Krisis Hubungan Amerika Serikat-Arab Saudi
Kerusakan yang diakibatkan perseteruan AS-Saudi terakhir ini tampaknya jauh lebih parah dari perkiraan, dan karena adanya faktor Rusia. Sekalipun dapat terobati akan sulit pulih seperti sediakala.
Berita mengejutkan datang dari Washington yang menyebutkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden murka terhadap Pangeran Mohammed bin Salman, pemimpin de facto Arab Saudi, karena penolakan Riyadh untuk meningkatkan produksi minyaknya. Sebaliknya, kartel minyak dunia terbesar OPEC+ justru memutuskan mengurangi produksi minyaknya.
Amerika Serikat berusaha menekan Arab Saudi, mitra utamanya di Timur Tengah, untuk memproduksi lebih banyak minyak guna mengisi kekurangan pasokan global dan menahan peningkatan harga karena perang Rusia-Ukraina.
Arab Saudi dinilai telah memaksa negara-negara OPEC yang lebih kecil untuk memangkas produksi minyaknya—suatu langkah yang hanya akan meningkatkan pemasukan devisa bagi Rusia dan memajalkan efektivitas sanksi, atas agresinya di Ukraina. Biden bahkan mengancam OPEC+ akan menerima konsekuensi yang belum ditentukan (unspecified concequences).
Akibatnya, hubungan antara AS dan Arab Saudi memburuk, dan yang diuntungkan dari kondisi ini adalah Vladimir Putin (The Guardian, 13/10/2022).
Kekuatan OPEC+
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang didirikan pada 1960 pada awalnya merupakan upaya untuk memaksa kenaikan harga minyak, sebagai tanggapan atas pembatasan impor AS dan besarnya pengaruh perusahaan migas multinasional.
Dalam bukunya The Arab Lobby (2010), Mitchell Bard menyatakan, pembentukan OPEC menjadi titik balik bagi negara produsen minyak yang mengambil kendali atas sumber daya alam mereka. Perusahaan-perusahaan minyak (AS) tidak menyadari hal ini dan, meskipun didesak meminta maaf atas tindakan sepihak yang telah diambil, mereka tidak melihat OPEC sebagai ancaman serius terhadap dominasi industri mereka.
Baca juga : Ketegangan AS-Arab Saudi
Saat ini OPEC beranggotakan 13 negara, dengan Arab Saudi yang dominan. OPEC+, yang dibentuk pada 2016, menambah 10 negara mitra, termasuk Rusia, menjadi bagian dari kelompok negara pengekspor minyak yang diperluas.
Hal ini merupakan cara untuk mengantisipasi tantangan baru yang dihadapi OPEC+ untuk mengendalikan pasar dan munculnya AS sebagai eksportir neto (net exporter) sejak 2020, serta pesatnya pertumbuhan energi terbarukan.
Selama berpuluh tahun OPEC diterima sebagai organisasi penentu harga minyak di pasar internasional, dan kini OPEC+ menjadi kartel untuk mengordinasikan produksi minyak dan memengaruhi harga.
OPEC+ mengendalikan sekitar 50 persen minyak mentah dunia dan 90 persen cadangan terbukti (proven reserve) minyak global. Oleh karena itu, ketika mereka memangkas produksinya, itu mendorong kenaikan harga. Pada masa ini keputusan pemangkasan produksi menjadi sangat berbeda karena, selain mendorong kenaikan harga bahan bakar dan tingkat inflasi, langkah ini dinilai sangat menguntungkan Rusia.
Keputusan OPEC+, dengan Saudi dan Rusia sebagai co-chairs, untuk memangkas produksi 2 juta barel per hari, sementara produksi Rusia masih jauh di bawah kuotanya, akan memungkinkan Moskwa memproduksi lebih banyak dengan harga yang lebih tinggi.
Keputusan ini telah meningkatkan harga minyak 2 persen menjadi 93,80 dollar AS per barel. Meskipun harga ini menurun, dibandingkan ketika invasi Rusia ke Ukraina yang telah memperketat suplai, masyarakat di AS dan Inggris tetap merasakan tingginya harga migas, yang memperburuk krisis biaya hidup.
Bagi OPEC+, pemangkasan itu merupakan perhitungan ekonomi berdasarkan kepentingan bersama. Menurut Julian Borger, dari The Guardian, ”Mereka melihat tekanan AS dan sekutunya untuk reformasi demokrasi sebagai penghinaan, dan mereka telah bersatu di masa lalu dalam konservatisme sosial. Mereka melihat dirinya sebagai pelindung nilai-nilai mereka terhadap pemikiran AS di seluruh dunia”.
Penghinaan itu juga dirasakan mengingat keputusan Biden musim panas lalu, yang membalikkan janji kampanyenya, untuk menyingkirkan Pangeran Mohammed atas kematian jurnalis pembangkang The Washington Post Jamal Khashoggi pada 2018 di Ankara, Turki. Di lain pihak, di AS, konsekuensi dari kenaikan harga BBM ini menyakitkan bagi Biden menjelang pemilihan paruh waktu (mid-term).
Sebagai tanggapannya, Biden telah memerintahkan dialirkannya 10 juta barel BBM dari cadangan strategis (US Strategic Petroleum Reserve) ke pasar minyak, seperti dilakukan pada Maret lalu.
Di lain pihak, di AS, konsekuensi dari kenaikan harga BBM ini menyakitkan bagi Biden menjelang pemilihan paruh waktu ( mid-term).
Pasang surut hubungan AS-Arab Saudi
AS dan Arab Saudi telah membina hubungan erat sejak 1940, melalui kepentingan bersama dalam keamanan dan energi regional. Dalam bukunya, Bard juga menyatakan bahwa analisis Kementerian Luar Negeri AS pada 1943 menyebutkan ladang-ladang minyak Saudi sebagai ”berkah terbesar dalam sejarah” (the greatest single prize in all history).
Sementara itu, Andrew Scott Cooper dalam buku The Oil Kings (2011) menyatakan bahwa kecanduan kronis ekonomi AS terhadap minyak murah begitu nyata, meskipun tidak diketahui persis kapan kecanduan itu mulai dan mengapa AS begitu bergantung pada Saudi dalam ”goodwill and cooperation”.
Selama lebih dari tujuh dasawarsa, terlepas dari perbedaan hak asasi manusia dan konflik Arab-Israel, AS dan Saudi mempertahankan aliansinya berdasarkan pertukaran keamanan untuk minyak.
Oleh karena itu, salah satu kepentingan strategis utama AS adalah menjamin pasokan minyak. Menurut Bard pula, ”Alih-alih melakukannya dengan paksa, pemerintahan AS berikutnya justru mengizinkan pemasok minyak Arab (dan Iran) untuk turut mendikte penawaran dan permintaan untuk kepentingan mereka, dengan mengorbankan AS sendiri”.
Selama 50 tahun terakhir, kedua mitra ini juga mengalami masa yang buruk, terkait embargo minyak Saudi pada 1970-an akibat dukungan AS pada Israel, dampak serangan 9/11, atau invasi AS ke Irak pada 2003.
ilustrasi
Terakhir, AS kecewa atas investasi 500 juta dollar AS oleh perusahaan Saudi pada perusahaan minyak raksasa Rusia, Gazprom, Rosneft, dan Lukoil, di awal konflik Ukraina. Selain itu juga keputusan Riyadh di musim panas untuk menggandakan pembelian minyak Rusia bagi pembangkit listriknya sehingga lebih banyak minyak mentahnya dapat diekspor.
Atas keputusan OPEC+ itu, Senator Bob Menendez, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat, mengeluarkan pernyataan amat keras, yang menyerukan pembekuan penjualan senjata. Sementara itu, anggota Kongres Tom Malinowski mengatakan bahwa keputusan Saudi adalah tindakan bermusuhan, dan bahwa AS harus mempertimbangkan kembali peran keamanannya di negara minyak itu (NPR, 11/10/2022).
Perkembangan di atas menunjukkan bahwa Arab Saudi mulai mendekat ke Rusia. Padahal, Riyadh menjadi salah satu dari 143 negara pendukung resolusi PBB (13/10/2022) prakarsa AS, yang mengutuk aneksasi ”negara beruang merah” itu terhadap empat wilayah Ukraina, sebagaimana juga pada resolusi PBB yang mengecam agresi militer Rusia pada Februari 2022.
Menurut Andreas Krieg dari Middle East Eye (17/10/2022), yang berbeda sekarang adalah bahwa perdebatan tentang masa depan hubungan tersebut berlangsung dalam realitas geostrategis yang berubah di kawasan itu akibat lemahnya strategi AS di Teluk Persia.
Di masa lalu, perseteruan Washington dan Riyadh bisa diselesaikan secara tertutup dan jarang merambah ke ranah publik.
Apa selanjutnya?
Sebenarnya perseteruan ini sudah dirasakan sejak satu dasawarsa lalu, dengan kebijakan Pivot to Asia Barack Obama dan American First Donald Trump. Mitra AS di Timur Tengah dibiarkan memperjuangkan sendiri keamanan dan stabilitas kawasan yang berantakan akibat petualangan militer AS di Irak, pendekatan yang setengah hati terhadap revolusi Arab Spring, dan tentunya kegagalan AS di Suriah.
Jim Krane, peneliti energi di Rice University, mengatakan, mungkin Saudi memang tidak berusaha membantu Putin, tetapi kepentingan mereka saling tumpang tindih dalam hal minyak (NYT, 13/10/2022).
Perang Ukraina semakin menempatkan negara-negara Teluk, terutama Saudi, pada ”driver’s seat”; di luar dominasi mereka di pasar energi global, mereka telah menjadi pusat gravitasi kawasan.
Menurut Martin Chulov, juga dari The Guardian, sikap Saudi ini menunjukkan keinginan Saudi ”tidak lagi menjadi negara teokrasi, seperti Flintstones, yang menghindari kemajuan dan bersembunyi di balik payung keamanan AS, tetapi menjadi kekuatan menengah yang kaya dengan hak untuk memilih teman-temannya, dengan caranya sendiri”.
Kebijakan AS untuk memimpin dari belakang dan memberdayakan aktor lokal untuk melakukan pekerjaan Washington di lapangan telah meninggalkan kekosongan yang sangat diincar oleh rival-rival AS sehingga membuka peluang bagi Rusia untuk kembali ke Timur Tengah pada 2015.
Di masa lalu, perseteruan Washington dan Riyadh bisa diselesaikan secara tertutup dan jarang merambah ke ranah publik. Dewasa ini, aspek paling ”intim” dari hubungan diplomasi bilateral sekalipun sudah terbuka dan dapat dilihat siapa saja sehingga bisa membuat kegaduhan medsos yang mendorong terjadinya polarisasi.
Kerusakan yang diakibatkan perseteruan AS-Saudi terakhir tampaknya jauh lebih parah, dan karena adanya faktor Rusia, sekalipun dapat terobati akan sulit pulih seperti sediakala.
Kata peribahasa kita, ”siapa yang mau berada di bawah ketiak orang lain?” Indonesia? Jangan sampai!
Dian WirengjuritAnalis Geopolitik dan Hubungan Internasional