tentu tak hanya ditunjukkan di Istanbul Biennial.
Pameran yang paling spektakuler pada saat ini, dan berdampak besar jauh ke depan, agaknya adalah yang tergelar di jalan-jalan dan ruang terbuka Republik Iran.
Perempuan memang hadir sangat kuat di Istanbul Biennial, baik sebagai seniman kontributor maupun sebagai panitia penyelenggara.
Dipelopori oleh para perempuan muda yang tak lagi takut mati, kaum yang sering dikira lemah itu turun ke jalan memimpin revolusi untuk menumbangkan kekuasaan yang gigih menegakkan utopia religius tetapi merosot menjadi distopia hak asasi manusia.
Yang kita saksikan hari-hari ini di negeri yang masa silamnya sangat kaya dan megah itu bukanlah sekadar perlawanan perempuan yang hendak membebaskan rambutnya agar bisa tersentuh langsung oleh matahari dan angin.
Para perempuan yang meneriakkan nama Mahsa Amini dan adu nyawa memperjuangkan hak-haknya itu, memang tak sekadar memperjuangkan kepentingan mereka sendiri.
Para perempuan itu sangat mungkin, dan harus, menang. Jika mereka kalah, yang kehilangan kesempatan untuk melengkapkan kekuatan dan daya hidupnya yang sempal itu bukan hanya tanah air dan peradaban para perempuan Iran itu sendiri.
Nirwan Ahmad Arsuka Esais