Ekonomi Dunia dan Kita
Memberi narasi ketakutan secara berlebihan akan menyebabkan pengusaha menunda atau berhenti investasi dengan menyimpan dollar AS atau emas, dan ini akan lebih memperlemah rupiah dan ekonomi.
Kekhawatiran bahwa perekonomian dunia akan mengalami krisis pada tahun ini dan tahun depan tentu beralasan karena Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina menyebabkan masalah besar di Eropa dan AS.
Covid-19 di Eropa dan Amerika Serikat sudah menjadi endemi. Di hampir semua negara Eropa dan di AS, orang-orang tidak lagi pakai masker. Seperti juga di Indonesia, di rumah sakit hampir tidak ada lagi pasien Covid-19 seperti tahun 2020-2021.
Yang masih menjadi masalah adalah perang Rusia-Ukraina. Kapan berakhir, yang tahu cuma Presiden Rusia Vladimir Putin. Mungkin masih perlu waktu karena kalau Rusia mundur, Putin pasti dimundurkan juga. Namun, ekonomi Rusia juga tak bisa membiayai perang yang lama, dan semangat tentaranya turun.
Salah urus
Kenapa perang itu menyebabkan masalah ekonomi yang sulit di Eropa? Karena negara-negara Eropa salah menghitung ketergantungan Eropa pada suplai energi dari Rusia. Embargo ekonomi terhadap Rusia oleh AS dan Eropa dibalas dengan menutup pipa gas. Akibatnya, Eropa menderita kekurangan energi dan kekacauan ekonomi.
Hanya Perancis dan Norwegia yang bisa bertahan karena listrik Perancis 70 persen tenaga nuklir; dan Norwegia listriknya 95 persen dari hidro. Norwegia juga punya sumber minyak dan gas.
Sering disebut sebagai contoh negara yang paling kritis dan sakit ekonominya adalah Inggris. Dua bulan lalu saya ke Inggris, berdiskusi dengan banyak ahli di Oxford, sebagai member of trustee dari Oxford Centre for Islamic Studies.
Baca juga : Resesi Global dan Pilihan Kebijakan
Kesulitan utama Inggris bukan karena perang atau Covid-19 saja, tetapi juga karena Brexit, keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Ekspor Inggris ke Eropa menjadi lebih mahal karena kena bea.
Industri dan juga dunia usaha jadi tak efisien karena pekerja dari negara-negara Eropa Timur, seperti Polandia, Bulgaria, atau Ceko, yang sebelumnya bekerja dengan gaji lebih murah, kembali ke negaranya. Begitu juga sopir truk menjadi kurang sehingga rantai pasok terganggu. Restoran dan pekerja bangunan juga berkurang dan lebih mahal. Akibatnya, ekonomi melambat. Pandemi dan perang memperparah keadaan.
Sering juga diambil contoh Sri Lanka sebagai negara yang bangkrut di Asia. Negara ini tak bisa bayar utang luar negeri dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat bukan karena krisis dunia, melainkan karena salah urus oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Membangun dengan pinjaman besar dari China, mengutamakan daerahnya sendiri dan korupsi. Dan pada waktu pandemi, turis tidak ada. Maka, rakyat mengamuk dan Rajapaksa terusir, lari, walaupun kemudian kembali.
Gotabaya sebelumnya menteri pertahanan dan kakaknya presiden. Pada 2006, Pemerintah Sri Lanka minta Indonesia mendamaikan pemerintah dengan Tamil. Hamid Awaludin sewaktu duta besar di Moskwa berkali-kali datang ke Kolombo bertemu Presiden. Beberapa menterinya datang ke Jakarta menemui saya, termasuk Menhan Gotabaya. Kami bertemu satu jam, Dia bicara 50 menit dan saya hanya bicara 10 menit.
Belum sempat saya ke Kolombo, dia serang besar-besaran Tamil dan jatuh korban lebih dari 200.000 orang tewas. Begitulah cara dia memerintah sehingga jadi negara gagal. Jadi, negara gagal atau bermasalah banyak karena salah urus.
Solusi atasi krisis
Apakah dunia akan resesi besar? AS yang diperkirakan resesi ternyata kuartal III 2022 tetap tumbuh 2,5 persen. AS memang lebih mudah. Kalau defisit, tinggal cetak uang dan seluruh dunia pakai atau tabung. Artinya, kita pinjamkan dollar tanpa bunga. The Fed naikkan suku bunga, akan memengaruhi sektor keuangan dunia dan dollar kembali.
Inflasi tentu akan memengaruhi daya beli. Masalah AS, sejak lama, karena biaya perang terlalu besar di Irak dan Afghanistan, lebih dari 5 triliun dollar AS. Biaya perang selama 10 tahun ini tentu sangat besar memengaruhi ekonomi AS; dan krisis keuangan 2008 besar akibatnya pada lembaga keuangan AS dan ekonominya.
Sekarang selalu dipersoalkan masalah energi dan pangan sebagai sumber krisis dunia.
Apakah krisis ekonomi AS dan Eropa akan berpengaruh pada ekonomi kita? Tentu ada pengaruh, tapi tak terlalu besar. Pengalaman krisis 2008 di AS; perdagangan dengan AS dan beberapa negara lain memang menurun sehingga pertumbuhan ekonomi kita turun 1,5 persen, dari 6,1 persen tahun 2008 menjadi 4,5 persen di 2009, tetapi kemudian naik lagi tahun 2010 ke 6,1 persen.
Sekarang selalu dipersoalkan masalah energi dan pangan sebagai sumber krisis dunia. Kita tak banyak masalah. Listrik kita berlebih. Ada batubara. Pangan baru saja diberi penghargaan oleh IRRI karena kita swasembada beras. Soal gandum, itu urusan Salim.
Hanya minyak dan gas memang naik. Kita ada produksi minyak dan gas walaupun kita harus impor minyak sebagian yang tentu harganya lebih mahal. Inflasi memang naik 1-2 persen akibat kenaikan harga BBM, tapi biasanya inflasi hanya naik enam bulan, setelah itu akan normal lagi.
Karena itu, terkait kesulitan dunia akan energi, kita harus bantu dan manfaatkan ekspor batubara dan gas, yang tentu menghasilkan devisa dan pajak.
Kita harus segera meningkatkan produktivitas pertanian, seperti jagung, beras, dan perkebunan seperti sawit dan lain-lain. Beri bibit dan petunjuk yang baik. Soal pupuk, kita punya lima pabrik pupuk dan punya gas, tinggal impor fosfat dari Jordania. Saya yakin kita tak kekurangan dibandingkan negara lain yang tergantung Rusia. Tiga tahun terakhir, neraca perdagangan kita selalu surplus, berarti peluang ekspor tetap baik.
Dalam bidang minyak dan gas, produksi harus dipercepat di hulu. Sangat disayangkan, sumber gas yang sangat besar di Masela tidak jalan. Sekiranya mulai dibangun tahun 2006 sesuai rencana, sekarang sudah berproduksi dengan harga jual sangat tinggi.
Hal yang penting yang harus dijaga adalah APBN. Harus dijaga efisiensi pengeluaran. Dijaga yang betul-betul prioritas penting. Yang tak penting, ditunda dulu. Tentu kita bayar cicilan utang dan bunga yang tinggi akibat defisit besar beberapa tahun lalu. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah harus tegas pada prinsip prioritas, dengan tetap memberi bantuan sosial, seperti BLT, untuk menjaga daya beli masyarakat yang rentan.
Rupiah melemah terhadap dollar AS sampai Rp 15.600. Ini tentu berakibat sulit bagi impor, tapi baik untuk ekspor, sehingga daerah di luar Jawa yang banyak komoditas ekspor beroleh pendapatan rupiah lebih besar.
Harus lebih tegas lagi penggunaan produksi dalam negeri dengan aturan sehingga industri di Jawa tetap dapat meningkatkan produksi dan devisa.
Untuk menjaga cadangan devisa, kebijakan kontrol devisa dengan cara hasil ekspor harus masuk ke BI, harus lebih tegas. Tak hanya dengan peraturan BI, tetapi harus lebih tinggi, seperti ada sanksi dengan peraturan pemerintah, sehingga devisa lebih terjaga, jangan hanya disimpan di Singapura.
Kebijakan BI dengan bunga murah harus didukung, karena dengan itu orang tidak hidup dengan bunga, tetapi berusaha, investasi dalam negeri akan lebih maju.
Belajar dari krisis 1997/1998, krisis 1997/1998 membesar karena dua kebijakan keliru. Pertama, blanket guarantee. Semua masalah bank dijamin pemerintah sehingga banyak bankir sengaja merusak banknya untuk dapat jaminan negara. Akibatnya, terbit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 650 triliun, yang sangat besar waktu itu.
Kedua, bunga selalu di atas inflasi. Akibatnya, ekonomi mahal dan tidak bergerak. Orang hidup dari bunga, lebih baik dari berusaha, karena inflasi 60 persen dan bunga 70 persen. Kini, hal itu dilarang dengan undang-undang.
Sekarang, bank-bank besar untung besar sampai Rp 30 triliun dan bunga deposito 2-3 persen. Artinya, bunga kredit perbankan masih bisa turun dan ekonomi akan lebih tumbuh. Kebijakan BI dengan bunga murah harus didukung, karena dengan itu orang tidak hidup dengan bunga, tetapi berusaha, investasi dalam negeri akan lebih maju.
Masalah hukum
Masalah yang harus menjadi perhatian juga adalah masalah hukum. Jangan mencari-cari kesalahan sehingga para pengusaha, juga investor luar, takut. Sampai sekarang bos-bos konglomerat masih banyak tinggal di Singapura, walaupun Covid-19 sudah mereda, karena banyak yang takut masalah hukum.
Ekonomi di Asia Tenggara ini jauh lebih baik daripada wilayah lain. Pertumbuhan Vietnam tahun ini diperkirakan 7,5 persen, Filipina 6,5 persen, Malaysia 6,4 persen. Indonesia 5,2 persen, nomor empat di ASEAN. Artinya, sebenarnya Indonesia masih bisa tumbuh lebih dari 5 persen karena kita lebih baik dari negara-negara ASEAN lain dari sumber daya. Perlu evaluasi kebijakan dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Beri dorongan agar pengusaha bergerak dengan aman dan masyarakat meningkatkan konsumsi.
Memberi narasi ketakutan secara berlebihan akan menyebabkan pengusaha menunda atau berhenti investasi dengan menyimpan dollar AS atau emas, dan ini akan lebih memperlemah rupiah dan ekonomi. Mari kita tetap optimistis dan bekerja bersama untuk bangsa dan negara demi kesejahteraan masyarakat.
M Jusuf Kalla Wakil Presiden Periode 2004-2009 dan 2014-2019