Tidak adanya identitas pembeda dalam perjuangan politik di Indonesia yang kemudian memunculkan semangat pragmatisme kekuasaan dan kemenangan secara elektoral menjadi titik hitam demokrasi di Indonesia.
Oleh
HASIBULLAH SATRAWI
·6 menit baca
Selain banyak pencapaian positif dari pengalaman demokrasi di Indonesia, ada tantangan serius yang harus diwaspadai bersama, yaitu pragmatisme untuk menang dan berkuasa. Pragmatisme dimaksud dalam tulisan ini tidak sekadar kecenderungan praktis dan instan sebagaimana makna literal dari istilah ini, melainkan juga dalam arti menghalalkan segala macam cara untuk menang, termasuk tidak memerhatikan sikap atau pandangan politik dari seorang lawan maupun kawan politik. Hal terpenting adalah menang dan berkuasa.
Inilah titik hitam demokrasi yang berkembang di Indonesia sejauh ini. Sebagai titik hitam demokrasi di Indonesia, pragmatisme menjadi titik temu bagi banyak paradoks dalam perpolitikan ataupun kehidupan berbangsa secara lebih umum.
Dengan bahasa yang lain, dalam gelap titik hitam pragmatisme, tak ada lagi (bahkan juga tak ada guna) yang namanya identitas. Khususnya identitas sebagai instrumen dasar yang membedakan antara satu pihak dengan pihak yang lain, termasuk perbedaan karakter, kecenderungan, atau prinsip-prinsip yang bersifat ideologis.
Padahal, dalam konteks politik, pembedaan identitas beserta segala dampak turunannya sangat penting sebagai media kampanye dan pengenalan diri maupun kelompok kepada masyarakat hingga masyarakat bisa menilai secara seksama kelompok atau partai mana yang memiliki kecenderungan dan perjuangan seperti apa. Dari pengetahuan yang ada, masyarakat bisa menentukan pilihannya, bahkan sejak jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu.
Pengalaman demokrasi di beberapa negara yang dikenal dengan tradisi demokrasi yang sudah mapan bisa dijadikan sebagai contoh terkait dengan pentingnya identitas pembeda antara satu partai dengan partai yang lain, termasuk terkait perbedaan kecenderungan dalam pembangunan dan kebijakan negara pada umumnya. Di Amerika Serikat, contohnya, sangat dikenal perbedaan antara Partai Republik yang cenderung lebih konservatif dibanding Partai Demokrat.
Contoh lain adalah pengalaman demokrasi di Turki. Di mana ada perbedaan yang sangat terlihat antara kebijakan yang diambil oleh partai-partai sekuler dengan kebijakan yang diambil oleh partai agama. Bahkan dalam pengalaman di Iran sekalipun, masih ada pembeda yang jelas antara kelompok konservatif dengan kelompok progresif. Kelompok progresif cenderung lebih terbuka daripada kelompok konservatif, khususnya terkait dengan isu-isu polemis di antara Iran dengan negara-negara Barat maupun sekutunya.
Pengalaman Indonesia
Dalam pengalaman demokrasi di Indonesia, identitas pembeda perjuangan sebagaimana di atas nyaris tidak ada. Alih-alih ada pengenalan yang baik dan mendalam dari masyarakat terkait perbedaan partai politik tertentu dengan partai politik yang lain, atau perbedaan antara tokoh tertentu dengan tokoh yang lain. Sementara demokrasi meniscayakan adanya kontestasi sebelum munculnya sang pemenang. Maka, masa kampanye pun menjadi satu-satunya momen bagi partai, politisi, dan calon pemimpin untuk mengenalkan diri agar dipilih oleh masyarakat.
Tidak adanya tradisi pembeda perjuangan politik ditambah adanya kebutuhan untuk dikenal dan dipilih oleh masyarakat, maka timbullah kampanye spanduk atau kampanye umum (orasi) yang menyampaikan pesan-pesan nyaris sama antara satu pihak dengan pihak lain (tetapi dipaksakan seakan-akan berbeda antara satu dengan yang lain).
Pada akhirnya, pengalaman demokrasi di Indonesia tidak hanya “tersesat” menjadi demokrasi jual beli sebagaimana pernah disampaikan oleh Pak Mahfud MD beberapa waktu lalu. Lebih daripada itu semua, demokrasi di Indonesia bisa menjadi demokrasi oligarki yang dimodali dan ditentukan oleh bos-bos tertentu.
Maka, masa kampanye pun menjadi satu-satunya momen bagi partai, politisi, dan calon pemimpin untuk mengenalkan diri agar dipilih oleh masyarakat.
Semua ini bisa terjadi dan berkembang dari titik hitam demokrasi yang ada saat ini. Yaitu, tidak adanya identitas pembeda dalam perjuangan politik di Indonesia yang kemudian memunculkan semangat pragmatisme kekuasaan dan kemenangan secara elektoral.
Kalaupun ada identitas, hal itu tak lebih dari sekadar atribut administratif daripada pembeda yang bercorak ideologis dan “karakter”. Justru belakangan marak politik yang mengeksploitasi identitas dan kemudian mengundang lahirnya kampanye atau ajakan agar tidak menggunakan politik identitas, mengingat politik identitas acap menimbulkan sikap-sikap intoleran bahkan perpecahan dan aksi kekerasan.
Sikap intoleran dan terlebih lagi aksi kekerasan tentu tak dapat dibenarkan dan harus dilawan secara bersama-sama. Tetapi upaya mencapai dan mewujudkan kehidupan yang toleran dan zero kekerasan bukan dengan cara mengeksploitasi atau menihilkan identitas, melainkan dengan menumbuhkan kesadaran pentingnya saling menghormati di antara perbedaan-perbedaan yang ada.
Perbedaan harus menjadi alasan utama untuk menghormati yang lain setinggi-tingginya, setulus-tulusnya, daripada menihilkannya. Kesadaran seperti ini tentu butuh waktu dan perjuangan yang tidak ringan, apalagi kilat. Tetapi beratnya perjuangan yang ada tidak bisa di-bypass dengan menihilkan identitas dan terlebih mengeksploitasinya. Apabila ini yang terjadi, maka kita akan terjebak dengan penampakan api dalam sekam; dari luar terlihat adem dan baik-baik saja, padahal di dalamnya ada api yang bisa membakar pada waktunya.
Kalau ada pembelajaran berharga yang bisa diambil dari rezim-rezim otoriter salah satunya tak lain bahwa mereka sebenarnya juga menghendaki adanya kehidupan yang damai dan kondusif. Untuk mencapai kehidupan yang damai, rezim otoriter acap menggunakan penyeragaman daripada kampanye perdamaian dan pendidikan terkait pentingnya saling menghormati dalam perbedaan. Upaya penyeragaman acap terlihat berhasil dengan bantuan penegakan hukum. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah fenomena api dalam sekam sebagaimana dijelaskan di atas.
Titik terang
Oleh karena itu, titik hitam demokrasi yang ada harus diubah menjadi titik terang demokrasi. Hal ini bisa terjadi apabila partai-partai politik maupun calon pemimpin bisa menampilkan perbedaan ideologis dan karakternya secara konsisten dan konsekuen, walaupun mungkin membuat sebuah partai atau calon tertentu kalah pada masa pemilu tertentu.
Dengan kata lain, titik terang demokrasi bisa dimulai dengan menggeser semangat kemenangan; dari kemenangan elektoral menuju kemenangan kebangsaan. Di mana kemenangan sejati dari demokrasi adalah kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan konsensus kebangsaan yang ada; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Apabila ini yang terjadi, maka tidak akan ada lagi kontradiksi-kontradiksi sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Demokrasi bukanlah hajatan rakyat untuk segelintir elite, melainkan hajatan rakyat untuk memperbaiki kehidupan bersama. Meminjam istilah yang digunakan oleh salah satu Filsuf Mesir terkemuka, Hasan Hanafi, dalam Majalah Demokrasi (2004), demokrasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mewujudkan tujuan perbaikan hajat orang banyak. Demokrasi tidak sekadar sistem multi partai, pemilu yang jujur dan adil atau kebebasan sipil, tetapi demokrasi harus berdampak positif terhadap perbaikan kehidupan masyarakat, khususnya terkait keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi cita-cita Indonesia merdeka.
Dalam konteks seperti ini, refleksi yang pernah disampaikan oleh Buya Syafii Maarif menarik untuk diperhatikan bersama. Demokrasi sangat terkait dengan sila keempat Pancasila (kerakyatan) dan sila kelima tentang Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang menjadi tujuan dari Indonesia merdeka.
Kata Buya, “cita-cita mulia itu hanyalah mungkin diwujudkan dalam sistem demokrasi yang terpantul dalam wajah demokrasi sosial, demokrasi politik, dan demokrasi ekonomi” (Menggugah Nurani Bangsa, hal. 62). Inilah yang selama ini diamputasi oleh demokrasi oligarki atau demokrasi jual beli seperti disampaikan Pak Mahfud MD. Hingga proses demokrasi yang terjadi sejauh ini belum sampai ke ujungnya, yaitu demokrasi ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam