Inggris Raya di Era Rishi Sunak dan Kesempatan Indonesia
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari dinamika ekonomi politik di Inggris. Di era Perdana Menteri Rishi Sunak ini, ada peluang kerja sama Indonesia-Inggris yang lebih erat, terutama bidang pendidikan dan kebudayaan.
Oleh
MUHAMAD ROSYID JAZULI
·4 menit baca
Meski singkat, baru-baru ini publik Indonesia sempat dibuat gelisah oleh berita-berita dari Inggris Raya. Kabarnya, Inggris Raya sedang dilanda krisis ekonomi. Pound sterling sempat terjungkal dan masyarakat sulit mengakses bahan makanan. Yang mutakhir, 25 Oktober lalu, negara ini melantik Perdana Menteri Rishi Sunak yang merupakan perdana menteri pertama keturunan Asia.
Sunak menggantikan Liz Truss yang menyerah setelah 44 hari memimpin. Inggris di era Sunak kini masih berjibaku dengan inflasi tinggi, yakni sekitar 10 persen, paling tinggi selama 40 tahun terakhir. Kenaikan harga-harga ini, setidaknya, dua hal menjadi sebabnya.
Pertama, semasa kepemimpinan Boris Johnson, Inggris banyak menyubsidi warga yang ekonominya terdampak pandemi Covid-19. Misalnya, para pekerja di Inggris Raya yang terdampak pagebluk berhak mendapat bantuan sekitar 2.000 pounds (kurang lebih Rp 38 juta) per bulan untuk beberapa waktu di 2021.
Akibatnya, ketika pandemi mereda, publik punya kekuatan dan ”nafsu” belanja yang relatif besar. Namun, mereka dihadapkan dengan stagnansi ketersediaan berbagai hal, termasuk pangan dan akomodasi. Sudah hukum ekonomi alam, ketika permintaan lebih besar daripada suplai, harga-harga terkerek naik.
Kedua, ekonomi Inggris sangat global. Dengan kata lain, negeri ini sangat bergantung impor. Dari sisi pangan, contohnya, setengah (52 persen) dari konsumsi dalam negeri di Inggris berasal dari impor, yang sumbernya didominasi dari Uni Eropa (29 persen) (DEFRA-UK, 2016). Malang, harga pangan dan energi di Eropa meroket akibat, khususnya, perang Rusia-Ukraina, yang jelas menambah hantaman ke ekonomi Inggris.
Di tengah gejolak ekonomi tersebut, Pemerintah Inggris sempat tersandung skandal pesta (partygate). Ketika memimpin, Johnson dan jajarannya terpergok berpesta ria dalam beberapa kesempatan di akhir 2020. Padahal, mereka ”memaksa” warga untuk tetap di rumah dan menghindari kerumunan.
Pananganan pandemi di Inggris sebenarnya merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Negara ini menjalankan kehidupan normal baru paling awal, dengan program vaksinasi yang relatif efektif dan luas jangkauannya. Namun, keberhasilan menangani pandemi tersebut tercoreng oleh partygate Johnson. Inilah agaknya mula gejolak politik yang bergulir hingga kini terpilihnya Sunak sebagai PM Inggris.
Diprediksi, Sunak fokus memperkuat kebijakan penaikan pajak yang telah diinisasi oleh pendahulunya. Untuk sementara, ia kemungkinan meneruskan kebijakan putar balik pajak (tax u-turn) yang diinisiasi Truss. Misalnya, pajak perusahaan akan naik dari 19 persen menjadi 25 persen, sebagaimana direncanakan semula oleh pendahulunya, Johnson. Sunak akan sejenak meninggalkan standar permainan ekonomi konservatif yang umumnya erat dengan penurunan pajak.
Bagaimana kita di Indonesia menyikapi situasi dinamis di Inggris Raya tersebut? Pada dasarnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kehadiran Sunak cukup membuat tenang pasar finansial Inggris. Permintaan pound sterling mulai naik, terefleksikan dari menguatnya nilai mata uang tersebut terhadap dollar AS dan naiknya peminat surat utang Inggris (British gilt).
Bagaimana kita di Indonesia menyikapi situasi dinamis di Inggris Raya tersebut? Pada dasarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Di tengah dinamika ekonomi-politik tersebut, negara bersistem parlementer tetaplah negara maju dan modern. Artinya, kegiatan sehari-hari warga Inggris tak banyak terdampak dinamika politik negara tersebut.
Berbagai layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial, tetap berjalan relatif normal. Pemerintah Inggris bahkan masih sanggup memberikan berbagai subsidi, termasuk subsidi listrik dan Universal Credit—semacam bantuan langsung tunai, bagi mereka yang tertekan finansialnya akibat krisis.
Kesempatan Indonesia
Sunak dijadwalkan datang ke KTT G20 di Bali pada 15-16 November ini. Tentu ini adalah kesempatan emas Indonesia membangun kesan baik (rapport) bagi Pemerintah Inggris.
Keterlibatan Sunak secara pribadi pada berbagai isu dan kebijakan di Indonesia memang masih agak minimal. Namun, sebagai PM keturunan Asia, Indonesia seharusnya berpeluang besar untuk membangun kedekatan dengan Sunak. Setidaknya, ia masih memegang kuat nilai-nilai tradisi dan keagamaan sebagaimana orang Asia pada umumnya.
Namun, harus diperhatikan, pasca-Brexit, perhatian kebijakan luar negeri dan ekonomi Inggris tak banyak menyentuh Asia, apalagi Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu melihat peluang di bidang lain, seperti pendidikan dan kebudayaan.
Kerja sama di bidang pendidikan dapat diupayakan, misalnya, untuk pembukaan sentra kebudayaan dan riset Indonesia di sejumlah kampus di Inggris. Hal ini diperlukan mengingat masih minimnya perhatian kampus-kampus di Inggris terkait isu-isu di Indonesia, padahal tiap tahun kita mengirimkan sekitar 3.500 pelajar ke sana.
Selain itu, kerja sama antarmasyarakat dapat juga diinisasi. Beberapa organisasi sosial dan keagamaan di Indonesia nyatanya telah memiliki cabang/perwakilan di Inggris Raya. Salah satunya, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di United Kingdom (PCINU UK).
Dengan difasilitasi Pemerintah Inggris, misalnya, para ilmuwan dan ulama NU dapat berbagi di berbagai kegiatan seminar dan diskusi publik di berbagai komunitas di Britania Raya. Pemahaman Islam moderat yang NU pedomani diharapkan dapat menambah khazanah pemahaman Islam di Inggris. Ini sekaligus mengonter arus pemahaman Islam garis keras yang deras menyebar di era keterbukaan teknologi ini.
Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, Pengurus PCINU UK, dan Mahasiswa Doktoral di University College London.