Pahlawan tidak harus mereka yang melakukan sesuatu yang besar, yang sering kali kita glorifikasikan. Mereka yang berani bertindak nyata, berani menyimpang, untuk mengatasi hal-hal buruk di lingkungannya juga pahlawan.
Oleh
WAWAN KURNIAWAN
·5 menit baca
“To be a hero, you have to learn to be a deviant.” Menjadi seorang pahlawan adalah sesuatu yang menyimpang. Seperti itulah yang dikatakan Philip Zimbardo, seorang psikolog dan pengajar di Universitas Stanford dalam salah satu ceramahnya yang berjudul The psychology of evil.
Konsep pahlawan yang selama ini kita pahami menarik untuk dirumuskan kembali. Dalam pengertian pemerintah, pahlawan adalah mereka yang memiliki tindakan heroik. Definisi heroik itu dijelaskan sebagai perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa atau berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Namun, apakah itu masih relevan dengan hari ini? Lalu, mengapa menjadi pahlawan adalah sesuatu yang menyimpang?
Saat seseorang melihat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang telantar, sebagian besar dari kita akan memilih untuk membiarkan saja. Beberapa orang lagi, berani dan memiliki keinginan untuk bertindak, mereka bahkan merawat hingga mendirikan komunitas atau yayasan untuk menyelamatkan ODGJ tersebut.
Hal ini bisa kita temukan di Polewali Mandar, Sulawesi Barat misalnya. Sekelompok pemuda rela meluangkan waktu demi mengurusi ODGJ. Berbekal dengan peralatan mandi, alat cukur, dan makanan, mereka menolong sejumlah ODGJ yang telantar. Tindakan inilah yang dianggap Zimbardo sebagai sesuatu yang menyimpang, bahwa mereka melakukan hal-hal yang tidak normal di mayoritas masyarakat di sekitarnya.
Imajinasi pahlawan kolektif
Sejak kecil, kata “pahlawan” dengan mudah kita pahami sebagai penghargaan untuk para pejuang di masa lampau. Kata itu disematkan dan kemudian tampak adil dan sepantasnya atas apa yang telah mereka perjuangkan dan lalui dalam hidup. Konsep pahlawan di kepala kita, masih terfokus kepada sesuatu yang besar, sesuatu yang sering kali kita glorifikasikan.
Secara umum, manusia atau masyarakat kita memiliki kecenderungan untuk lepas dari tanggung jawab dan berasumsi bahwa orang atau kelompok lain akan memilih bertindak. Kondisi ini dikenal dengan istilah bystander effect.
Saat itu terjadi, terdapat kemalasan psikologis yang ditimbulkan saat kita berada di kelompok besar atau berada di lingkungan masyarakat. Kenyataan ini bisa menjadi ancaman jika orang terus-menerus memilih diam dan melakukan pembiaran terhadap hal-hal buruk atau kejahatan.
Konsep pahlawan di kepala kita, masih terfokus kepada sesuatu yang besar, sesuatu yang sering kali kita glorifikasikan.
Belajar dari sebuah riset eksperimen penjara Zimbardo, transformasi manusia menjadi baik (good) dan buruk (evil) memperlihatkan sebuah harapan. Bahwa terdapat orang-orang yang berani untuk memilih jalan yang menyimpang. Mereka yang memutuskan untuk tidak terperangkap konformitas kelompok sehingga mampu bertindak lebih aktif. Bermula dari harapan itu, Zimbardo bersama koleganya bernama Matt Langdon menghadirkan sebuah program yang bernama Heroic Imagination Project (HIP).
Program tersebut menjadi langkah mereka untuk meredefinisi “pahlawan” yang konsepnya masih terjebak kepada ukuran dan kondisi tertentu. Kehadiran Heroic Imagination Project (HIP), bertujuan agar kita mampu memaknai pahlawan sebagai orang biasa yang mampu melakukan sesuatu yang luar biasa.
Zimbardo sekaligus ingin melihat bagaimana sains mampu mendefinisikan ulang konsep pahlawan. Kabar baiknya, kita dapat melahirkan individu yang secara sadar siap berbuat dan berkontribusi aktif sehingga menghadirkan konsep pahlawan kolektif. Menghadirkan orang-orang untuk berinisiatif dalam merespon situasi sekitar, tidak lagi menjadi masyarakat pasif.
Dalam program Heroic Imagination Project (HIP), seseorang atau kelompok akan mulai diajarkan untuk lebih berempati dengan sesama. Seseorang perlu menyadari tentang kecenderungannya untuk mengabaikan konteks dan situasi. Sebab salah satu alasan utama kita gagal dalam menolong orang lain adalah kecenderungan untuk percaya, bahwa mereka pantas mendapatkan apa yang terjadi pada mereka. Parahnya, kita cenderung menyalahkan korban dan memilih diam begitu saja. Bukankan ini akan membawa kita menjelma menjadi masyarakat bystander?
Menghadapi masyarakat “bystander”
Melalui programnya, Zimbardo menyimpulkan dua hal utama yang dapat menjadi kunci untuk menciptakan pahlawan. “Pertama, anda harus bertindak ketika orang lain pasif. Kedua, anda harus bertindak dengan mementingkan kelompok sosial, bukan kepentingan pribadi.”
Pada poin pertama, setelah mengetahui naluri manusia yang memiliki kemalasan psikologis untuk bertindak dibutuhkan upaya khusus mengatasinya. Bertindak aktif sebenarnya dapat juga disebut sebagai keterampilan, di mana seperti halnya keterampilan lain, peluang untuk membaik ada pada pengulangan dan latihan yang konsisten. Implementasi hal tersebut berpeluang untuk dijalankan di Indonesia.
Pertama, anda harus bertindak ketika orang lain pasif. Kedua, anda harus bertindak dengan mementingkan kelompok sosial, bukan kepentingan pribadi.
Saat ini, konsep belajar yang termuat dalam kurikulum merdeka mulai menerapkan pembelajaran berbasis proyek. Di mana peserta didik diberi kebebasan untuk bereksplorasi, observasi, dan interpretasi dalam mendapatkan pengetahuan baru. Peran pendidik dapat ditingkatkan dengan diberi pemahaman terlebih dahulu terkait perilaku dan konsep utama dalam melihat tindakan pasif dan aktif di masyarakat. Secara tidak langsung, langkah tersebut juga dapat mendukung terciptanya pemahaman berbasis kelompok.
Terkhusus poin kedua, sembari mengandalkan konsep belajar di atas, dibutuhkan upaya serupa dengan beberapa negara maju dalam meningkatkan tindakan mementingkan kelompok. Anak-anak sedari dini diwajibkan membaca sastra untuk menumbuhkan kepekaan dan empati sosial.
Beberapa riset psikologi juga memperlihatkan, bacaan sastra dapat meningkatkan empati seseorang. Sehingga tindakan yang dipilih tidak berfokus pada pemenuhan kepentingan pribadi semata. Berbagai langkah ini diharapkan dapat meningkatkan imajinasi dan dorongan seseorang untuk bertindak lebih aktif.
Semakin banyak orang biasa yang bertindak dan memiliki inisatif positif, kita bisa berharap dunia akan menjadi lebih baik. Kita tentu berharap, di masa depan, kita dapat menemukan tindakan-tindakan kolektif yang senantiasa menghadirkan nilai-nilai kepahlawanan.
Terakhir, Albert Einsten pernah berpesan bahwa “dunia adalah tempat yang berbahaya, bukan disebabkan dari banyak kejahatan yang terjadi, melainkan karena mereka yang melihat memilih untuk tidak melakukan apa-apa.”
Wawan Kurniawan, Peneliti Psikologi Sosial di Laboratorium Psikologi Politik, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia