Justifikasi Kembalinya "Pithecanthropus"
Kekhawatiran peneliti dan warga Belanda apabila ”Pithecanthopus” dan seluruh koleksi Dubois dikembalikan ke Indonesia, peneliti global akan kesulitan mengakses. Juga, apakah Indonesia mampu melindungi koleksi Dubois.
Beberapa pekan lalu, warga Belanda dan komunitas sains digemparkan oleh permintaan Indonesia untuk merepatriasi delapan obyek sains dan budaya yang disimpan di Belanda. Kali ini, obyek yang paling mengundang kontroversi adalah koleksi fosil Dubois, termasuk tengkorak, tulang paha, dan gigi Pithecanthropus erectus (kini disebut Homo erectus).
Kebetulan pada saat yang bersamaan saya tengah berada di Trinil, situs temuan koleksi Dubois, bersama peneliti dari Indonesia dan Belanda dalam sebuah proyek penelitian kerja sama. Berikut refleksi saya atas diskusi dengan rekan peneliti dan respons berbagai media.
Argumen reapatriasi
Merangkai sejarah dan penelusuran asal-usul (provenance) obyek dengan rinci adalah kunci sukses diskursus repatriasi. Tanpa mengetahui dengan jelas konteks temuan dan penemuannya, argumen-argumen repatriasi mudah disanggah. Begitu pula dalam repatriasi Pithecanthropus.
Sebagai konteks, Pithecanthropus ditemukan oleh Eugene Dubois, akhir abad ke-19. Di Eropa saat itu banyak peneliti berfantasi menjadi penemu missing link, sebuah istilah untuk menyebut ’peralihan’ evolusi antara kera dan manusia; salah satunya adalah Dubois.
Ia memulai pencariannya di Sumatera pada 1888, tetapi tidak membuahkan hasil. Dua tahun kemudian, ia pindah ke tanah Jawa yang lebih menjanjikan, berkat laporan temuan fosil manusia purba di Wajak tak lama sebelumnya.
Baca Juga: Situs Manusia Purba Sangiran Masih Menyimpan Misteri
Benar saja, pada rentang 1891-1892, sebuah tengkorak, tulang paha, dan gigi geraham manusia purba berhasil terkuak di tanah Trinil, dekat Ngawi, Jawa Timur. Temuan ini mendongkrak popularitas Dubois meski diselimuti kontroversi dan serangan dari komunitas saintifik dunia.
Bagi warga Indonesia, Pithecanthropus adalah sebuah warisan dari sebuah ’peradaban’ purba di tanah yang kini adalah Indonesia. Ia adalah nenek moyang manusia yang pernah tinggal di tanah Jawa.
Pentingnya Pithecanthropus bagi Indonesia sudah disadari M Yamin, yang pada 1951 mengekspresikan keinginannya memulangkan Pithecanthropus disertai berbagai obyek budaya. Dalam menyusun historiografi Indonesia, ia memilih mengawali dari zaman prasejarah untuk menunjukkan kebesaran peradaban Indonesia jauh sebelum dikolonisasi Barat.
Ia juga berargumen, kembalinya Pithecanthropus bisa menjadi sebuah pemicu bagi pengembangan penelitian arkeologi dan antropologi Indonesia.
Sementara bagi warga Belanda, Pithecantropus adalah simbol keberhasilan saintifik negaranya pada masa kolonial. Ia menjadi bukti bahwa negaranya menjadi yang pertama menemukan missing link sebagai bukti teori Darwin. Hari ini, Pithecanthropus dianggap bersifat obyektif, universal, bukan obyek budaya sehingga tidak dapat diklaim siapa pun.
Namun, ini tidak tepat. Obyek alam tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik. Dalam kasus ini, misalnya, Pithecanthropus telah dilabeli sebagai kebanggaan dan harta karun nasional oleh kedua belah pihak sehingga ia bukanlah benda yang sifatnya obyektif.
Lagi pula, status kepemilikan Pithecanthropus sudah menjadi perdebatan politis dan hukum sejak lama: apakah milik pribadi Dubois, negara (state-owned property), atau koloni sehingga menyebut Pithecanthropus bersifat universal (dalam hal kepemilikan, bukan kegunaan) tidak sepenuhnya tepat.
Poin penting dapat dijelajahi dalam diskusi Pithecanthropus bahkan datang dari aspek sosial. Tak sepenuhnya tepat mengatakan Pithecanthropus ditemukan oleh Dubois. Pada kenyataannya, penggalian itu dilakukan oleh para pekerja paksa: narapidana yang direkrut sebagai kuli, yang diawasi oleh dua asisten Dubois.
Dubois hanya datang ke situs saat mendapat laporan penting atau sekadar mengecek kemajuan penggalian. Selebihnya, ia menunggu kiriman fosil-fosil di kediamannya di Tulungagung. Jadi, secara praktis, para pekerja paksa inilah penemunya meski diinisiasi oleh Dubois.
Hal semacam ini adalah salah satu kritik utama oleh paradigma dekolonisasi: peran warga lokal dihapus dan tak diakui, sementara peneliti yang mayoritas dari Barat dengan pendidikan dan kuasa yang lebih tinggi menjadi tokoh utama.
Pekerja paksa Dubois adalah narapidana, yang tidak mampu bersuara karena terikat sistem hukum kolonial. Relasi kuasalah yang menjadi penyebab penghapusan pengakuan ini. Hal semacam ini lazim ditemukan, tak hanya dalam kasus Dubois, tetapi juga pada ekskavasi arkeologi di mana pun dan kapan pun, bahkan pada hari ini.
Baca Juga:Tabir Asal-usul Manusia Modern Kian Terkuak
”Knowledge building”
Salah satu kekhawatiran dari peneliti dan warga Belanda adalah apabila Pithecanthopus dan seluruh koleksi Dubois yang ribuan jumlahnya dikembalikan ke Indonesia, peneliti global akan kesulitan mengakses dan mempelajarinya. Lebih lagi, mereka mempertanyakan kemampuan Indonesia untuk melindungi koleksi sebesar ini.
Salah satu tulisan surat kabar di Belanda menyoroti kasus perusakan fosil Homo floresiensis oleh peneliti senior Indonesia dan pengalaman penulisnya yang menemukan jual-beli fosil di Flores. Ia menyimpulkan bahwa mengembalikan koleksi Dubois ke Indonesia adalah tindakan gegabah yang akan menghambat studi saintifik.
Hemat saya, ini adalah tuduhan yang tidak adil. Skema repatriasi tidaklah seperti anak kecil yang merengek meminta mainannya kembali lantas dibiarkan begitu saja. Koleksi Dubois akan (dan seharusnya) mendapatkan perhatian yang besar mengingat besarnya aspek historis dan saintifiknya.
Memang, sebagai orang yang pernah mempelajari aspek saintifik sebagian koleksi Dubois di Naturalis Leiden, saya menyaksikan betapa mudah dan terbukanya Naturalis terhadap peneliti yang ingin mempelajari koleksi ini. Publikasi saintifik koleksi Dubois juga tetap berlanjut sampai detik ini oleh kolega-kolega yang saya kenal.
Kontinuitas penelitian dan kemudahan akses harus dapat dijamin oleh Pemerintah RI. Bagaimanapun juga, penelitian koleksi ini juga bisa memberi makna saintifik, bahkan kultural yang lebih dalam, di samping kehadirannya sebagai penguat identitas Indonesia apabila berhasil dikembalikan nantinya.
Kekhawatiran publik semacam ini tak menjadi pertimbangan bagi Komite Gonsalves yang ditugasi untuk membentuk pedoman repatriasi Belanda. Bulan lalu, saya dan beberapa rekan diundang Komite Gonsalves mendiskusikan kebijakan repatriasi yang mereka bentuk.
Mereka menegaskan bahwa Belanda tidak ikut campur terhadap nasib obyek yang direpatriasi; mereka hanya merespons dan memutuskan apakah obyek tersebut pantas dipulangkan, sementara segala pendayagunaan dan keputusan setelahnya diberikan sepenuhnya kepada negara penuntut.
Dalam diskusi dengan Komite Gonsalves, saya memberikan tantangan, bisakah obyek alam direpatriasi? Apa landasannya? Apa argumen yang memungkinkannya? Diskursus kembalinya Pithecanthropus pasti akan menjadi sorotan dunia sebab sejauh ini berbagai permintaan repatriasi obyek sejarah alam tidak membuahkan hasil.
Argumen yang tampil dalam kasus Pithecanthropus akan panjang, kompleks, dan berliku, tidak hanya dari segi hukum dan politik, tetapi juga secara sosial dan sains. Kasus ini akan jadi tonggak bagi perdebatan lain, misalnya mampukah dikotomi sains dan budaya diselesaikan; siapa pemiliknya yang sah mengingat saat itu Indonesia adalah Hindia Belanda?
Repatriasi secara mendasar adalah gesture politik, tetapi prosesnya meliputi berbagai bidang ilmu. Oleh sebab itu, repatriasi, terutama kasus koleksi Dubois, tak boleh hanya melibatkan politisi, tetapi juga harus melibatkan saintis, sejarawan, dan masyarakat terkait. Saya ingin mengingatkan pernyataan yang selalu ditegaskan Hilmar Farid bahwa repatrasi bukanlah sekadar pengembalian barang. Titik beratnya adalah pada knowledge building, membangun pengetahuan dan penguatan kerja sama berbagai pihak.
Sukiato Khurniawan Dosen di Departemen Geosains UI. Pernah meneliti koleksi Dubois di Naturalis Biodiversity Center Leiden, Belanda