Buruh Digital dan Urgensi Narasi Kesejarahan Gerakan Buruh
Informasi dan teknologi digital telah menuntun pola hubungan kerja yang kabur ditambah ambisi-ambisi yang tidak tahu diri. Kegagapan meresponsnya memunculkan apa yang dikatakannya sebagai deindustrialisasi dini.
Nasib enam karyawan itu telah paripurna naasnya. Ditetapkan sebagai tersangka, dipecat oleh perusahaan.
Alih-alih melindungi ribuan pekerja yang lain, perusahaan tersebut terlihat menampik fakta bahwa terdapat kekosongan jaring perlindungan, pendampingan, bahkan pembelaan secara hukum terhadap karyawan dengan bersembunyi di balik narasi penodaan agama.
Kasus pemecatan, kelelahan, hak yang tidak didapat karyawan tampaknya sudah menjadi bingkai lumrah di negara yang konon selesai menyusun blue print ”Making Indonesia 4.0” pada 2018. Diperuntukkan untuk memetik bonus demografi 2045, Diran, perempuan berusia 27 tahun yang bekerja di agensi periklanan Jakarta, meninggal sebab kelelahan atau pada 2017 ditambah nasib buruk buruh pabrik garmen yang melebihi jam kerja.
Fenomena di atas menjelaskan banyak gejala yang perlu diurai dalam tata pola ketenagakerjaan kita yang kusut di tengah ambisi menuju kedigdayaan ekonomi dunia. Jafar Suryomenggolo dalam bukunya, Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita, sedikitnya telah meletakkan perspektif menarik mengenai relasi tidak adil ini.
Dalam buku setebal 256 halaman ini, Jafar mulanya mengurai keran demokratisasi pascareformasi juga secara bersamaan menandai tata ekonomi Indonesia ”baru”. Informasi dan teknologi digital telah menuntun pola hubungan kerja yang kabur, ditambah ambisi-ambisi yang tidak tahu diri. Kegagapan meresponsnya, memunculkan apa yang dikatakannya sebagai deindustrialisasi dini. Ketergesaan untuk adaptif justru menimbulkan polemik baru bagi kaum pekerja.
Informasi dan teknologi digital telah menuntun pola hubungan kerja yang kabur ditambah ambisi-ambisi yang tidak tahu diri.
Berbeda dengan negara-negara lainnya, industrialisasi dan deindutrialisasi di Indonesia berjalan berbarengan dengan derajat yang lebih cepat. Eropa mengalami industrialisasi sekitar 200 tahun dan memulai pedal deindustrialisasi pada tahun 1960-an. Jepang mengalami hampir 100 tahun masa industrialisasi dan pada 1980-an Jepang merangkak ke deindustrialisasi.
Sebagai akibat dari deindustrialisasi dini, gerakan buruh di Indonesia mengalami hambatan dalam perkembangannya (hlm 51). Gerakan buruh pada akhirnya tidak mempunyai kekuatan menyeimbangi kekuatan modal. Gerakan buruh semakin kesulitan menentukan arah kebijakan sosial politik yang berlandaskan demokrasi demi tercapainya kesejahteraan sosial bagi masyarakat umum. karena itu, elite dan kekuatan modal lebih mudah mengangkangi dan memanfaatkan gerakan buruh.
Kegagapan Indonesia dalam menyusun skema deindutrialisasi berbanding terbalik dengan sejarah Eropa. Gerakan buruh memperlihatkan dirinya sebagai lokomotif dalam menyusun agenda sosial politik, pembaru, dan motor utama menentukan kesejahteraan negara.
Jauh tebal permasalahannya, buruh digital yang dimotori oleh kelas menengah perkotaan tidak sama sekali mempunyai kesadaran untuk berserikat. Mereka terlalu percaya diri dengan minat dan kemampuan individual sehingga dalam perjalanannya, setiap permasalahan dan persoalan yang menimpanya dalam dunia kerja dianggap menjadi bebannya sendiri, bukan persoalan kolektif dan kejanggalan struktural.
Kelengahan ini dikapitalisasi sedemikian rupa demi ambisi. Mereka digerakkan dengan narasi-narasi yang sebenarnya adalah bius. Kerja keras, bonus demografi, rumah hunian murah, revolusi 4.0, bos bagi diri sendiri sampai gelimpang ”cuan” tak sesenti pun berjarak dari imajinasi buruh digital atau buruh kerah putih perkotaan.
Sementara tidak ada yang berani bertanggung jawab secara hukum apabila mereka mengalami kecelakaan kerja. Dan kian sempurna, saat industri mengemasnya dengan sebutan mitra kerja, freelancer, pekerja independen, atau berbagai istilah lain yang bersifat mengaburkan status dan hubungan kerja yang tercipta (hlm 217).
Kesejarahan kaum buruh
Dalam ketelitiannya melihat pola hubungan kerja antara buruh dan kekuatan modal, terutama dalam era digital, Jafar juga berhasil menarik imajinasi pembaca dalam kerja-kerja perserikatan buruh untuk menghidupkan kesadaran, membangun kekuatan kolektif, dan secara aktif ikut terlibat dalam upaya demokratisasi serta kesejahteraan sosial.
Di bagian Membangun Kekuatan, ia menarik nama Dewi Sartika, Sjahrir, Wiji Tukul, serta organisasi-organisasi buruh untuk menghadirkan nilai kesejarahan dan titik vital keberadaan buruh beserta serikatnya. Melalui sekolah dan ruang-ruang pendidikan lainnya, mereka didudukkan sebagai kekuatan yang tidak hanya penting, tetapi juga melampaui agar buruh mempunyai rompi pelindung, serta tidak terasing dari dunianya sendiri, tempat tubuh dan pikirannya bekerja.
Kartini boleh jadi dianggap mewakili suara perempuan yang tertindas budaya patriarki pada masanya, tulis Jafar, tetapi Dewi Sartika lebih mengerti suara perempuan yang tertindas dalam budaya patriarki dan sekaligus juga kapitalisme dalam sistem kolonialisme pada awal abad ke-20 (hlm 112).
Jauh tebal permasalahannya, buruh digital yang dimotori oleh kelas menengah perkotaan tidak sama sekali mempunyai kesadaran untuk berserikat.
Jafar dengan mengangkat Dewi Kartika tidak hanya ingin membandingkan, tetapi lebih menghadirkan keluasan perspektif Dewi Sartika kaitannya dengan relasi sosial yang lebih kompleks, dunia perburuhan dan ketimpangan jender sekaligus. Berbeda dengan Sjahrir yang dengan tegas mengaitkan gerakan buruh untuk menciptakan masyarakat baru.
Menurut dia, gerakan buruh bukan semata-mata diperuntukkan menuntut perbaikan upah, melainkan bertujuan untuk membangun masyarakat baru, yaitu masyarakat yang tidak bersendi pada sistem ekonomi yang merugikan kaum buruh sendiri.
Seperti yang dikutip oleh Jafar bahwa: ”Gerakan buruh, persatuan buruh ini, harus memberi penerangan pendidikan kepada kaum buruh, terutama kepada angota-anggotanya, tentang segala yang perlu untuk menguatkan gerakan buruh menambah kecakapan dan kekuatan kaum buruh di dalam mempertahankan dirinya, menentang kapitalisme.” (hlm 118).
Penulis menilai, buku ini tidak hanya menunjukkan kritik atas kerja pembangunan ekonomi yang didorong oleh ambisi-ambisi tanpa membenahi jaring pelindung sosial, terutama secara hukum, tetapi juga menawarkan solusi-solusi untuk mengaktifkan kembali gerakan dan kesadaran buruh yang lebih relevan dan revolusioner. Apalagi di tengah-tengah mitos dan pondasi rapuh tentang khayali masa keemasan ekonomi Indonesia.
Ahmad Riyadi, Alumnus Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Aktif di Lingkar Informasi Politik
Judul: Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita
Penulis: Jafar Suryomenggolo
Penerbit: EA
Tebal: xiv + 256 halaman
Cetakan: Pertama, Mei 2022
ISBN: 978-623-5280-02-8