Pemerintah harus serius untuk mengembalikan program JHT ke tujuan filosofisnya guna mendukung pengurangan kemiskinan para pekerja, khususnya di usia lansia.
Oleh
TIMBOEL SIREGAR
·5 menit baca
DIDIE SW
ilustrasi
Upaya pemerintah mengatur kembali pencairan dana Program Jaminan Hari Tua (JHT) dengan menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 2/2022, telah menimbulkan aksi penolakan dari kalangan pekerja dengan menggelar demonstrasi. Aksi penolakan berakhir dengan terbitnya Permenaker No 4/ 2022 yang menggantikan Permenaker No 2/2022 tersebut.
Permenaker No 2/2022 merujuk Pasal 35 Ayat (2) dan Pasal 37 Ayat (1) UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mensyaratkan pencairan JHT hanya karena tiga alasan: pekerja pensiun, alami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Ketentuan ini tak membolehkan pencairan karena PHK.
Pemerintah beralasan, saat ini sudah ada Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang salah satu manfaat -nya adalah pemberian uang tunai maksimal enam bulan ke pekerja yang ter-PHK. Tawaran pemerintah ini ditolak.
Kalangan pekerja mengatakan, dana JHT jadi penolong mereka ketika ter-PHK, sehingga tetap menginginkan pencairan dana JHT sebulan pasca-PHK. Permintaan pekerja akhirnya diakomodasi di Permenaker No 4/2022. Ini keputusan politis pemerintah untuk meredam aksi pekerja.
Tentunya keputusan ini menyisakan masalah. Secara yuridis, isi Permenaker No 4/ 2022 bertentangan dengan Pasal 35 Ayat (2) dan Pasal 37 Ayat (1) UU SJSN. Mengacu Pasal 5 (huruf c) dan Pasal 7 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, isi Permenaker No 4 tak boleh bertentangan dengan Pasal 35 Ayat (2) dan Pasal 37 Ayat (1) UU SJSN.
Apalagi MK dalam putusan No 33/ PUU-XX/2022 memperkuat kedudukan hukum Pasal 35 Ayat (2) dan Pasal 37 Ayat (1) UU SJSN sebagai pasal yang konstitusional.
Secara filosofis, pencairan dana JHT di usia pensiun ditujukan agar pekerja memiliki tabungan di masa tua, sehingga mereka tak jatuh di bawah garis kemiskinan.
BPS melaporkan, terdapat 29,3 juta penduduk lansia di Indonesia (10,82 persen) pada 2021. Dilihat dari status ekonomi, 43,29 persen penduduk lansia berasal dari rumah tangga dengan kelompok pengeluaran 40 persen terbawah, dan 37,4 persen di kelompok 40 persen menengah.
Program JHT di UU SJSN ditujukan agar pekerja di usia produktif bisa menabung untuk masa tuanya. Tujuan ini kemungkinan besar tak bisa tercapai dengan Permenaker No 4/2022. Di sisi lain pekerja tetap menginginkan dana JHT bisa menopang daya belinya setelah PHK.
Saat ini pemerintah dan DPR sedang menggodok RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK), dengan menggunakan metode omnibus law. Salah satu UU yang disasar adalah UU SJSN yaitu terkait program JHT.
Pasal 185 RUU P2SK merevisi Pasal 36 UU SJSN dengan menempatkan iuran JHT pada dua akun, yaitu Akun Utama (AU) dan Akun Tambahan (AT), dengan ketentuan iuran JHT yang ditempatkan di AUharus lebih besar daripada iuran yang ditempatkan di AT.
Menurut saya pembagian dua akun ini baik dan menjadi solusi masalah JHT saat ini. AU dicairkan pada masa pensiun, sementara AT boleh diambil sesuai kebutuhan pekerja seperti pada saat PHK. Pembagian dua akun ini memastikan pekerja memiliki tabungan di masa tua, dan mengembalikan filosofi JHT bagi pekerja.
Komposisi iuran di kedua akun akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Saya mengusulkan 70 persen untuk AU dan 30 persen untuk AT. Dengan komposisi ini pekerja akan memiliki dana tabungan yang cukup untuk mendukung masa pensiun, ditambah dana jaminan pensiun yang juga akan diterima pasca-pensiun.
Untuk mendukung dana di AT lebih besar lagi nilainya, saya usulkan RUU P2SK membuka mekanisme top up iuran JHT, yaitu pekerja dapat menambah iurannya lebih dari 2 persen, mengikutsertakan upah tunjangan tak tetap dalam perhitungan iuran JHT, atau mengikutkan komponen non-upah seperti tunjangan hari raya, uang servis hingga bonus sebagai iuran JHT.
Pasal 185 RUU P2SK, yang mengubah Pasal 38 Ayat (1) UU SJSN, membatasi nilai upah sebagai basis perhitungan iuran JHT, justru akan menjadi masalah bagi pekerja mendapatkan manfaat JHT lebih baik lagi. Saat ini tidak ada pembatasan upah sebagai perhitungan iuran JHT, yang juga diterapkan pada iuran program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Pengaturan JHT di RUU P2SK seharusnya diarahkan juga untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pekerja sehari-hari. Saat ini program JHT baru memberikan manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan ke pekerja peserta JHT. Baik juga bila ada MLT pangan dan transportasi untuk mendukung daya beli pekerja.
Pengaturan JHT di RUU P2SK seharusnya diarahkan juga untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pekerja sehari-hari.
Dukungan regulasi lain
Untuk memastikan pelaksanaan dua akun ini tak mengalami penolakan dari pekerja, Pemerintah harus membenahi beberapa regulasi lain terkait PHK. Pertama, merevisi UU No 2/2004 tentang penyelesaian perselisahan hubungan industrial dengan membatasi penyelesaian perselisihan PHK maksimal enam bulan.
Kedua, mengintegrasikan kompensasi PHK ke dalam program jaminan sosial dengan mengalihkan kewajiban pelaksanaan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 24 ke BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, mempermudah penjaminan program Jaminan Kesehatan Nasional bagi pekerja yang ter-PHK atau mengundurkan diri beserta keluarganya, paling lama enam bulan, tanpa lagi membayar iuran, dengan merevisi Pasal 27 Perpres No 82/2018.
Keempat, memastikan seluruh pekerja ter-PHK, termasuk pekerja yang jatuh tempo kontrak kerjanya atau pekerja mengundurkan diri, mendapatkan manfaat program JKP maksimal enam bulan, dengan merevisi Pasal 20 Ayat (1) dan (2) PP No 37/2021.
Pemerintah harus serius untuk mengembalikan program JHT ke tujuan filosofisnya guna mendukung pengurangan kemiskinan para pekerja, khususnya di usia lansia.