Ayolah, para kaum muda yang menurut statistik akan menjadi penentu terbesar pemilu mendatang jangan sampai terbawa arus perilaku mereka yang mulai ribut soal nama, tetapi minim kriteria.
Belajar dari pengalaman pemilu yang lalu-lalu, mari kita mulai menghargai perbedaan. Mereka yang berbeda aspirasi politik jangan dianggap sebagai musuh. Jauhkan fanatisme kelompok yang menimbulkan anggapan bahwa orang lain dengan paham berbeda adalah salah.
Jangan terpukau nama atau orasi semata. Tetapi, lihat juga gagasan yang dibawanya, bagaimana mempersatukan, lalu membangun bangsa. Jangan mau lagi dipengaruhi identitas yang hanya berujung polarisasi, melahirkan sakit hati sehingga berlarut-larut mengganggu persatuan kita. Politik identitas perlu dicegah agar tidak menjadi isu yang memecah belah rakyat.
Sudah waktunya pemuda-pemudi Indonesia berpikiran maju. Caranya dengan lebih cermat dan teliti menyimak omongan para calon yang diusung partai-partai. Sebagai orang muda hendaknya Anda tidak hanya mendengar cuap-cuap mereka. Mari kita buka-buka lembaran sejarah dan teliti mengamati rekam jejak para calon.
Anda justru perlu mengamati latar belakang, bukan dari mana asal-usulnya dan apa agamanya, tetapi apa yang sudah ia lakukan untuk negeri ini. Teliti apa visinya, apakah untuk menyejahterakan masyarakat? Apa sesuai dengan Sumpah Pemuda ”Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”?
Para kaum muda, suara Anda akan ikut menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Jangan sampai terkoyak. Kawal NKRI agar tetap aman. Buka mata hati agar tepat menentukan pilihan, memilih kepada siapa kita akan memercayakan nasib rakyat dan negeri ini.
Renville AlmatsierJalan KH Dewantara, Ciputat, Tangerang Selatan 15411
Pemuda Indonesia
Indonesia adalah negara kaya dengan investasi alam yang berlimpah dan masyarakat yang multikultural.
Kekayaan multidimensi itu dipersatukan oleh bapak pendiri bangsa (founding fathers) menjadi satu bangsa dan negara berlandaskan Pancasila.
Jauh sebelum tercetusnya Pancasila, orang-orang muda telah mengumandangkan kesatuan bangsa, tanah air, dan bahasa dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Tampak semangat pemuda-pemudi Indonesia pada masa kolonialisme itu dalam membangun kedaulatan.
Sumpah Pemuda sudah 94 tahun sekarang. Harapannya pemuda-pemudi masa kini menjadi perpanjangan tangan dan visi-misi pemuda 1928.
Dulu para pemuda dari sejumlah daerah, suku, ras, dan agama menyatakan bahwa mereka berbeda-beda, tetapi satu dalam tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Kini saatnya para pemuda membuka mata, hati, tangan, dan pikiran untuk menghargai perbedaan dan mewujudkan sumpah untuk kesejahteraan bangsa.
Apalagi, dalam perjalanannya, bangsa Indonesia menghadapi beragam masalah: korupsi, pembunuhan, rekayasa kebenaran, pelanggaran HAM, dan sebagainya. Perlu inisiatif pemuda-pemudi menyuarakan pembaruan. Tinggalkan ketidak-pedulian, wujudkan partisipasi nyata.
Mari, pemuda-pemudi bangsa! Gelorakan semangat dan aksi pro patria. Saatnya tampil memberikan pencerahan dan pengabdian agar bangsa Indonesia jaya. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing OFMCapMahasiswa Magister Filsafat Universitas KatolikSanto Thomas, Sumatera Utara
Ironi Negeri
Kita tidak boleh bosan menyinyiri masalah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Bertimbun pendapat pakar mengenai bahaya korupsi bagi keutuhan serta keberlanjutan negara yang sehat dan adil. Kompas (Jumat, 28/10/2022) memuat berita yang menyiratkan keprihatinan terhadap upaya pemberantasan korupsi saat Johanis Tanak diangkat menjadi Wakil Ketua KPK. Ia menggantikan pejabat sebelumnya yang kontroversial.
Kompas menulis: Penerapan keadilan restoratif dalam kasus korupsi hanya semakin melanggengkan impunitas pada koruptor.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengingatkan bahwa penerapan keadilan restoratif dalam kasus korupsi seperti usulan Johanis akan semakin melanggengkan impunitas pada koruptor. Terlebih dalam kondisi masih lemahnya upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan hingga penjatuhan hukuman perkara korupsi.
Keadilan restoratif dalam kasus korupsi bertentangan dengan kedudukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Kompas, 29/2/2022). Sekjen PBB 1997-2006 Kofi Annan mengatakan, ”Korupsi adalah wabah tersembunyi dengan dampak korosif yang luas terhadap masyarakat. Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mengarah pada pelanggaran HAM, mengacaukan pasar dan ekonomi, memerosotkan kualitas hidup, serta menyuburkan pertumbuhan kelompok kriminal terorganisasi.”
Jika pemerintah serius memberantas korupsi, perlu penerapan hukum yang dapat menimbulkan efek jera yang membuat koruptor kapok dan calon koruptor takut mencoba melakukan.
Korupsi di jabatan puncak ibarat gangren, jaringan tubuh yang membusuk sehingga harus diamputasi. Karena itu, kebijakan yang bersifat medioker, setengah-setengah, akan berujung pada kegagalan.
Pemberantasan korupsi akan berhasil jika dilakukan sepenuh hati dengan ketulusan, kemauan politik, dan sikap kenegarawanan kuat.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM PPM Menteng Raya, Jakarta Pusat
Mahasiswa dan Kebangsaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah lepas dari gerakan pemuda. Ketika melawan penjajah, beberapa pemuda terpelajar mulai membangun kesadaran masyarakat untuk merdeka.
Berawal dari Boedi Oetomo sampai Sumpah Pemuda yang menggetarkan bangsa. Bahkan, saat Jepang dinyatakan kalah perang, beberapa pemuda menculik Soekarno agar memproklamasikan kemerdekaan.
Dari awal berdirinya negara, peran pemuda sudah nyata. Pengawalan kedaulatan menuju masyarakat adil dan makmur dengan terus mengoreksi kekuasaan yang berjalan.
Gerakan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) pada Januari 1966 dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan lain-lain bertujuan memberikan evaluasi terhadap Presiden Soekarno.
Pada masa Orde Baru dengan Presiden Soeharto, terjadi gerakan Mei 1998 yang menjadi titik awal reformasi. Pergerakan dimotori pemuda terpelajar dan mahasiswa dari berbagai penjuru Tanah Air.
Demikianlah seterusnya pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya. Tentu saja semua kejadian itu ada latar belakang yang menjadi alasan kuat mahasiswa bergerak.
Tanggal 11 April 2022 di saat bulan puasa, terjadi lagi pergerakan mahasiswa. Mereka menuntut kepada pemerintah agar tidak menunda pelaksanaan pemilu, tidak memperpanjang kekuasaan, menurunkan beberapa harga, dan beberapa tuntutan lain.
Apa yang dilakukan pemuda terpelajar dan mahasiswa tidak terjadi begitu saja, selalu ada trigger atau pemantik kejadian. Jangan menyalahkan mahasiswa karena mereka kepanjangan tangan masyarakat. Mereka menyuarakan apa yang dirasakan masyarakat.
Pemerintah sudah menetapkan pemilu pada 14 Februari 2024, anggota KPU dan Bawaslu sudah dilantik. Sekarang saatnya fokus dan konsisten terhadap apa yang dijanjikan.
Sabda pandita ratu tan kena wola wali. Intinya adalah ucapan seorang pemimpin harus konsisten dilaksanakan.
Saatnya kita kembali bekerja, fokus terhadap tugas dan kewajiban kita. Jayalah pemuda dan pemudi Indonesia.
S HandokoTugurejo-Semarang