Pentingnya Regulasi dan Pengawasan Berbasis Teknologi di Sektor Keuangan
Di dunia yang kian digital dan berkembang cepat, regulator keuangan bersama pelaku industri mau tidak mau harus berinvestasi untuk menerapkan RegTech dan SupTech lebih intensif agar bisa mengatasi berbagai masalah.

Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dan atau RUU P2SK. Regulasi yang berformat omnibus ini diharapkan bisa meredefinisikan kembali sektor keuangan agar lebih sesuai dengan kondisi saat ini.
Isi RUU P2SK banyak terkait dengan pengaturan dari sisi kelembagaan. Sebagai fondasi penting untuk memperkuat sektor keuangan, nantinya UU tersebut harus diturunkan dalam peraturan di bawahnya agar dapat diimplementasikan dengan baik.
Teman saya, seorang CEO bank digital yang baru pindah dari industri teknologi finansial (fintech), mengeluhkan banyaknya regulasi perbankan dan kerumitan proses pemenuhannya. Bagi seseorang yang tumbuh di industri yang tidak diregulasi secara ketat, hal tersebut merupakan tantangan tersendiri.
Beberapa survei industri keuangan memperkirakan biaya pemenuhan kewajiban kepatuhan (compliance cost) mencapai sekitar 5 persen dari total biaya. Adapun potensi biaya karena tidak memenuhi kepatuhan (non-compliance cost) bisa dua hingga tiga kali lipatnya. Dalam hal ini, RegTech (regulatory technology) dan SupTech (supervisory technology) dapat membantu.
RegTech adalah penerapan teknologi agar regulator dan pelaku industri dapat ebih efektif dan efisien dalam memenuhi regulasi. Sebagai contoh, kita ambil proses perizinan. Pelaku industri yang mengajukan perizinan umumnya berurusan dengan kotak hitam birokrasi, sulit untuk mengetahui sampai di mana proses perizinan sudah berlangsung dan kapan akan keluar.
RegTech adalah penerapan teknologi agar regulator dan pelaku industri dapat ebih efektif dan efisien dalam memenuhi regulasi.
Dengan makin banyaknya pelaku industri keuangan dan keterbatasan sumber daya regulator, permasalahan ini semakin penting untuk dipecahkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F05%2F30%2F36f9c876-2dea-47a0-88c1-577086c7a40d_jpeg.jpg)
Saat ini regulator, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), sudah mulai menyediakan mekanisme perizinan digital atau e-licensing yang diharapkan transparan seperti halnya e-dagang memiliki mekanisme pemantauan pesanan.
Walaupun masih bisa ditingkatkan lagi dari sisi pengalaman pengguna, fasilitas e-licensing akan banyak membantu pelaku industri keuangan. Di sisi lain, proses perizinan pun perlu ditinjau ulang agar bisa mengikuti kecepatan perkembangan industri dan teknologi.
Namun, RegTech lebih dari sekadar implementasi e-licensing. Perubahan industri yang cepat menuntut penyesuaian peraturan, khususnya terkait mikro-teknikal, yang cepat pula. Di awal pandemi Covid-19, BI pernah menanyakan seberapa cepat bank-bank bisa mengubah batas penarikan uang tunai di ATM. Tentu saja jawabannya tergantung sistem dan kemampuan masing-masing bank.
Dalam hal ini, BI sebenarnya bisa menerapkan konsep RegTech dengan mengimplementasikan machine-readable regulation. BI bisa membuat sistem yang berisi semua parameter sistem pembayaran, seperti batas penarikan uang tunai di ATM, maksimum saldo uang elektronik, dan tabel biaya QRIS.
BI bisa membuat sistem yang berisi semua parameter sistem pembayaran, seperti batas penarikan uang tunai di ATM, maksimum saldo uang elektronik, dan tabel biaya QRIS.
Di sisi perbankan dan fintech, sistem mereka diwajibkan untuk mengacu kepada parameter sistem pembayaran tersebut menggunakan API (application programming interface) secara periodik. Dengan machine-readable regulation, regulator bukan hanya menerbitkan peraturan dalam bentuk PDF, melainkan juga dalam bentuk dokumen standar, sistem, dan API. Dengan demikian, regulator bisa melakukan perubahan peraturan dengan cepat, bahkan secara real time.
Ke depannya, konsep machine-readable regulation tidak hanya dapat digunakan untuk pengaturan yang bersifat kuantitatif, tetapi juga pengaturan yang bersifat konseptual dan kualitatif. Untuk itu, regulator perlu menerbitkan peraturan dalam format yang bisa dianalisis dan dipahami secara semantik menggunakan kecerdasan artifisial dan machine learning di sisi pelaku industri.
Baca Juga: Web3 sebagai Platform Koperasi Digital

Lebih efisien
Proses pemenuhan kewajiban pun dapat dibuat lebih efisien dengan RegTech, misalnya, untuk proses know your customer (KYC) policy. Sebelum membuka rekening, bank dan fintech harus melakukan proses KYC terhadap calon nasabah, baik secara manual maupun daring menggunakan e-KYC.
Dari perspektif nasabah, setiap kali mereka membuka rekening baru, mereka harus melakukan proses KYC ulang. Bayangkan seandainya regulator bersama dengan industri membangun platform e-KYC bersama. Nasabah yang sudah melalui proses KYC di suatu institusi tidak perlu mengulang proses yang sama, tetapi hanya perlu membagikan akses data KYC dari satu institusi ke institusi lainnya. Tentunya hal ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan saksama.
Selain RegTech, regulator perlu juga menerapkan SupTech atau pengawasan berbasis teknologi. SupTech bisa diterapkan, antara lain, untuk proses pelaporan yang saat ini masih relatif manual. Beberapa regulator memang sudah mulai menerapkan pelaporan daring, misalnya BI dengan BI Antasena dan OJK dengan OJK-BOX (OBOX).
Regulator perlu juga menerapkan SupTech atau pengawasan berbasis teknologi. SupTech bisa diterapkan, antara lain, untuk proses pelaporan yang saat ini masih relatif manual.
Namun, umumnya data yang disimpan oleh pelaku industri diolah dulu menjadi laporan dengan format tertentu, kemudian diunggah ke dalam sistem pelaporan daring.
Pengolahan manual di sisi regulator pun tidak jarang masih harus dilakukan. Hal ini seharusnya bisa dibuat lebih mulus dengan mewajibkan pelaku industri melaporkan dalam format digital standar. Misalnya, menggunakan extensible business reporting language (XBRL) di mana semua field pelaporan distandardisasi sehingga bisa diterjemahkan dan dimasukkan ke dalam basis data dengan lebih cepat dan akurat.
Dengan menggunakan standardisasi yang baik dan dilakukan antar-regulator, para pelaku industri yang harus melapor kepada dua atau lebih regulator dapat membuat pelaporan dengan lebih efisien karena tidak menggunakan format khusus dari regulator tertentu.

Pengawasan pun dapat ditingkatkan menggunakan SupTech. Misalnya, dalam konteks Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris (APUPPT). Saat ini, bank dan fintech melakukan proses pemantauan APUPPT menggunakan data yang ada, dengan algoritma standar, dan parameter sederhana yang statis untuk menghasilkan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM).
LTKM tersebut dikirim ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk kemudian dianalisis lebih lanjut. Bayangkan jika PPATK bisa menaruh modul agen di setiap institusi perbankan dan fintech. Modul agen tersebut berfungsi sebagai supervisor elektronik yang meneliti semua data transaksi yang ada di institusi tersebut dan melakukan analisis secara menyeluruh untuk menghasilkan LTKM yang lebih akurat.
Selain itu, pendekatan ini akan mengurangi keperluan untuk mengumpulkan data detail secara terpusat yang bisa menimbulkan risiko yang lain lagi.
Di dunia yang semakin digital dan berkembang dengan cepat, regulator keuangan bersama dengan para pelaku industri mau tidak mau harus mulai berinvestasi untuk menerapkan RegTech dan SupTech lebih intensif agar bisa mengatasi berbagai masalah terkait regulasi dan kepatuhan dengan efektif dan biaya yang lebih efisien.
* Rico Usthavia Frans,Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society