Tengkes dan Rumitnya Persoalan Riil di Lapangan
Penanganan tengkes masih menghadapi kendala di lapangan, baik dari aparat pemerintah maupun masyarakat. Kebiasaan birokrasi yang hanya melakukan tindakan yang “asal baik-baik” saja sangat merugikan dan menyesatkan.
Menjelang tahun 2024 dimana angka tengkes seharusnya sudah bisa ditekan menjadi 14 persen secara nasional, ternyata kita masih menghadapi berbagai masalah serius. Padahal tahapan sekarang ini dapat dikatakan periode krusial karena waktu yang ada hanya tinggal setahun lagi.
Setidaknya ada tiga masalah riil yang saat ini sesungguhnya kita hadapi di lapangan. Pertama, soal persepsi. Di mana pun kami melakukan kegiatan, sebagai lembaga yang selama ini menekuni upaya membantu pemerintah mempercepat penurunan tengkes, kami sering sekali berhadapan dengan persepsi yang salah.
Persepsi yang salah pertama-tama datang dari aparat pemerintah. Mereka tak jarang menyampaikan keheranan mengenai angka-angka tengkes di wilayahnya. Mereka keberatan terhadap hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 yang menjadi dasar dalam penentuan prevalensi tengkes sampai tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Mereka bahkan berani mengajukan data-data by name, by address untuk membuktikan bahwa mereka jauh lebih memahami informasi data tengkes daripada pemerintah pusat.
Baca juga: Memaknai Hasil Penilaian Tengkes di Indonesia
Padahal data SSGI tidak bisa disandingkan dengan data dari aplikasi elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) yang dimiliki kabupaten kota. Sebagai dasar dalam menentukan besaran masalah, maka survei SSGI hanya cukup berbasis pada sampel, bukan individu. Seharusnya setiap pemerintah kabupaten/kota menjadikan data SSGI sebagai pintu masuk penanganan—bukan membantahnya terus-menerus—untuk kemudian melakukan penanganan yang lebih spesifik dan berfokus kepada kondisi lokal.
Memang ada fakta bahwa data survei mungkin terkonsentrasi di wilayah yang memang didominasi oleh mereka yang mengalami tengkes. Tetapi bukankah itu seharusnya tidak membuat aparat pemerintah memilih-milih bekerja di wilayah tertentu saja? Tengkes adalah masalah nasional, maka angka SSGI seharusnya menjadi pendorong untuk melihat situasi ini sebagai beban bersama dan seharusnya diintervensi bersamaan tanpa melihat “dimana dan siapa”.
Berulang kali kami menerima pertanyaan mengenai data SSGI, sementara intervensi tengkes tak juga dilakukan. Bahkan seorang kepala daerah menyatakan bahwa ia telah memerintahkan aparatnya untuk melakukan survei ulang untuk memastikan angka yang sebenarnya. Ini jelas-jelas menunjukkan jika masalah tengkes belum diterima dengan tangan terbuka untuk melakukan perbaikan.
Seharusnya setiap pemerintah kabupaten/kota menjadikan data SSGI sebagai pintu masuk penanganan—bukan membantahnya terus-menerus.
Persepsi salah yang kedua, ironisnya, datang pula dari masyarakat. Entah bagaimana penjelasan yang sampai kepada mereka, tidak jarang kami berhadapan dengan masyarakat yang beranggapan jika tengkes dapat diobati. Parahnya lagi, masyarakat merasa bahwa tidak apa-apa anaknya pendek, karena kemungkinan ini karena faktor genetik.
Persepsi ini jelas fatal. Dampak tidak optimumnya pertumbuhan otak adalah permanen. Ini akan berdampak seumur hidup individu tersebut, meski tinggi badannya masih dapat dikejar. Ini yang tidak dipahami masyarakat. Lalu, menyamakan masalah tengkes dengan faktor genetik bisa berakibat kepada pengabaian.
Terus terang, baik tokoh masyarakat bahkan masyarakat biasa sering sekali merasa bahwa tengkes terjadi bukan karena gangguan konsumsi gizi, melainkan karena faktor genetik ini. Mereka menjadi abai bahwa “faktor genetik” yang mereka persepsikan dari orangtua sesungguhnya mungkin adalah tengkes yang terjadi pada generasi sebelumnya dan yang akan diteruskan pada anak-anak mereka saat ini akibat kesalahan persepsi tadi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menyatakan bahwa tengkes bagaikan lingkaran setan karena orangtua dengan tengkes cenderung akan memiliki anak-anak tengkes pula.
Jargon, bukan aksi
Masalah riil kedua adalah bahwa upaya penanganan tengkes masih banyak yang dipenuhi oleh jargon, daripada aksi.
Di lapangan kami menyaksikan bagaimana upaya menekan tengkes ini lebih kepada kegiatan yang sering sekali tidak berhubungan dengan perubahan perilaku masyarakat. Kita tidak alergi terhadap acara-acara, misalnya pemberian bantuan-bantuan pangan. Demikian juga pada kunjungan para pejabat kepada keluarga yang membutuhkan. Tetapi semua itu levelnya untuk menjadikan masalah tengkes sebagai perhatian bersama.
Namun aksi nyata yang sesungguhnya adalah pada bagaimana konsumsi di masyarakat, khususnya ibu hamil dan ibu balita dikoreksi. Masih banyak kelompok ini yang makan makanan bukan karena paham melainkan karena tidak paham. Masih banyak ibu yang tidak tahu mengenai kolostrum, peran Air Susu Ibu (ASI) serta makanan-makanan yang tinggi protein. Ini semua tidak dapat diatasi hanya dengan acara yang menghadirkan para pejabat di forum-forum tengkes. Tengkes hanya dapat diatasi secara permanen jika aksi nyata sampai pada level individu.
Namun aksi nyata yang sesungguhnya adalah pada bagaimana konsumsi di masyarakat, khususnya ibu hamil dan ibu balita dikoreksi.
Masalahnya adalah sering sekali petugas kesehatan tidak memiliki kapasitas untuk melakukan aksi sampai tingkat keluarga ini. Mereka punya aktifitas rutin lain. Keterbatasan anggaran menyebabkan mereka tidak mampu melakukan edukasi-edukasi kepada masyarakat. Padahal sampai sekarang pemerintah terus menerus melatih petugas kesehatan dengan anggaran yang jika digunakan untuk edukasi masyarakat, lumayan memberikan dampak.
Bukti lain adalah dana desa yang dikatakan dialokasikan untuk penanganan tengkes. Yang riil terjadi adalah penggunaannya pun hanya terkesan formalitas. Pembelian susu dan pelatihan kader yang peduli tengkes di tingkat desa, tidak memiliki dampak apa-apa selain menunjukkan formalitas kepedulian pada tengkes. Lain tidak.
Masalah orientasi
Ketiga, masalah riil yang dihadapi adalah pada orientasi masyarakat. Entah karena selama ini telah dibiasakan, saat ini jika kita berhadapan dengan masyarakat sering sekali mereka jauh lebih tertarik kepada bantuan nyata daripada “hanya” edukasi kesehatan. Masyarakat sering sekali bertanya apa yang mereka bisa bawa pulang, entah itu uang, makanan, atau sejenisnya, daripada berpikir soal perubahan perilaku. Masyarakat masih beranggapan, dan bahwa mereka mengalami tengkes semata-mata hanya karena persoalan ekonomi, karena faktor kemiskinan.
Baca juga: Perubahan Perilaku dan Pola Hidup Krusial Mencegah Tengkes
Baca juga: Melawan Sindrom Tengkes
Padahal riset-riset sebelumnya membuktikan bahwa di lokasi yang paling sulit dalam hal ekonomi sekalipun, edukasi kesehatan yang baik memberikan dampak perbaikan tengkes yang jauh lebih signifikan. Masyarakat masih merasa bahwa memberikan makanan bergizi pada anak haruslah yang dibeli; lupa bahwa mereka bisa memelihara ternak. Masyarakat masih beranggapan bahwa konsumsi pangan haruslah dibeli dari pasar dan karena itu mereka harus mengeluarkan uang; lupa bahwa di pekarangan rumah sekalipun kacang-kacangan dan sayuran dapat ditanam sendiri.
Kita berhadapan dengan masyarakat yang lebih senang melihat “pemberian” daripada bekerja keras dan bertanggung-jawab terhadap kebutuhan keluarganya sendiri.
Koreksi
Kondisi-kondisi riil seperti inilah yang kita hadapi. Dan itu menyebabkan ancaman serius. Dalam keadaan dimana persoalan tengkes di lapangan begitu rumit sesungguhnya, maka hasil positif yang kelak disetorkan membuat kita miris dan sedih.
Kebiasaan birokrasi yang hanya melakukan tindakan yang katakanlah “asal baik-baik” saja merugikan mereka yang saat ini sangat membutuhkan. Anak-anak yang tengkes terabaikan haknya, bahkan masa depannya. Keadaan itu juga akan menyeret kita ke dalam praktik berpikir yang menyesatkan ala “false negatif”, seolah-olah masalah tidak ada, padahal sangat nyata.
Baca juga: Mewujudkan "Stunting 14.0"
Pemerintah harus serius memperhatikan hal ini. Kerja-kerja penurunan tengkes bukan semacam lips service belaka. Kita perlu memperhatikan pelaksanaannya karena jika tidak kita hanya akan menyimpan bom waktu hadirnya generasi yang sangat tidak kompetitif. Mau jadi apa Indonesia di masa depan jika seperempat warga negaranya (prevalensi tengkes nasional saat ini) adalah mereka-mereka yang tak punya kapasitas intelektual dan sakit-sakitan.
Jangan biarkan ini terjadi. Masalah riil di atas harus segera dijadikan panduan perubahan pendekatan sesegera mungkin.
Cashtry Meher, Dokter; Ketua Umum Yayasan Cahaya Peduli Semesta Indonesia