Setelah Ahmad Syafii Maarif wafat, banyak kalangan berharap pemikiran dan gagasan beliau tetap hidup dan diseminasikan. Apa relevansi pemikiran dan gagasan Buya untuk Indonesia kini dan mendatang ?
Oleh
ABD ROHIM GHAZALI
·4 menit baca
Ada dua muktamar yang memiliki ikatan emosional yang kuat di Kota Surakarta: Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, 12 November 2022, dan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah, 18-20 November 2022.
Kedua muktamar itu antara lain menetapkan gagasan resmi ”Risalah Islam Berkemajuan” yang tak bisa dipisahkan dari pemikiran Syafii Maarif yang pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah (1998-2005).
Bisa dikatakan, ”Risalah Islam Berkemajuan” merupakan antitesis dari gagasan Islam yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan (din wa daulah) yang memopulerkan istilah jihad, khilafah, takfiriyyah, thoghut yang, meminjam istilah Buya Syafii, menyebabkan (umat) Islam berada di buritan peradaban.
Setelah Ahmad Syafii Maarif wafat, banyak kalangan berharap pemikiran dan gagasan tokoh yang populer disapa Buya itu tetap hidup dan diseminasikan, antara lain melalui upaya yang sistematis agar lahir Buya-Buya baru dari kalangan generasi muda.
Mengapa perlu Buya-Buya baru? Apa relevansi pemikiran dan gagasan Buya untuk Indonesia kini dan mendatang sehingga perlu tetap dirawat, disemai, dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari? Setidaknya ada tiga pemikiran dan gagasan Buya yang relevan untuk Indonesia kini dan mendatang.
Pertama, tentang keterpaduan semangat Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan; kedua, tentang keadilan sosial; dan ketiga, pemberantasan korupsi.
Indonesia adalah negara yang dihuni beragam etnik, suku, agama, kepentingan politik, dan golongan. Karena keberagaman ini, Indonesia berada dalam zona rawan konflik. Ada sejumlah kasus, karena berbeda agama, atau bahkan berbeda mazhab dalam satu agama, bisa baku serang (jika kekuatan berimbang), atau untuk kelompok yang kalah kuat (minoritas) bisa diusir, dirisak, dinistakan, dan dirusak atau dibakar fasilitas ibadah dan tempat tinggalnya. Keutuhan Indonesia senantiasa dalam ancaman.
Bagaimana cara menjaga keutuhan Indonesia? Salah satunya dengan mengedepankan gagasan agama yang mempersatukan, bisa mendamaikan semua kalangan. Hal ini penting karena agama, sebagai ajaran yang mempresentasikan wajah Tuhan di dunia, kerap diatasnamakan untuk kepentingan politik atau kepentingan lain yang membuat agama mengalami disfungsi.
Sebagaimana dipaparkan dalam The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror (2002) karya Direktur Eksekutif Center for Islamic Pluralism Steven Sulaiman Scwartz, dalam praktik, (umat) Islam tampil dalam dua wajah. Pertama, peramah, bersahabat, toleran, dan inklusif. Kedua, garang, pemarah, intoleran, dan eksklusif.
ilustrasi
Preman berjubah, istilah otentik dari Buya, adalah personifikasi dari disfungsi agama, yang mewakili wajah kedua (umat) Islam. Agama yang mendamaikan justru jadi alat permusuhan.
Di sinilah pentingnya gagasan Islam yang bisa memperkuat keutuhan Indonesia, yang tak dipertentangkan dengan Pancasila. Islam yang meneguhkan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan, yang ramah dengan lingkungan dan bisa berjalan beriringan dengan pemeluk agama-agama lain.
Islam harus dibersihkan dari daki-daki politik yang memecah belah, dengan merujuk pada spirit kitab suci yang otentik. Ayat-ayat kitab suci harus dibaca dan ditafsirkan sesuai fungsinya yang jadi rahmat bagi semesta (rahmat- an lil ’alamin). Gagasan inilah yang harus terus dilekatkan dengan generasi muda yang kelak jadi pemimpin bangsa.
Keadilan sosial
Gagasan lain adalah tentang pentingnya memperjuangkan keadilan sosial. Kalau kemiskinan sudah bisa kita usir sampai ke ujung (dunia), kata Buya, barulah kita bisa berharap keadilan bisa tegak di negeri kita. Sila dari Pancasila yang yatim piatu adalah ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Selain karena kesenjangan sosial, Indonesia masih dalam balutan budaya korupsi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2022, rasio gini penduduk Indonesia ada di angka 0,384. Angka ini naik 0,003 poin jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, September 2021. Artinya, kesenjangan sosial di Indonesia makin melebar. Semakin kecil rasio gini di suatu negara, semakin menyempit kesenjangan sosialnya.
Kata Buya, kita harus mendukung setiap upaya pemberantasan korupsi walau harus berhadapan dengan kawan sendiri.
Kesenjangan sosial, antara lain, disebabkan oleh tingginya angka korupsi. Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2021 ada di angka 38 dari skala 0-100. Indonesia berada di urutan ke-96 dari 180 negara.
Memang ada perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya (peringkat ke-102), tetapi karena korupsi lebih banyak dilakukan pejabat negara, dampaknya sangat signifikan bagi gagalnya peningkatan kesejahteraan. Kemiskinan meningkat karena dana bantuan sosial untuk mereka dikorupsi pejabat negara.
Franz Magnis-Suseno adalah salah satu tokoh yang bersaksi bahwa Buya Syafii merupakan pejuang yang gigih dalam memerangi korupsi. Menurut Romo Magnis, Buya menolak keras upaya pelemahan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang KPK. Buya juga menyetujui hukuman berat bagi para koruptor, termasuk hukuman mati.
Kata Buya, kita harus mendukung setiap upaya pemberantasan korupsi walau harus berhadapan dengan kawan sendiri. Selama korupsi masih merajalela, selama itu pula keadilan sosial merana. Kita semua, terutama anak-anak muda, harus menyadari kondisi ini. Hanya mereka yang memiliki kesadaran yang bisa menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.
Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif Maarif Institute