Kredibilitas Penyelenggara Pemilu
Situasi politik sudah mulai menghangat belakangan ini. Konsolidasi antarparpol sudah tampak berdebur-debur. Lalu, bagaimana dengan persoalan integritas dan profesionalisme Penyelengara Pemilu ?
Pemilu yang adil dan terbuka merupakan syarat utama dari tatanan demokrasi.
Melalui pemilu, semua warga bangsa dapat kesempatan yang sama untuk menentukan pemimpin yang akan menjalankan urusan penyelenggaraan kekuasaan negara dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Agar pemilu menghasilkan pemimpin berintegritas dan amanah, kita mesti memulai dengan memastikan bahwa para penyelenggara pemilu juga berintegritas dan amanah. Bangsa Indonesia membutuhkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berkualitas secara moral dan profesional sebagai kunci terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang adil, bersih, terbuka dan akuntabel.
Dalam konteks menjaga integritas jajaran penyelenggara pemilu itu, perundang-undangan kita melembagakan adanya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tugasnya: menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).
Saat ini, KPU telah menuntaskan proses verifikasi administratif partai politik dan sedang memasuki tahapan verifikasi faktual kelayakan partai politik peserta Pemilu 2024. Ada pun Bawaslu tengah melakukan rekrutmen anggota Panwaslu di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia, yang akan dilanjutkan dengan proses rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) oleh KPU.
Berkaca dari penyelenggaraan pemilu sebelumnya, pada tahap-tahap ini mulai muncul pengaduan dugaan pelanggaran etik. Terutama, terkait dugaan pelanggaran persyaratan menjadi anggota Panwaslu. Pada sisi lain, DKPP mengukuhkan anggota Tim Pemeriksa Daerah (TPD) dari 34 provinsi, yang dipusatkan di Yogyakarta, 31 Oktober 2022.
Selain itu, kini pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, sedang menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengakomodasi pelaksanaan pemilu di tiga daerah otonomi baru: Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan. Dengan begitu, wacana penundaan pemilu yang sempat mencuat, harus diabaikan.
Baca juga Sistem Keadilan Pemilu
Baca juga Seleksi Serentak Dirancang Mulai Mei 2023, KPU Tunggu Payung Hukum
Senyampang masih jauhnya hari pelaksanaan pemilu, persoalan integritas dan profesionalisme Penyelenggara Pemilu mesti mendapatkan perhatian saksama. Terlebih situasi politik sudah mulai menghangat belakangan ini. Konsolidasi antarparpol sudah tampak berdebur-debur di atas di lanskap politik nasional. Proses kandidasi (calon) presiden dan wakil presiden juga telah sedemikian menyita perhatian publik.
Legitimasi demokrasi
Pemilu 2024 sepertinya akan berlangsung penuh warna dan semarak seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Perhatian publik bukan saja menyorot para kandidat pimpinan nasional dan parpol, melainkan juga pada kesiapan dan kesigapan Penyelenggara Pemilu.
Pada dasarnya para Penyelenggara Pemilu adalah para wakil masyarakat yang diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi secara berkualitas. Mereka adalah orang-orang terpilih yang secara moral, intelektual, profesional, dan dianggap cakap serta mumpuni untuk menjalankan tugas yang maha berat, mulia, dan sensitif, yakni menjadi Penyelenggara Pemilu.
Harus diakui, menjadi Penyelenggara Pemilu sama artinya memegang bentuk kekuasaan yang secara langsung menentukan martabat politik suatu bangsa. Suatu bentuk kekuasaan yang demikian sangat penting dan sekaligus berisiko.
Penyelenggara Pemilu perlu senantiasa menyadari, bahwa fondasi dari sebuah kekuasaan yang sah adalah legitimasi demokrasi. Merujuk pada filsuf Inggris yang juga dikenal sebagai bapak demokrasi liberal, John Locke, wewenang untuk memerintah atau menjalankan kekuasaan harus senantiasa berpijak pada amanat dan kehendak rakyat.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, apakah amanat dan kepentingan rakyat? Rakyat di sini mesti dipahami sebagai warga bangsa secara keseluruhan, bukan komunitas yang telah terkotak-kotak ke dalam klaster kelompok pendukung kandidat calon pemimpin.
Akal sehat akan menegaskan, bahwa amanat dan kepentingan rakyat yang dimaksud tadi adalah penyelenggaraan pemilu yang jujur, bersih dan adil, tanpa peduli siapa yang akan memang atau kalah. Menjalankan amanat dan kepentingan rakyat inilah sesungguhnya fondasi dari keberadaan, keputusan dan tindakan para penyelenggara pemilu.
Seperti ditegaskan Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik dan Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (2003), kemutlakan penyelenggaraan kekuasaan negara, yang berdasarkan amanat dan kehendak rakyat itu, menimbulkan konsekuensi bahwa penyelenggaraan kekuasaan itu harus senantiasa dijalankan berdasarkan dan dalam batas-batas hukum yang berlalu.
Hukum atau peraturan perundang-undangan adalah manifestasi dari amanat dan kehendak rakyat. Tentu yang dimaksud ini adalah hukum yang dilahirkan dalam rezim demokrasi, yang dirumuskan secara partisipatoris dan demokratis. Dalam konteks pemilu, tindakan dan keputusan Penyelenggara Pemilu harus senantiasa merujuk pada apa yang diatur/diperintahkan UU Pemilu. Dalam UU yang sama, telah disediakan mekanisme untuk mengawasi perilaku dan kinerja para Penyelenggara Pemilu.
Dalam konteks pemilu, tindakan dan keputusan Penyelenggara Pemilu harus senantiasa merujuk pada apa yang diatur/diperintahkan UU Pemilu.
Terkait wewenang DKPP, perlu ditegaskan, sanksi yang dapat dijatuhkan DKPP tak sampai mengubah atau membatalkan hasil pemilu. Obyek persoalan yang ditangani DKPP adalah integritas dan profesionalisme Penyelenggara Pemilu. Sanksi bisa dijatuhkan secara bertingkat, dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap sebagai Penyelenggara Pemilu.
Muncul pertanyaan, apa perlu DKPP memutuskan sanksi pemberhentian tetap terhadap Penyelenggara Pemilu?
Dalam hal ini, DKPP sesungguhnya hanya menjalankan Amanah UU Pemilu No 7/2017. Meskipun yang ditangani DKPP adalah pelanggaran atas Kode Etik Penyelenggara Pemilu, UU Pemilu memberi wewenang pada DKPP untuk menjatuhkan sanksi yang telak untuk Penyelenggara Pemilu, yaitu pemberhentian tetap dari posisi masing-masing sebagai anggota KPU atau Bawaslu.
Di sini, penetapan sanksi terhadap penyelenggara pemilu dilakukan dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran etika yang terjadi. Pelanggaran etika yang secara serius mengganggu legitimasi penyelenggaraan pemilu secara lebih luas jelas perlu diberi sanksi tegas dan berat. Tak boleh ragu, karena legitimasi penyelenggaraan pemilu menentukan legitimasi hasil keseluruhan pemilu.
Ilustrasi
Rasa keadilan publik
Dalam konteks ini, integritas, moralitas dan profesionalisme Penyelenggara jadi faktor kunci. Pelanggaran atas integritas, moralitas dan profesionalisme itu perlu diberi bobot yang tinggi dalam penanganannya. Ketegasan DKPP terhadap pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu juga sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu. Publik perlu diyakinkan bahwa independensi, netralitas dan imparsialitas para penyelenggara pemilu benar-benar dijamin dan dikontrol melalui sistem penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang dijalankan secara proporsional, tegas dan tanpa pandang bulu.
Terlebih-lebih keadaan faktual menunjukkan, selama ini sering muncul ekspresi kekecewaan di tengah masyarakat atas sanksi-sanksi hukum yang dijatuhkan terhadap pejabat publik dalam kasus tertentu. Sanksi-sanksi tersebut dianggap tidak menimbulkan efek jera dan tidak memenuhi rasa keadilan publik yang telah dirugikan oleh perbuatan pejabat yang bersangkutan.
Memenuhi rasa keadilan publik itu persoalan yang fundamental bagi lembaga publik seperti KPU dan Bawaslu. Mengutip Magnis Suseno (2003), “Pengakuan masyarakat atas wewenang nega -ra menetapkan hukum dan untuk menjamin keberlakuannya ialah termasuk hakikat dari negara. Kestabilan suatu ne- gara tergantung dari luasnya pengakuan masyarakat atas wewenang negara”.
KPU dan Bawaslu adalah lembaga negara penyelenggara pemilu. Tentu mereka menyadari, pengakuan dan legitimasi masyarakat adalah fondasi dari keberadaan mereka. Pengakuan dan legitimasi itu tak pelak lagi ditentukan oleh sejauh mana KPU dan Bawaslu mampu bekerja dan bertindak secara profesional, jujur dan adil.
Memenuhi rasa keadilan publik itu persoalan yang fundamental bagi lembaga publik seperti KPU dan Bawaslu
Bersikap adil jadi hal yang sangat penting sekaligus problematis di sini. Problematis karena yang dihadapi KPU dan Bawaslu adalah berbagai pihak dengan kepentingan partikular masing- masing: parpol, capres-cawapres, caleg, tim sukses, relawan, kelompok pemantau, media massa dan masyarakat.
Parpol dan para kandidat wajar jika memiliki kepentingan untuk “berhubungan baik” dengan KPU dan Bawaslu. Lazim terjadi tim sukses atau simpatisan ingin memengaruhi independensi dan netralitas KPU dan Bawaslu. Di sini, kekuatan moral dan integritas Penyelenggara Pemilu benar-benar diuji. Masyarakat sipil dan pers akan senantiasa mengawasinya dari suatu jarak.
Filsuf Yunani Plato pernah mendalilkan bahwa kehidupan bernegara yang baik akan tercapai jika masyarakat ditata menurut cita-cita keadilan. Keadilan di sini bukan sekadar bagaimana hak semua orang dapat terjamin, melainkan bagaimana agar tatanan seluruh masyarakat selaras dan seimbang. Plato menekankan benar moralitas dan integritas para penyelenggara negara.
Para penyelenggara atau penjaga negara menurut Plato “harus hidup dengan cara yang tak mengizinkan perkembangan kepentingan-kepentingan pribadi. Mereka harus memiliki kemampuan mengatasi keterikatan terhadap pamrih.” Persoalannya, para penyelenggara pemilu juga manusia biasa. Dan lazimnya manusia, mereka juga memiliki kepentingan atau pamrih pribadi. Oleh karena itu, sejak fase penjaringan dan pemilihan para penyelenggara pemilu, variabel integritas, kredibilitas, imparsialitas selalu jadi penekanan.
Demikian juga pada fase pengawasan kinerja mereka, integritas, imparsialitas dan kredibilitas juga jadi tolok ukur utama. Hal ini semata-mata untuk memenuhi rasa keadilan publik terkait proses penyelenggaraan dan hasil dari pemilu sebagai momentum perwujudan kedaulatan rakyat di negara demokrasi.
Heddy Lugito Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI Periode 2022-2027